45 Ne
ka wa’ek lewing nare ‘ Jangan mengambil panci tanak nasi’
Ungkapan ne
ka wa’ek lewing nare merupakan idom untuk menyatakan makna melarang mengawini wanita yang masih mempunyai hubungan sedarah
sesama klan. Menurut adat Manggarai, panci adalah kiasan untuk seorang perempuan ibu rumah tangga karena panci hanya digunakan oleh kaum ibu untuk menanak
nasi di dapur, dan merupakan simbol garis keturunan ibu. 46
Ne ka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu
‘ Jangan terlalu menengadah nanti kerongkongan terpancung - jangan terlalu tunduk nanti tengkuk terkudung’
Ungkapan neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu
tengu merupakan idiom yang bermakna jangan terlalu sombong nanti menjadi musuh banyak orang, dan jangan terlalu merendah diri agar tidak dimanfaatkan
orang lain. 47
Ne ka bea betan - ngampang be wan
‘ Tanah rata di atas - jurang di bawah’ Ungkapan
ne ka bea betan - ngampang be wan merupakan idiom yang untuk
menyatakan makna bicara jangan manis di mulut, lain di hati.
3.2.4 Ungkapan yang Berkaitan dengan Status Sosial Seseorang
Berikut ini akan diuraikan contoh-contoh yang berkaitan dengan status sosial seseorang.
48 Raup cama rawuk - remong cama kebok ‘ Bertemu sesama abu dapur - bertemu sesama debu tanah’
Ungkapan raup cama rawuk - remong cama kebok merupakan idiom yang
bermakna perkawinan sepasang kekasih yang sama-sama berasal dari keluarga sederhana atau keluarga kebanyakan.
49 Kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang ‘ kemiskinan tidak karena dibeli - kepapaan hingga ke tanah tidak karena
diharapkan’ Ungkapan
kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang merupakan idiom untuk menyatakan makna kemiskinan seseorang bukan
karena atas keinginan atau kemauan sendiri, atau juga bukan karena siksaan atau kutukan, melainkan karena situasi serta kondisi yang tidak menguntungkan.
Ungkapan tersebut merupakan sebuah perumpamaan tentang keadaan seseorang yang sangat memprihatinkan secara jasmani menyangkut harta. Ungkapan kasiasi
ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang memiliki makna yang
sama dengan peribahasa tungkunya tak berasap.
3.2.5 Ungkapan yang Berkaitan dengan Bahasa Rahasia
Berikut ini akan diuraikan contoh ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia.
50 Bengkar leke cebong
‘ Tempurung kelapa yang dipakai untuk menggayung air waktu mandi sudah pecah’
51 Lerong welu ‘ Membawa kemiri’
Ungkapan 50 dan 51 merupakan idiom yang bermakna bahwa seorang gadis sudah mulai remaja, ditandai dengan munculnya tanda-tanda keremajaan
adanya payudara pada dada. Secara leksikal, kata bengkar dalam bahasa Manggarai berarti mengembang. Leke berarti tempurung kelapa. Kata leke dan welu
diumpamakan sebagai payudara wanita karena bentuknya yang bulat. 52
Anak bera ‘ Anak haram’
Anak bera merupakan ungkapan untuk menyatakan makna anak yang lahir karena perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang lelaki di luar
perkawinan resmi. Anak bera sering juga disebut sebagai “anak pe’ang remang” anak di semak belukar karena hubungan yang dilakukan sepasang kekasih tersebut
terjadi di luar rumah tanpa prosedur adat yang berlaku di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu anak bera ata kopn dan
anak bera ata toe kopn. Anak bera ata kopn yaitu sang ibu tidak dapat menentukan
siapa ayah biologis dari anaknya karena jumlah kekasih gelapnya terlalu banyak. Bila salah satu dari kekasih gelapnya mau bertanggung jawab, maka ia akan
melakukan “taro loma” yaitu membayar tuntutan adat berupa seekor kerbau dan seekor kuda, sehingga status sang anak sah menjadi miliknya walaupun ia tidak
mengawini ibunya. Anak bera ata toe
kopn yaitu anak yang lahir dari hubungan gelap seorang wanita dengan saudara laki-laki yang masih memiliki hubungan darah, yang berada
dalam satu kampung atau yang berada di luar kampung. Bila hubungan tersebut diketahui keluarga kedua belah pihak, maka akan diadakan upacara “pana mata
leso” memanah matahari atau juga biasa disebut upacara “kepu munak” memotong batang pisang yang bertujuan untuk memutuskan hubungan gelap yang
terjalin di antara keduanya. Dalam upacara tersebut, segala dosa perzinahan dibuang. Ayah dari anak bera ata toe
kopn tidak dapat dituntut untuk melakukan taro loma karena dapat mengakibatkan putusnya hubungan keluarga di antara kedua belah
pihak. Anak tersebut tetap menjadi anak dari ibunya dan menjadi milik dari keluarga ibunya. Selanjutnya, anak tersebut menjadi tanggung jawab dari kakek-nenek pihak
ibu. Bila ibunya menikah dengan laki-laki lain, ia akan menjadi anak dari suami baru ibunya, tergantung kesepakatan antara sang ibu bersama suami barunya ketika
hendak menikah. Jadi, ungkapan anak bera dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang
sama dengan ungkapan anak haram jadah dalam ungkapan bahasa Indonesia, yaitu
anak yang lahir bukan dari perkawinan yang sah. 53
Anak ata ba le potang ‘ Anak yang dibawa dalam sangkar ayam’
Ungkapan ata ba le potang merupakan idiom untuk menyatakan makna anak
hasil perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang pria. Sang ayah mau bertanggung jawab atas anak yang dilahirkan, dan memelihara sang anak walaupun
tidak menikahi ibunya. 54
Anak lerong ‘ Anak yang selalu dibawa’
Ungkapan anak lerong merupakan idiom untuk menyatakan makna anak
seorang janda dari suami pertama. Ketika menikah lagi, ia dan anaknya masuk menjadi anggota keluarga suami barunya. Anak tersebut akan menjadi anak dari
suami baru sang ibu dan diakui sebagai anak yang sah. 55
Ine wina loce kambu de kraeng ‘ Perempuan yang tidur dengan tuan kraeng’
Secara leksikal,
kata loce dalam bahasa Manggarai adalah tikar yang terbuat
dari pandan, dipakai sebagai alas tidur atau diletakkan di lantai sebagai pengganti kursi. Orang Manggarai menggunakan loce sebagai kiasan untuk seorang istri, teman
tidur di malam hari yang selalu memberikan kehangatan. Ungkapan ine wina loce kambu de kraeng merupakan idiom untuk istri simpanan seorang bangsawan selama
dalam sebuah perjalanan. Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, sama seperti umumnya para bangsawan raja, mereka memiliki istri lebih dari satu orang.
Sebagai seorang bangsawan, ia menguasai beberapa wilayah daerah. Daerah-daerah tersebut sering dikunjunginya untuk mengontrol perkembangan serta kemajuan
daerah yang berada di bawah kekuasaannya. Pada acara kunjungan tersebut, pejabat setempat selalu menyiapkan seorang gadis yang diinginkan sang raja untuk
menemani tidurnya. Hal tersebut juga terjadi di tempat yang lain ketika sang raja berkunjung ke daerah tersebut.
56 Tombo ata ba de buru
‘ Cerita yang dibawa angin’ Ungkapan
tombo ata ba de buru merupakan idiom untuk menyatakan makna adanya sebuah desas-desus mengenai sebuah berita. Ungkapan tombo ata ba de buru
dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan kabar angin dalam
ungkapan bahasa Indonesia, yaitu kabar yang belum pasti. 57
Tu’us wa - cangke m eta - donggo mata olo - dongge mata one
‘ Lutut di bawah - dagu di atas - mati secara hina’ Ungkapan
tu’us wa cangke m eta - donggo mata olo - dongge mata one
merupakan idiom bagi sepasang pengantin yang menikah karena adanya rasa belas kasihan dari orang tua calon pengantin wanita. Hal tersebut terjadi karena
ketidakmampuan calon pengantin laki-laki membayar belis. Belis dalam perkawinan ini tidak dibayar tuntas, hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai
pengganti kuda. Sang gadis benar-benar mencintai laki-laki pilihannya, dan orang tuanya sangat menghargai keputusan anak gadisnya, sehingga menikahkan anaknya
dengan laki-laki yang dicintainya. Perkawinan tersebut dinyatakan sah, namun pihak anak rona orang tua pengantin wanita tidak mengizinkan anaknya untuk podo
diboyong ke kampung sang suami. Setelah menikah, sepasang pengantin tersebut tinggal di rumah orang tua pengantin wanita, sampai sang suami dapat membayar
belis pernikahan kepada pihak anak rona pihak pemberi istri keluarga mempelai wanita. Sang suami diharapkan dapat menjadi penolong bagi keluarga sang istri. Ia
bagaikan seorang pemuda yang bekerja mencari kayu api untuk mertuanya dan bagaikan kerbau yang akan mati di tengah keluarga istrinya.
Pasangan seperti ini harus bekerja keras agar dapat menyelesaikan urusan adat perkawinan. Menurut adat Manggarai, jika suatu hari nanti pasangan tersebut
mempunyai seorang anak gadis yang akan menikah, maka belisnya diterima oleh pihak anak rona pihak keluarga ibunya untuk menutupi segala kekurangan sang
ayah di masa silam. Melalui cara ini sang ayah dianggap sudah memenuhi hukum adat perkawinan, dan tidak dianggap lagi sebagai orang miskin yang tidak mampu
membayar belis. Jika segala urusan adat perkawinan telah diselesaikan, maka pihak anak rona akan melaksanakan upacara adat seperti biasanya, yaitu umber atau wagal.
58 Kawe woja wole - latung coko ‘ Mencari bulir padi yang besar - jagung besar yang panjang’
59 Long bombo - kawe mbaek ‘ Berkebun di tempat yang jauh - mencari bulir padi yang panjang’
60 Long latung coko - kawe woja mbaek
‘ Mengejar jagung besar - mencari padi berbulir panjang’ Kalimat
woja wole dan latung coko pada ungkapan nomor 58 merupakan kiasan hidup yang penuh kemakmuran. Woja wole dan latung coko tumbuh pada
tanah yang subur. Kesuburan adalah lambang atau simbol kemakmuran. Kalimat long bombo - kawe mbaek pada ungkapan nomor 59 dan long latung coko - kawe
woja mbaek pada ungkapan 60 merupakan kiasan bagi orang yang merantau. Ungkapan 58, 59, dan 60 merupakan idiom bagi orang yang meninggalkan
kampung halamannya untuk merantau demi merubah nasib. 61 Cawi neho wuas - dole neho ajos
‘ Terpilin laksana rotan - terpintal bagai tali ajo sejenis tali hutan’ Ungkapan cawi neho wuas - dole neho ajos merupakan idiom untuk
menyatakan makna persatuan suami-istri yang kuat dan kokoh atau perkawinan monogam yang tak terceraikan.
62 Reba racang ngis - molas cerep ngis ‘ Pemuda dan pemudi memotong gigi’
Ungkapan reba racang ngis - molas cerep ngis merupakan idiom bagi pria dan wanita yang dianggap telah mencapai masa remaja atau usia kawin. Masa remaja
menurut adat Manggarai dimulai ketika usia “ngo duat” bekerja di kebun baik pria maupun wanita. Pria dan wanita bekerja di kebun atas kemauan sendiri tanpa dipaksa
oleh orang tua. Khusus untuk wanita, ia sudah menunjukkan ciri-ciri keremajaan yang disebut bengkar le
ke cebong yang ditandai dengan adanya payudara pada dadanya. Selain tanda tersebut, ciri-ciri keremajaan yang lain adalah kepet uwa
mendapat tamu bulanan. Seiring dengan itu, baik pria maupun wanita akan memotong giginya, karena itu disebut reba racang ngis - molas cerep ngis. Untuk
acara potong gigi tidak ada upacara khusus. Pria dan wanita yang menganggap dirinya telah dewasa, akan pergi ke tukang gigi dukun untuk memotong giginya.
Selain memotong gigi, tanda-tanda kedewasaan lainnya adalah, untuk pria, ia sudah pecing pase
sapu - selek kope tahu cara mengikat destar dan mengikat parang di pinggang, bisa bekerja di kebun sambil membuat pagar di sekeliling kebun,
makan sirih pinang, ikut bermain caci pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta mengikuti kegiatan kesenian. Wanita yang menginjak usia remaja sudah tahu cara
berdandan, bisa mengatur kehidupan rumah tangga mencontohi ibunya, mengurus para pekerja di kebun, mampu berdialog dengan sesama kaum wanita, sudah
mengenal tata tertib kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. 63 Nggepo kebor - dael tange
‘ Memeluk irus - menumpuk bantal’ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64 Kemu nggencung - ngge po kebor
‘ Memeluk lesung - memeluk sendok’ Ungkapan 63 dan 64 merupakan idiom bagi seorang gadis yang datang ke
rumah sang pacar, menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri tanpa melalui prosedur adat. Dalam bahasa kasarnya disebut ine wai ata mai ngai perempuan yang datang
atas kemauan sendiri tanpa melalui prosedur adat. Hal tersebut dapat terjadi karena wanita tersebut telah mengandung anak dari sang pacar. Ungkapan nggepo kebor -
dael tange dan kemu nggencung - nggépo kébor dalam bahasa Manggarai memiliki
makna yang sama dengan rumput mencari kuda dalam idiom bahasa Indonesia.
65 Ine wai roto tong - beka lenga
‘ Wanita bagaikan keranjang penadah terbuka’ Ungkapan ine
wai roto tong - beka lenga merupakan idiom bagi wanita tuna susila. Secara leksikal, kata roto dalam bahasa Manggarai berarti keranjang yang
terbuat dari ruas-ruas bambu berukuran kecil, yang dianyam menjadi sebuah keranjang. Roto biasa dibawa oleh para ibu atau para gadis di desa ketika berangkat
ke ladang. Roto tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menyimpan bekal makanan dari rumah untuk dibawa ke ladang atau untuk
menyimpan hasil panen dari kebun untuk dibawa pulang. Orang Manggarai menggunakan roto sebagai kiasan bagi wanita tuna susila. Hal tersebut disebabkan
karena bentuk roto yang bulat dan terbuka untuk memudahkan para ibu menyimpan hasil panen tanpa harus menurunkan roto ke tanah. Ungkapan iné wai roto - tong
béka lénga dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan idiom
sumur di tepi jalan dalam bahasa Indonesia.
66 Anak cir wua labe agu wua conco
‘ Anak yang dilahirkan seperti buah ara dan buah conco’ Ungkapan
anak cir wua labe agu wua conco merupakan idiom untuk anak
yang lahir karena hubungan perselingkuhan. Bila ayahnya membawa seekor kuda untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka anak tersebut mempunyai
seorang ayah walaupun tidak menikahi ibunya. Bila ayahnya tidak mau bertanggung jawab, maka anak tersebut akan menjadi tanggung jawab sang ibu dan bila ibunya
menikah dengan laki-laki lain, maka anak tersebut sah menjadi anak dari suami baru ibunya.
67 Ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau
‘ Wajahnya bagaikan irisan nanas - pipinya bagaikan irisan buah mangga’
Secara leksikal, frasa lasar pandang dan lasar pau dalam bahasa Manggarai berarti irisan buah nanas dan irisan buah mangga. Buah nanas dan buah mangga yang
sudah diiris adalah buah yang sudah matang atau yang berwarna kuning. Irisan nanas dan mangga berbentuk panjang dan kecil. Buah nanas dan mangga yang
matang diumpamakan sebagai wajah seorang perempuan. Irisan nanas dan mangga diumpamakan sebagai bentuk hidung seorang wanita yang cantik, yaitu kecil dan
tirus. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau merupakan idiom untuk pria yang cakep wanita yang cantik tetapi lebih sering digunakan untuk
memuji kecantikan seorang wanita. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun
neho lasar pau memiliki makna yang sama dengan idom sirih kuning dalam bahasa
Indonesia, yakni gadis yang cantik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68 Cikat kina - wagak kaba
‘ Membelah kepala babi dan memotong kerbau’ Ungkapan
cikat kina-wagak kaba merupakan idiom yang bermakna bahwa perkawinan adat yang dilaksanakan sudah lengkap resmi karena semua belis mas
kawin dapat dibayar lunas oleh pihak pengantin laki-laki. Dalam adat masyarakat Manggarai, dikenal tiga jenis peresmian perkawinan. Pertama, perkawinan masuk
atau kawin masuk, dalam bahasa adatnya disebut pumpuk ulu - rami wa’i ; tu’us wa- cangkem eta ; donggo mata olo - donggé mata one. Kawin masuk terjadi karena
ketidakmampuan pihak laki-laki untuk membayar belis atau karena sesuatu yang sangat mendesak. Belis dalam perkawinan tersebut tidak dibayar tuntas, paling tinggi
hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai pengganti kuda. Selanjutnya, menurut adat Manggarai pasangan tersebut tidak dapat melakukan
upacara podo boyongan yaitu mengantar istri ke kampung suaminya. Sepasang pengantin tersebut akan tetap tinggal di rumah orang tua pengantin wanita sampai
belis dapat dibayar lunas oleh keluarga pengantin laki-laki. Jenis peresmian perkawinan yang kedua disebut umber. Belis dalam
perkawinan umber tidak dibayar tuntas melainkan sesuai dengan kemampuan keluarga pengantin laki-laki. Belis yang dibayar hanya setengah dari jumlah belis
yang ditetapkan oleh keluarga pengantin wanita, sedangkan sisanya akan dibayar oleh sepasang pengantin setelah hidup berkeluarga dan memperoleh kehidupan yang
layak. Sesudah menikah, si istri dapat diboyong ke kampung suaminya dan masuk menjadi anggota keluarga suku wa’u suaminya. Dengan demikian sang istri dapat
memperoleh segala warisan berdasarkan hak suaminya dalam suku. Ketika PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meresmikan perkawinan adat umber keluarga pihak laki-laki harus membawa seekor kerbau, yang disebut “kaba ute”. Kerbau tersebut akan dibunuh dan
dagingnya akan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga, diantaranya diberikan kepada keluarga ibu pengantin wanita anak rona sa’i anak rona ulu, seluruh
anggota suku dari ayah asé - ka’é de ema dan kepada seluruh warga kampung pa’ang olo - ngaung musi. Daging kerbau tersebut merupakan saksi bahwa
sepasang pengantin tersebut telah meresmikan perkawinannya menurut adat Manggarai yang disebut umber.
Jenis peresmian perkawinan yang ketiga adalah wagal atau nempung. Wagal atau nempung adalah pesta terakhir dalam rangka pernikahan. Belis dalam jenis
perkawinan ini dibayar tuntas, demikian pun uang sebagai penyerta belis. Upacara cikat kina - wagak kaba dilakukan pada perkawinan ini, yang menandai resminya
sebuah perkawinan adat. Dalam upacara cikat kina - wagak kaba, babi dan kerbau yang dibawa oleh keluarga pengantin laki - laki didoakan. Hal tersebut bertujuan
untuk mengikat kedua pengantin baru agar menjadi “satu” serta memohon rahmat dan berkat Tuhan untuk segala karya atau usaha sepasang pengantin untuk
mendukung kesejahteraan keluarga di masa mendatang, dijauhkan dari segala mara bahaya yang dapat mengganggu kehidupan berumah tangga serta kelak akan
diberikan keturunan. Bagi keluarga berada, wagal atau nempung akan dimeriahkan oleh permainan caci. Caci adalah tarian atau permainan tradisional Manggarai yang
dimainkan oleh dua orang pria dewasa dengan cara saling memukul atau mencambuk. Permainan caci berlangsung selama satu atau dua hari, sesuai
kesepakatan keluarga sepasang pengantin. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagian terakhir dari seluruh rangkaian peresmian perkawinan adat Manggarai adalah podo. Podo adalah upacara mengantar pengantin wanita dari
kampung asalnya ke kampung suaminya. Podo dilaksanakan sesudah umber atau wagal. Pada acara podo, anak rona keluarga pengantin wanita membawa semua
barang - barang yang telah diberikan orang tua pihak perempuan kepada anak dan suaminya, yang disebut widang atau wida. Selain membawa wida, pihak anak rona
juga membawa seekor babi yang disebut “ela pentang pitak” yang akan digunakan untuk upacara pembersihan yaitu membersihkan si istri dari segala keterikatannya
dengan keluarga asalnya. Setelah upacara pentang pitak, akan dilanjutkan dengan upacara gerep ruha menginjak telur yang dilakukan di depan mbaru gendang.
Dengan adanya upacara pentang pitak dan upacara gerep ruha si istri resmi menjadi anggota keluarga suaminya dan mengikuti segala tatanan kehidupan adat - istiadat
suaminya lut ceki de ronan. 69
Ce hi ri’i - wuka wancang-radi ngaung
‘ Membuka alang-alang dan pelepah bambu- memasang tangga bambu dari kolong rumah’
Ungkapan ce
hi ri’i - wuka wancang - radi ngaung merupakan idiom yang bermakna bahwa perkawinan yang diadakan belum lengkap, belum sampai pada
wagal, karena belis belum dibayar lunas oleh pihak anak wina keluarga pihak laki- laki.
70 Neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina
‘ Kuda jantan jangan ditahan - kuda betina jangan disimpan’ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ungkapan neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina merupakan
idiom yang bermakna meminta keluarga anak wina segera melunasi belis. 71 Pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru
‘ Memakai destar- masuk rumah melalui pintu’ Ungkapan
pase sapu-selek kope weda rewa-tuke mbaru merupakan idiom yang bermakna bahwa calon pengantin laki-laki datang meminang gadis secara resmi
melalui upacara pongo lamaran. 72
Anak pencang wa - ende lomes kole ‘ Anak dibiarkan tak terurus - ibu sibuk berdandan’
Ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole merupakan idiom untuk
menyindir seorang ibu janda yang tidak mengurus anaknya dengan baik karena sibuk mencari perhatian laki- laki untuk menikah lagi.
73 Hi nana lelo tana - hi enu lelo awang ‘ Laki-laki melihat bumi - perempuan melihat langit’
Ungkapan hi nana lelo tana - hi enu lelo awang merupakan idiom sindiran bagi pasangan yang melakukan hubungan seks di luar nikah sebelum menikah
resmi Jika tidak ada halangan menurut adat, maka keduanya harus dinikahkan. Bila berhalangan menurut adat maka diadakan upacara pemutusan hubungan keduanya
yang disebut pana mata leso memanah matahari atau juga yang biasa disebut kepu munak memotong batang pisang. Dalam upacara ini diadakan upacara tobat dari
kedua insan yang berdosa itu harus melakukan upacara tobat dihadapan semua penduduk kampung.
74 Loma wina data ‘ Berzinah dengan isteri orang’
Ungkapan loma wina data merupakan ungkapan untuk menyindir seorang
laki-laki yang berzinah dengan istri orang. Bila sang suami memergoki istrinya sedang berzinah, secara adat ia dibenarkan bila membunuh istri dan selingkuhannya
asalkan langsung di tempat terjadinya perselingkuhan. Bila tidak tertangkap basah, tetapi sang suami dapat membuktikan bahwa si istri benar-benar melakukan
perselingkuhan dan dikuatkan oleh saksi, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, si istri dikembalikan kepada orang tuanya podo kole
nggerone anak rona atau dengan kata lain, diceraikan melalui upacara “saung leba”. Kedua, si istri
dikembalikan kepada orang tuanya dan pihak orang tua wanita anak rona datang memohon ampun kepada suaminya, yang disebut dengan upacara “ somba rona” dan
dilanjutkan dengan upacara pembersihan diri wanita yang disebut dengan upacara “cebong”. Ketiga, suami menceraikan istrinya dan si istri dinikahkan dengan
selingkuhannya. 75
Pana mata leso ‘ Memanah matahari’
76 Kepu munak
‘ Memotong batang pisang’ Ungkapan 75 dan 76 merupakan idiom untuk upacara pembersihan diri
dari sepasang kekasih yang melakukan perselingkuhan. 77 Jarang pentang majung
‘ Kuda untuk membersihkan kutu busuk’ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ungkapan jarang pentang majung merupakan idiom untuk seorang laki-laki
yang menikahi seorang janda. Menurut adat Manggarai, laki-laki tersebut harus menyerahkan seekor kuda kepada keluarga sang janda sebagai tanda penghormatan
kepada almarhum suaminya. 78
Lage loce toko de rona ‘ Melewati tikar tidur suami’
Ungkapan lage loce toko de rona merupakan idiom untuk seorang istri yang
berzinah dengan lelaki lain di kamarnya sendiri. 79
Polis wisi loced ga ‘ Sudah bentang tikar’
Ungkapan polis wisi loced ga merupakan idiom untuk sepasang kekasih yang
telah mendapat restu dari kedua orang tua untuk menikah secara adat. 80
Api toe caing-wae toe haeng ‘ Sudah tidak dapat menyalakan api di dapur dan tak sanggup lagi
mengambil air’ Ungkapan
api toe caing - wae toe haeng merupakan idiom untuk seorang ibu yang menikahkan anaknya karena sang ibu sudah tidak sanggup lagi melaksanakan
tugasnya untuk bekerja di dapur. Ia menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan dari saudara laki-lakinya. Dalam bahasa Manggarai, perkawinan antara
anak laki-laki dari saudari dengan anak perempuan dari saudara disebut tungku. 81
Hang toe tanda - inung toe nipu ‘ Makan dan minum sembarangan’
Ungkapan hang toe tanda - inung toe nipu merupakan idiom bagi orang yang
melanggar susila. 82 Tepi tana - mbokang wae
‘ Ibarat anak menampi tana dan memercik air lalu mengencinginya’ Ungkapan
tepi tana-mbokang wae merupakan idiom bagi orang yang melanggar susila.
83 Neho anak wara ata toe di loda putes
‘ Seperti bayi yang belum jatuh tali pusarnya’ Ungkapan
neho anak wara ata toe di loda putes merupakan idiom bagi orang dewasa yang bersifat kekanak-kanakkan.
84 Lada meka weru
Ungkapan lada meka weru merupakan ungkapan untuk wanita yang sedang
melahirkan. 85
Cai ata le mai puar
‘ Kedatangan tamu dari hutan’ Ungkapan
cai ata le mai puar merupakan idiom untuk menyatakan makna
seorang ibu yang sedang melahirkan anaknya. Ata le mai puar merupakan kiasan bagi seorang bayi yang baru lahir.
86 Mbelos du lewo - pa’u du ngaung
‘ Jatuh lewat lubang ke kolong rumah’ Ungkapan
mbelos du lewo - pa’u du ngaung merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang ibu yang mengalami keguguran.
87 Wulang linga
‘ Bulan kosong’ Ungkapan
wulang linga merupakan idiom untuk menyatakan makna bulan terakhir saat menantikan kelahiran bayi.
88 Rompe
one Ungkapan rompe
one merupakan ungkapan untuk menyatakan makna seorang ibu yang hamil setelah melahirkan, sebelum sempat mendapat tamu bulanan.
89 Mamur wulang Ungkapan
mamur wulang merupakan ungkapan bagi wanita yang tidak mendapat tamu bulanan dan mulai hamil. Ungkapan mamur wulang dalam bahasa
Manggarai mempunyai makna yang sama dengan berbadan dua dalam bahasa
Indonesia. 90
Peci pase sapu - selek kope
‘ Tahu cara mengikat destar di kepala dan mengikat parang di pinggang’ Ungkapan
peci pase sapu - selek kope merupakan idiom untuk menyatakan
makna bahwa sebelum menikah, seorang laki-laki harus pandai bekerja atau sudah mempunyai pekerjaan, sehingga dapat menghidupi anak dan istrinya. Selain itu,
ungkapan tersebut merupakan idiom untuk seorang anak lelaki yang menginjak usia remaja, yang ditandai dengan mengikat destar di kepala dan mengikat parang di
pinggang untuk mencari kayu bakar atau ketika hendak berangkat ke ladang. 91 Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang
‘ Melepaskan laki kawin - sedap bermain mata’ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ungkapan oke rona ngoeng - di’an lelo ilang merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang istri yang melakukan hubungan gelap dengan pria lain.
92 Reba-molas ‘ Laki-laki yang cakep - perempuan yang cantik’
Ungkapan reba molas merupakan idiom untuk menyatakan makna pasangan
selingkuh. Menurut adat Manggarai, reba molas ada dua macam, yaitu reba molas selingkuh dengan seorang gadis dan reba molas dengan istri orang. Hukum adat
yang berlaku untuk anak yang dilahirkan dari hasil perselingkuhan dengan istri orang adalah anak tersebut akan menjadi anak dari suami yang sah., sedangkan anak yang
dilahirkan dari reba molas dengan seorang gadis tergantung pengakuan dari sang gadis mengenai ayah biologis dari anak yang dilahirkan. Jika sang ayah mau
bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, maka ada kemungkinan keduanya akan menikah tergantung situasi dan kondisi. Bila sang ayah tidak mau
bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, maka anak tersebut akan menjadi tanggung jawab orang tua si gadis.
93 Nggole
ng loce - dael tange ‘ Mengguling tikar - menumpuk bantal’
Ungkapan nggole
ng loce - dael tange merupakan idiom bagi calon pengantin laki-laki yang mengurus pernikahannya tanpa melibatkan anggota keluarga.
94 Pa’u pacu ‘ Pipinya turun’
Ungkapan pa’u pacu merupakan idiom untuk perawan tua. Untuk mencegah
hal tersebut, maka orang tua akan mendorong atau bahkan memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan calon mantu yang disenanginya.
95 Bom salang tuak - maik salang wae
‘ Bukan jalan menuju pohon enau yang airnya sesewaktu dapat berhenti tetapi jalan menuju mata air yang tidak pernah berhenti mengalir ‘
Ungkapan bom salang tuak- maik salang wae merupakan idiom untuk
menunda pembayaran barang benda pemberian orang tua pengantin wanita kepada sepasang pengantin baru. Setelah menikah, pengantin wanita mendapat hak berupa
widang dan wida. Widang adalah pemberian orang tua atau saudara-saudara yang sudah berkeluarga, berupa barang-barang yang dapat dipakai setiap hari, seperti
perhiasan, pakaian, kain songke , peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Wida adalah
barang pemberian pihak anak rona orang tua pengantin wanita kepada anak gadisnya yang telah berkeluarga. Pemberian tersebut diberikan saat upacara adat
wagal nempung sebagai balasan belis yang diberikan oleh anak wina keluarga pengantin laki-laki pada saat pongo tunangan. Selain itu, ada pula wida yang
diberikan di luar upacara adat, yaitu wida berupa sawah atau ladang. Menurut hukum adat Manggarai, wida yang diberikan berupa ladang atau sawah harus dibalas oleh
pihak anak wina yang disebut wali wida. Wali wida berupa hewan ternak kerbau, kuda, sapi, babi. Wali wida dapat ditunda pembayarannya, sesuai kemampuan
sepasang pengantin baru pihak anak wina. Untuk menunda pembayaran wali wida kepada anak rona, pihak anak wina akan mengatakan,” bom salang tuak, maik salang
wae”, kepada pihak anak rona. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pemberian widang dan wida mengarah kepada pemberian harta warisan dari
orang tua kepada anak gadis mereka yang telah berkeluarga. Pemberian tersebut dipandang sebagai penghargaan dari pihak anak rona pihak pemberi istri kepada
anak wina pihak penerima istri untuk menguatkan relasi antara anak rona dan anak wina.
96 Rekok re me lebon - ro’e lari ngoeln - gencok neho gentok - loda neho
we la
‘ Patah ketika sedang mekar - dipetik ketika masih muda - dipetik seperti buah ketela muda - jatuh seperti pucuk bunga ketela’
Secara leksikal, kata gentok dan wela dalam bahasa Manggarai berarti buah ketela muda dan pucuk bunga ketela. Masyarakat Manggarai menggunakan gentok
dan wela sebagai sayuran. Wela biasanya dipetik pada pagi hari agar tidak layu terkena paparan sinar matahari. Dalam ungkapan rekok re
me lebon - ro’e lari ngoe
ln- gencok neho gentok - loda neho wela, gentok digunakan sebagai kiasan seorang anak muda dan wela digunakan sebagai kiasan kematian seseorang pada usia
muda. Ungkapan rekok re me lebon - ro’e lari ngoeln - gencok neho gentok - loda
ne ho wela merupakan idiom untuk anak yang meninggal pada usia sekolah masa
remaja. 97
Dempok neho te u - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo
Ungkapan dempok neho te
u - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo merupakan idiom untuk anak yang meninggal pada masa kanak-kanak.
98 Kole
okan mokang - kole ramin laki ‘ Kerbau betina kembali ke padang gembalanya dan kerbau jantan pun
kembali ke semak belukar’ Ungkapan
kole okan mokang - kole ramin laki merupakan idiom untuk
sepasang kekasih yang memutuskan hubungan pertunangan. Pada acara pongo lamaran, pihak anak rona keluarga wanita pihak pemberi istri dan anak wina
keluarga pria pihak penerima istri membuat suatu kesepakatan mengenai sejumlah paca belis mas kawin. Belis mas kawin merupakan rasa ungkapan terima kasih
dari pihak anak wina kepada pihak anak rona karena telah menjaga dan membesarkan calon pengantin wanita. Selain sebagai rasa ungkapan terima kasih,
belis tersebut kelak akan digunakan oleh sepasang pengantin baru dalam memulai kehidupan rumah tangganya. Belis mas kawin tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu
paca pe ’ang tana belis di luar rumah dan paca one mbaru one lutur belis di
dalam rumah. Paca pe ’ang tana yaitu sejumlah belis berupa kerbau dan kuda,
sedangkan paca one mbaru one lutur yaitu berupa sejumlah uang yang harus
dibayar oleh pihak anak wina kepada pihak anak rona sebagai penambah dari paca pe
’ang tana. Besarnya jumlah belis ditentukan oleh pihak anak rona. Kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak kemudian
dikukuhkan dalam suatu upacara yang disebut ela mbukut, yang menandai resminya pertunangan antara calon pengantin wanita dengan pengantin laki-laki. Bila acara
pertunangan telah diresmikan, ada hukum yang wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak, khususnya sepasang calon pengantin. Bila calon pengantin wanita
memutuskan tali percintaan, maka orang tuanya dikenakan sanksi yaitu semua uang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang sudah dibayar dan belis yang sudah diterima harus dikembalikan kepada orang tua calon pengantin laki-laki. Selain itu, pihak anak rona harus menyiapkan seekor
babi yang disebut ela podo wa’u. Demikian pun sebaliknya, jika calon pengantin pria memutuskan hubungan pertunangan, maka orang tuanya dikenakan sanksi yaitu
semua belis serta sejumlah uang yang telah diberikan kepada pihak anak rona pada saat pongo tidak akan dikembalikan. Pihak anak wina harus menyiapkan seekor
kerbau atau kuda yang disebut kaba cemu ritak atau jarang cemu ritak kerbau atau kuda untuk menutupi rasa malu dari gadis yang telah diputuskan oleh tunangannya.
99 Wae de mendi
‘ Air dari hamba’ Ungkapan
wae de mendi merupakan idiom untuk menyatakan makna keturunan hamba.
100 Congka lobo boa
‘ Lompat-lompat di atas makam’ Ungkapan
congka lobo boa memiliki makna yang sama dengan ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole.
101 Mejok déko - ngguing wuli - lélak médak - momang nggotak
‘ Jinak bila ditangkap - bergerak-gerak karena dibelai - meligas dengan penuh gairah’
Secara leksikal, kalimat mejok déko dan ngguing wuli dalam bahasa Manggarai berarti jinak bila ditangkap atau didekati dan bergerak-gerak karena
merasa senang ketika dibelai. Kalimat mejok déko dan ngguing wuli ditujukan kepada hewan,dalam hal ini kuda. Seekor kuda bila didekati dan dibelai akan
menjadi jinak dan patuh pada perintah tuannya. Pada ungkapan di atas, kuda digunakan sebagai kiasan dari seorang gadis. Ungkapan mejok déko - ngguing wuli-
lélak médak - momang nggotak merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang wanita yang tidak menolak bila dipegang atau dibelai, melayani dengan penuh gairah
serta menerima permintaan pria dengan senang hati. 102 Mohasn na’a ronag - kali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’ag - kali
tu’a agu kula Secara leksikal, kata koka dan kula dalam bahasa Manggarai berarti burung
madu dan musang. Burung madu adalah sejenis burung yang tidak pernah diam, selalu berkicau bahkan di saat mencotol makanan. Musang adalah binatang yang
mempunyai tabiat tidak mempedulikan sesama jenisnya tetapi selalu menunjukkan sifat bermusuhan serta memangsa sesamanya. Dalam ungkapan mohas’n na’a ronag-
kali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’ag - kali tu’a agu kula, burung madu dan musang digunakan sebagai kiasan. Burung madu adalah kiasan atau perumpamaan
mengenai sikap serta perilaku suami yang selalu mencela pekerjaan istrinya, memerintah sang istri untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga dan
memarahi sang istri bila melakukan kesalahan atau kekeliruan. Sang suami selalu benar sedangkan istrinya dianggap serba salah. Sang istri diperlakukan sebagai
seorang pembantu rumah tangga bukan sebagai patner hidup suami. Musang adalah kiasan atau perumpamaan mengenai tabiat mertua yang tidak mencerminkan
pengganti orang tua bagi menantu wanita tetapi selalu menunjukkan sifat bermusuhan.
Ungkapan mohasn na’a ronag - kali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’ag-
kali tu’a agu kula merupakan idiom untuk menyatakan makna penyesalan seorang wanita yang telah berumah tangga karena sering mendapat tekanan, baik dari sang
suami maupun mertua. Sang istri dituntut untuk mengerjakan segala sesuatu yang diinginkan suaminya. Sikap sang suami terhadap istrinya seolah-olah antara seorang
majikan dengan pembantu rumah tangga. Sang istri selalu ditegur oleh suaminya bila segala pekerjaan rumah tangga belum diselesaikan. Sang mertua yang diharapkan
sebagai pengganti orang tua wanita tidak menunjukkan tanda-tanda atau sikap sebagai seorang ibu yang selalu siap mengayomi anaknya, melainkan menunjukkan
sikap bermusuhan. Ia bersikap acuh tak acuh, tidak memberikan petunjuk yang baik terhadap menantu, dalam hal memperbaiki kekeliruan serta tidak mengakui kegiatan
dalam rumah tangga yang dilakukan oleh sang menantu. 103 Teti toe decing - lako toe baro
Ungkapan teti toe decing - lako toe baro merupakan ungkapan bagi orang yang pergi tanpa pamit.
104 Ca pujut kali nuk - dako kali anor Ungkapan ca pujut kali nuk - dako kali anor merupakan idiom untuk
menyatakan makna orang yang kurang bijaksana. 105 Tiwu lele - lewing lembak
‘ Danau yang lebar - panci bermulut lebar’ 106 Nai nganggil - tuka ngengga
‘ Hati yang lapang; luas - perut lebar’ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ungkapan 105 dan 106 merupakan idiom untuk menyatakan makna orang yang bijaksana. Ungkapan tiwu lele - lewing lembak dan nai nganggil - tuka ngengga
dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan ungkapan lautan budi tepian akal dalam idiom bahasa Indonesia.
107 Purak mukang - wajo kampong Ungkapan purak mukang - wajo kampong merupakan ungkapan untuk
menyatakan makna orang yang menyerang kampung secara langsung. 108 Ngampang tana - ngawe wae
‘ Jurang yang curam - tebing rendah di pinggir sungai’ Ungkapan ngampang tana - ngawe wae merupakan idiom untuk
menyatakan makna permusuhan yang tidak boleh melanggar batas. Dalam ungkapan ngampang tana - ngawe wae, ngampang jurang dan ngawe wae adalah batas suatu
daerah kekuasaan wilayah. 109 Sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa
‘ Mulut tertutup rapat – ternyata di dalam perut ada jurang yang dalam’ 110 Tu’ung le mu’u - toe le nai
‘ Mulut berkata ia - tapi hati berkata tidak’ Ungkapan 109 dan 110 menyatakan makna lain di bibir lain di hati. Apa
yang diucapkan di bibir tidak sejalan dengan isi hati. Ungkapan sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa dan tu’ung le mu’u - toe le nai dalam bahasa Manggarai
memiliki makna yang sama dengan peribahasa buah manis berulat di dalamnya.
111 Tekur cai retuk - lawo cai bao ‘ Burung tekukur yang baru menetas - tikus yang baru lahir
112 Anak koe loas weru ‘ Anak yang baru lahir’
Ungkapan 111 dan 112 merupakan idiom untuk orang yang belum berpengalaman dalam hal pekerjaan. Ungkapan tekur cai retuk - lawo cai bao dan
anak koe loas weru dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan
peribahasa belum tahu di pedas lada.
113 Mempo neho elong - puta neho munak ‘ Hancur bagai batang pisang - punah bagai batang pisang’
Ungkapan mempo neho elong - puta neho munak merupakan idiom untuk mengutuk seseorang yang melakukan tindakan kejahatan mencuri, membunuh.
3.2.6 Ungkapan yang Berkaitan dengan Ejekan