Kategori pasien tuberkulosis Diagnosis tuberkulosis

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011 Suspek tuberkulosis Pemeriksaan dahak mikroskopis, Sewaktu-Pagi-Sewaktu SPS Hasil BTA - - - Hasil BTA + - - Hasil BTA + + + ; + + - Pemeriksaan rontgen dada Antibiotik Non-OAT Hasil mendukung TB Hasil tidak mendukung TB Ada perbaikan Tidak ada perbaikan Pemeriksaan ulang SPS Hasil BTA - - - Hasil BTA + + + ; +++ ; + - - Pemeriksaan rotgen dada Hasil tidak mendukung TB Hasil mendukung TB Bukan TB, penyakit lain BTA negatif rontgen positif Penderita TB BTA positif b. Diagnosis pada pasien anak Diagnosis untuk pasien tuberkulosis paling tepat dilakukan melalui pemeriksaan BTA pada sputum. Namun pada anak-anak pemeriksaan BTA pada sputum sulit dilakukan, sehingga diagnosis tuberkulosis pada anak didasarkan pada gambaran klinis, foto rontgen dada, dan uji tuberkulin. Seorang anak dicurigai terinfeksi tuberkulosis apabila memiliki riwayat kontak erat atau serumah dengan penderita tuberkulosis dan mengalami gejala-gejala umum tuberkulosis. Selain itu diagnosis tuberkulosis pada anak digunakan sistem skor, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang ditemukan Mulyani, 2006. Pasien anak dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai pasien tuberkulosis dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis OAT. Skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah tuberkulosis kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, fungsi lumbal, fungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan, dan lain-lain Mulyani, 2006. Tabel I. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007 Parameter 1 2 3 Jumlah Kontak tuberkulosis Tidak jelas Laporan keluarga, BTA negatiftidak tahu, BTA BTA positif Parameter 1 2 3 Jumlah tidak jelas Uji tuberkulin Negatif Positif, ≥10mm, atau ≥5mm pada keadaan imunosup- resi Berat badankeadaan gizi Bawah garis merah KMS atau BBU 80 Klinis gizi buruk BBU 60 Demam tanpa sebab yang jelas ≥2minggu Batuk ≥3minggu Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal ≥1cm, jumlah 1, tidak nyeri Pembengkakan tulangsendi panggul, lutut, falang Ada pembeng- kakan Foto rontgen toraks Normal tidak jelas Jumlah Tabel I. Lanjutan Catatan:  Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.  Batuk dimasukan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.  Jika dijumpai skrofuloderma TB pada kelenjar dan kulit, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.  Berat badan dinilai saat pasien datang kemudian dilampirkan pada tabel berat badan.  Foto toraks bukan alat diagnotik utama pada TB anak.  Semua anak dengan reaksi cepat BCG reaksi lokal timbul7 hari setelah penyuntikan harus dievaluasi dengan sistem skor tuberkulosis anak.  Anak didiagnosis TB jika skor 6, skor maksimal 14.  Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

B. Pengobatan Tuberkulosis

1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip sebagai berikut. a. Obat Anti Tuberkulosis OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi. Pemakaian OAT- FDC Fixed Dose Combination akan lebih menguntungkan dan dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung DOT = Directly Observed Treatment oleh seorang Pengawas Menelan Obat PMO. c. Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011.

2. Strategi pengobatan

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah menyembuhkan pasien, mencegah kematian dan kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman. Sasaran terapinya adalah Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi organ paru maupun ekstra paru. Strategi terapi untuk menanggulangi tuberkulosis dilakukan melalui terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi Sukandar dkk., 2009. a. Nonfarmakologi 1. Mengisolasi ruangan pasien yang dirawat, dengan menggunakan sinar UV dan dilengkapi lubang ventilasi yang aman. 2. Operasi untuk membersihkan organ atau jaringan yang terinfeksi karena adanya lesi Dipiro et al, 2008. b. Farmakologi Terapi farmakologi untuk mengatasi tuberkulosis dikenal dengan strategi DOTS Directly Observed Treatment Short Course Chemoterapy. Dalam strategi DOTS, pengobatan tuberkulosis dilakukan baik dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis OAT dalam bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT- FDC Fixed Dose Combination. Obat tuberkulosis yang dipakai adalah antimikroba dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Obat golongan I lini pertama yang umum dipakai adalah rifampicin R, isoniazid H, pyrazinamid Z, ethambutol E, dan streptomycin S Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011. Rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan streptomycin bersifat bakterisid sedangkan ethambutol bersifat bakteriostatik. Isoniazid bekerja dengan mengganggu sintesa mycolic acid yang diperlukan dalam membangun dinding sel bakteri sehingga membunuh 90 populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Rifampicin bekerja dengan membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja rifampicin dengan mengganggu sintesis RNA polimerasi bakteri. Pyrazinamid bekerja dengan membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme aksi obat ini didasarkan pada pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa. Mekanisme aksi ethambutol dengan menghambat sintesis RNA pada kuman yang sedang membelah serta menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel bakteri. Streptomycin bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman lewat jalan pengikatan pada RNA ribosomal, sehingga dapat membunuh kuman yang sedang melakukan pembelahan Sukandar dkk, 2009. Penggunaan obat-obat golongan II, III, dan IV seperti para aminosalisilat, kanamicin, rifabutin, levofloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, dan etionamid digunakan bila terjadi resistensi obat golongan I lini pertama. Rifabutin digunakan sebagai

Dokumen yang terkait

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

0 1 50

Evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare dengan metode gyssens di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.

0 4 213

Evaluasi interaksi penggunaan obat hipoglikemi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 1 92

Evaluasi interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 4 109

Evaluasi penggunaan obat Hipoglikemia pada pasien di instalasi rawat inap bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Agustus 2015.

1 6 117

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.

7 45 147

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul

0 0 48

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 - USD Repository

0 0 140

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

0 1 205

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository

0 0 144