BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah Menengah Pertama merupakan jenjang pendidikan yang ditempuh siswa setelah lulus dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar.
Siswa yang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama pada umumnya adalah anak umur 13–15 tahun. Pada rentang usia tersebut, anak
mulai tumbuh berkembang menjadi remaja. Pada Sekolah Menengah Pertama banyak terjadi pengelompokan
siswa secara homogen berdasarkan prestasi belajar siswa. Praktik pengelompokan ini dikenal dengan istilah ability grouping. Ability
grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa dilakukan pada
pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu sekolah. Jadi ada kelas unggulan dan juga kelas terbelakang di dalam
satu sekolah Anita Lie, 2010:39 Praktik pengelompokkan siswa secara homogen juga terjadi di
SMP Negeri 2 Playen. SMP Negeri 2 Playen beralamat di Gading, Playen, Gunungkidul. Menurut keterangan dari wakil kepala sekolah urusan
kurikulum, SMP tersebut sudah menggunakan sistem pengelompokkan siswa secara homogen sejak 2 tahun yang lalu, yaitu sejak tahun 2009.
Proses pengelompokkan dilakukan saat pertama kali siswa mendaftarkan
1
diri di SMP tersebut. Pertama-tama siswa yang mendaftar harus lolos seleksi nilai ujian nasional SD, maksudnya adalah para siswa harus
bersaing dengan siswa lain menggunakan nilai ujian nasional SD. Setelah lolos seleksi nilai, kemudian pihak sekolah melakukan tes potensi
akademik. Dari tes potensi akademik tersebut, kemudian hasilnya akan di rangking. Siswa yang menduduki rangking-rangking teratas akan masuk di
kelas unggulan dan siswa lainnya akan masuk pada kelas reguler. Menurut pernyataan wakil kepala sekolah urusan kurikulum SMP
Negeri 2 Playen, walaupun siswa dikelompokkan dalam kelas tertentu, namun tidak ada perbedaan perlakuan. Kelas unggulan maupun kelas
reguler mendapatkan fasilitas dan perlakuan sama. Namun, beliau mengatakan bahwa ada beberapa kekurangan dan kelebihan dari sistem
pengelompokkan tersebut. Kelebihannya adalah guru lebih mudah dalam mengajar siswa, karena rata-rata kemampuan siswa setiap kelas sama.
Kelebihan lainnya adalah pada kelas unggulan suasana belajar menjadi kodusif dan persaingan menjadi ketat hal tersebut dikarenakan siswa kelas
unggulan mempunyai harapan yang tinggi terhadap pencapaian prestasi. Sedangkan kekurangannya adalah siswa kelas reguler kadang merasa
dirinya adalah kumpulan siswa kurang pintar, sehingga kadang terjadi kesenjangan sosial antara kelas unggulan dengan kelas reguler.
Pengelompokan siswa menjadi kelas unggulan dan kelas reguler turut mempengaruhi anak dari segi psikologi, sangat mungkin terjadi anak
menjadi kurang percaya diri karena merasa bukan kumpulan anak pintar
kelas reguler, dan sebaliknya anak menjadi sangat percaya diri karena berada dalam kumpulan siswa pilihan kelas unggulan. Hal tersebut
berpengaruh pada motivasi belajar siswa. Motivasi siswa mungkin menjadi beraneka ragam dengan adanya pengelompokan kelas, karena
dimungkinkan adanya perpindahan kelas pada setiap kenaikan kelas. Siswa reguler mungkin menjadi termotivasi untuk belajar karena ingin
berpidah ke kelas ungulan, dan siswa kelas unggulan termotivasi untuk belajar karena tidak ingin berpindah ke kelas reguler.
Berdasarkan observasi di SMP Negeri 2 Playen, ada beberapa masalah yang dapat ditemuka n. Masalah tersebut muncul khususnya pada
saat belajar matematika baik pada kelas unggulan maupun kelas reguler. Pada umumnya mata pelajaran yang tidak disukai siswa adalah pelajaran
matematika, hal itu didukung dengan pernyataan beberapa siswa yang sempat diwawancarai secara singkat oleh penulis. Mereka mengatakan
bahwa mereka kurang senang dengan pelajaran matematika, karena menurut mereka matematika adalah pelajaran yang sulit. Siswa kurang
fokus saat mengikuti pelajaran matematika, siswa sering malas-malasan untuk mengerjakan soal matematika yang sulit, kurangnya motivasi siswa
dalam belajar matematika, kecenderungan siswa yang pasif saat mengikuti pelajaran matematika dan guru cenderung menggunakan metode
konvensional saat mengajar matematika, masih banyak siswa yang mendapat nilai matematika di bawah KKM, dimana nilai minimal KKM
adalah 68 .
Intensitas masalah yang ada pada kelas reguler cenderung lebih terlihat dibandingkan dengan kelas unggulan. Hal ini terlihat dari hasil
belajar matematika yang dicapai siswa kelas VIII unggulan maupun reguler masih banyak yang belum memenuhi standar KKM Kriteria
Ketuntasan Minimal. Jumlah siswa yang belum memenuhi standar KKM di kelas reguler lebih banyak jika dibandingkan dengan kelas unggulan.
Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab untuk mencapai keberhasilan belajar. Salah satu faktor tersebut adalah motivasi
belajar. Motivasi adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai
Sardiman, 1986:75. Oemar Hamalik 2007:179 juga menyatakan bahwa motivasi sangat penting karena suatu kelompok yang mempunyai motivasi
akan lebih berhasil ketimbang kelompok yang tidak punya motivasi belajarnya kurang atau tidak berhasil.
Menelaah uraian di atas, masalah yang ditemukan di SMP Negeri 2 Playen adalah mengenai motivasi belajar dan hasil belajar matematika,
maka perlu diadakan penelitan secara lanjut mengenai motivasi belajar dan hasil belajar matematika antara siswa kelas unggulan dan kelas reguler.
Oleh karena itu, penulis akan melaksanakan penelitian dengan judul
“Korelasi Motivasi dengan Hasil Belajar Matematika Pada Kelas VIII
Unggulan dan Reguler dengan Pokok Bahasan Kubus dan Balok di SMP Negeri 2 Playen Tahun 2012”.
B. Identifikasi Masalah