2.5 Kependudukan, Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Jumlah penduduk di Kabupaten Semarang sampai dengan tahun 1997 mencapai 673.390 jiwa, dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani. Selama kurun
waktu 1995-1998 pertumbuhan penduduk di Kawasan Rawapening cukup rendah, yakni rata-rata 0,79 per tahun, namun pada tahun 1998 mulai mengalami
peningkatan menjadi 939,33 jiwa per km
3
. Hal ini berabrti bahwa tekanan penduduk pada lahan pertanian semakin meningkat P4N UGM, 2000. Data pada tahun 2010
menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Semarang adalah 917.745 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di sekiatar Danau Rawapening adalah 207.438
jiwa BPS Kabupaten Semarang, 2010. Terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk, jika dilihat data pertumbuhan
penduduk pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,93 Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000. Tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Semarang per tahun selama
sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000
–
2010 sebesar 1,02 BPS Kabupaten Semarang, 2010. Data pada tahun 2010 jumlah penduduk di sekitar wilayah Danau
Rawapening sebanyak 46.076.016 petani, 27.378.715 orang buruh tani, 25.426.583 orang buruh industri, 11.022.052 orang buruh bangunan, 2.205 orang nelayan,
3.745.874 orang pengusaha, 2.239 orang peternak perikanan BPS Kabupaten Semarang, 2010, Bappeda Kota Salatiga, 2009.
Jenis usaha yang berkembang di Kawasan Rawapening adalah industri pengolahan, pertanian, perikanan, serta pariwisata. Jenis usaha sektor industri
pengolahan di Kawasan Rawapening didominasi oleh industri kecil, sampai tahun 1999 jumlah industri kecil di Kawasan Rawapening mencapai 7.111 unit usaha dengan
jumlah tenaga kerja terserap 19.646 orang dan nilai produksi yang dihasilkan Rp.23.587.022.000,-. I ndustri eceng gondok tidak termasuk ke dalam industri
unggulan, meskipun bahan baku industri eceng gondok cukup tersedia di perairan Danau Rawapening P4N UGM, 2000.
Perkembangan usaha perikanan terutama produksi ikan di Kawasan Rawapening dari tahun ke tahun mengalami peningkatan 50,14 . Lokasi kegiatan usaha sektor
perikanan di Kawasan Rawapening terdapat di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen dengan produksi ikan air tawar.
Usaha pariwisata yang berada di Kawasan Rawapening sangat berkaitan erat dengan potensi alam, historis, budaya yang dimiliki seperti Candi Gedong Songo,
Palagan Ambarawa, Bukit Cinta, Pemandian Muncul, Museum Kerata Api, Bandungan
–
I ndah, Waduk Umbul Songo, Pemandian Kopeng, Agrowisata Tlogo, Asinan di Kecamatan Bawen, dan Benteng Pendem. Jumlah wisatawan yang berkunjung di
obyek wisata Kawasan Rawapening masih didominasi oleh wisatawan nusantara sekitar 98.91 , sisanya adalah wisatawan mancanegara Pusat Penelitian Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2000. Selama tahun 2009 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung di Kawasan Rawapening sejumlah 50.520, sedangkan wisatawan
mancanegara mencapai 148 orang BPS, 2010. Sampai dengan saat ini baru terdapat tiga orang pengrajin sekaligus pengusaha
kerajinan eceng gondok yang memanfaatkan eceng gondok dari Danau Rawapening. Ketiga pengrajin tersebut memiliki spesialisasi produksi yang berbeda, yang pertama
sepatu dan sandal, kedua kerajinan tas, nampan, tempat kue, tempat tissue serta keranjang, yang ketiga khusus meja dan kursi. Kerajinan eceng gondok ini merupakan
kerajinan yang unik, karena selama ini eceng gondok dianggap sebagai sampah dan hama diperairan, namun ternyata dapat berubah menjadi komoditi usaha yang
menjanjikan jika diolah menjadi berbagai jenis kerajinan yang menarik, berseni, dan berdaya jual tinggi.
Enceng gondok dari Danau Rawapening sebagai bahan baku kerajinan juga dikirim ke Yogjakarta. Pemasok memperoleh enceng gondok dari hasil tanaman liar
dan bukan dari pembudidayaan. Penduduk di sekitar Danau Rawapening hanya tinggal mengambil tanaman yang tumbuh liar dan memenuhi hamparan permukaan danau.
Pengolah tidak perlu memikirkan ketersediaan bahan baku tanaman enceng gondok untuk pemanenan berikutnya, karena jumlah yang tersedia sangat banyak. Mereka
tinggal menunggu atau berpindah ke area lain dimana tanaman sudah cukup besar untuk diambil tangkai daunnya. Perkembangbiakan dan pertumbuhan tanaman enceng
gondok memang sangat cepat. Usaha industri pemanfaatan enceng gondok di Kawasan Rawapening masih
terbatas. Bagian tanaman enceng gondok yang diambil untuk hiasan adalah bagian tangkai daunnya saja. Enceng gondok tidak memiliki batang, jadi hanya terdiri dari
daun, tangkai daun, bonggol akar dan akar itu sendiri. Dengan demikian setelah diambil bagian tangkainya, akan menghasilkan limbah berupa bagian sisa tanaman
yang tidak diolah lebih lanjut. Selain sebagai bahan dasar untuk kerajinan tangan, tanah gambut yang merupakan sisa-sisa tanaman dan gulma yang mati dan
mengendap di dasar danau, diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau media untuk bertanam sayur dan jamur.
Gambut Rawapening berasal dari pembusukan enceng gondok yang mati dan mengendap di danau. Gambut ini kemudian diangkat menggunakan perahu,
selanjutnya dikeringkan dan dicampur kapur untuk dijadikan kompos. Tempat pendaratan gambut ini ada di Tuntang dan Bukit Cinta, dimana banyak juga nelayan
yang hidupnya bergantung pada pekerjaan ini. Tanah Gambut secara umum memiliki kadar pH yang rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa
rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga memiliki kandungan unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn serta B yang rendah pula. Secara teknis
tanah gambut tidak baik sebagai dasar konstruksi bangunan karena mempunyai kadar air sangat tinggi, kompresibilitas atau kemampatannya tinggi serta daya dukung
sangat rendah
extremely low bearing capacity.
Proses pembentukan gambut dipengaruhi oleh iklim, hujan, pasang-surut, jenis tumbuhan rawa, bentuk topografi,
jenis dan jumlah biologi yang melakukan dekomposisi, serta lamanya proses dekomposisi tersebut berlangsung Rahman, 2002.
Berdasarkan data PDRB dapat diketahui bahwa ekonomi Danau Rawapening sangat tergantung pada; 1 sektor industri; 2 sektor pertanian; 3 jasa-jasa; dan
4 perdagangan dan restauran. Sebagian besar penduduk desa di sekitar Danau Rawapening bermata pencaharian sebagai petani 6.970 orang atau 21,36 atau
buruh tani 9.749 orang atau 29,88 , dan hanya 11,20 menjadi buruh industri. Hal sama juga terjadi pada sektor pertanian.
Gambar 2.5. Diagram Kontribusi Tiap Lapangan Usaha di Sekitar Danau Rawapening
Meskipun perairan Danau Rawapening dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya dan penangkapan tetapi hanya 2.251 orang 6,90 yang
21.9 0.3
24.6 1.9
1.9 18.9
3.8 5.2
20.5 Petanian
Pertamb. Galian Industri
Listrik gas Bangunan
Perdag, rest Angkutan, Kom
memanfaatkan. Kondisi ini terjadi karena kebanyakan usaha perikanan yang berkembang di Danau Rawapening pemiliknya bukan berasal dari masyarakat di sekitar
Danau Rawapening tetapi kebanyakan dari Kota Semarang dan nelayan di Danau Rawapening hanya sebagai buruh.
Selain mata pencaharian di atas, sebenarnya belum tercatat dalam monografi aktifitas ekonomi masyarakat seperti; pencari gambut, pencari pengrajin enceng
gondok, dan usaha wisata warung dan alat transportasi. Hal ini dapat dimengerti karena ketiga jenis pekerjaan tersebut bukan merupakan mata pencaharian pokok,
namun merupakan mata pencaharian tambahan. Secara rinci, jumlah penduduk menurut mata pencaharian di sekitar Danau Rawapening.
Gambar 2.6 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Masalah kemiskinan juga menjadi kendala untuk memulihkan kondisi Danau Rawapening sebagaimana yang diharapkan. Presentase penduduk miskin di wilayah
sekitar Danau Rawapening masih tinggi terutama di beberapa desa, seperti Desa Rowoboni, Rowosari, Kesongo, dan Bajelan Sumber : Sutarwi, 2008.
Dalam konteks budaya Jawa, kawasan Danau Rawapening merupakan salah satu kawasan tua dimana budaya dan sejarahnya berproses. Bukan hanya legenda Baru
Klinting yang melekat dengan Rawapening, realitas sejarah juga menunjukkan jejak awal kebudayaan Jawa di kawasan ini, yaitu; Candi Gedong Songo, kota tua
Petani 21
Buruh Tani 31
Nelayan 7
Indus. RT 2
Buruh Industri
11 Pedagang
7 Buruh
Bangun 7
Angkutan 2
PNSABRI 4
Pensiunan 3
Lainnya 5