Karakteristik Danau Kependudukan, Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

berlokasi di sekitar Danau Rawapening. Kelerengan antara 8 - 25 terdapat di kaki Gunung Merbabu, kelerengan terjal yaitu lebih dari 45 terdapat di sekitar Gunung Gajah Mungkur. Sub-sub DAS Sraten mempunyai bentuk topografi yang relatif datar, dengan kelerengan antara 0 -15 . Kondisi tanah datar dengan kelerengan antara – 8 berada di sekitar danau Rawapening. Kelerengan antara 8 - 15 terdapat di kaki Gunung Merbabu. Berdasarkan pengolahan data oleh Tim Kajian dan Peta Rupa Bumi I ndonesia dari Bakosurtanal, luas lahan di Sub DAS Rawapening berjumlah 27345,98 Hektar lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1, luas penggunaan lahan perkebunan 10295,33 Ha 37,6 , pemukiman 5280,66 Ha 19,3 , sawah teknis dan sawah tadah hujan berturut-turut seluas 3512,60 Ha 12,8 dan 3228,44 Ha 11,8 sedangkan luas penggunaan lahan danau 1520,00 HA 5,6 . Tabel 2.1. Luas Penggunaan Lahan di Sub DAS Rawapening No Nama Luas Ha 1 Permukiman 5280.66 19.3 2 Kebun 10295.33 37.6 3 Sawah Tadah Hujan 3228.44 11.8 4 Sawah Teknis 3512.60 12.8 5 Tegalan 2927.19 10.7 6 Belukar 372.01 1.4 7 Rumput Alang-alang 209.75 0.8 8 Danau 1520.00 5.6 Jumlah 27345.98 100 Sumber : Peta Rupa Bumi I ndonesia BAKOSURTANAL Tahun 2000 dan revisi 2009 Berdasarkan Tabel 2.1. pemanfaatan lahan terbesar di sub DAS Rawapening adalah perkebunan sebesar 37 , yang menyebar di seluruh wilayah. Permukiman dengan luas 19,3 menyebar di seluruh wilayah sub DAS, sedangkan sawah tadah hujan 11,8 maupun sawah teknis dengan luas 12,8 umumnya menyebar terkonsentrasi pada keliling danau karena aspek pengairan sangat menentukan efektifitas budidaya dan produksi. – No Gambar 2.2. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Danau Rawapening

2.4.2 Klimatologi dan Sistem Hidrologi DAS

Berdasarkan klasifikasi Oldeman, Danau Rawapening termasuk zone C, dan zone D, dan berdasarkan klasifikasi iklim Koppen beriklim Af sehingga klasifikasi iklimnya memiliki ciri sebagai iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi. Suhu rata-rata antara 25 O C - 29 O C serta kelembaban udara antara 70-90 . Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Semarang, jumlah curah hujan pada tahun 2005 ada 133 hari, dengan curah hujan rata-rata 2.387 mm per tahun. Musim penghujan terjadi selama enam bulan bulan basah terjadi pada bulan November sampai dengan April, dan musim kemarau selama enam bulan bulan kering terjadi pada Mei sampai dengan Oktober dan puncak masa kekeringan terjadi antara bulan Agustus sampai dengan September. Mengacu kepada curah hujan, maka dapat diketahui bahwa pada musim penghujan terjadi debit banjir dan pada musim kemarau terjadi debit minimum atau terjadi defisit hingga mengalami kekeringan. Hal ini berakibat ketidak-sesuaian pada pemenuhan kebutuhan air dan ketersediaan air dimana pada musim tertentu ketersediaan air berlebihan dan pada musim yang lain justru ketersediaan air tidak dapat mencukupi kebutuhan air. Air Danau Rawapening bersumber dari mata air dan sungai-sungai yang alirannya masuk ke danau ini. Mata air yang dijumpai di sekitar danau ini antara lain adalah mata air Muncul, Rawapening, Tonjong, Petet dan Parat. Sungai-sungai yang alirannya masuk ke Danau Rawapening adalah sungai Legi, Mulungan, Muncul, Kedung Ringin, Parat, Nagan, Cengkar, Torang dan Geleh, sedangkan sungai yang keluar danau adalah Sungai Tuntang. Berdasarkan Daerah Aliran Sungai DAS, Danau Rawapening berada di DAS Jratun Seluna tepatnya di Sub-DAS Rawapening yang terdiri dari 9 sembilan anak sungai, yakni : 1 Sub-DAS Galeh, terdiri dari Sungai Galeh dan Sungai Klegung Sub DAS Galeh melewati daerah di Kecamatan Banyubiru Desa Wirogomo, desa Kemambang, Desa Rowoboni, Desa Tegaron, desa Kebondowo, Desa Banyubiru dan desa Ngrapah dan Kecamatan Jambu Desa Bedono, Kelurahan, Brongkol, Rejosari dan Desa Banyukuning. Luas sub DAS Galeh mencapai 6.121 ha; 2 Sub-DAS Torong, yaitu Sungai Torong Sub DAS Torong melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan desa Ngampin, Panjang dan Pojoksari. Berdasarkan letaknya sub DAS Torong berada di sebelah barat danau Rawapening, dengan luas wilayah 2.687 ha. Sub DAS Torong juga melewati daerah Kecamatan Jambu Desa Jambu, Gondoriyo, Kuwarasan, Kebondalem dan Genting. DAS Torong berada di sebelah barat danau Rawapening, dengan luas wilayah 2.687 ha; 3 Sub-DAS Panjang, terdiri dari Sungai Panjang dan Sungai Kupang Sub DAS Panjang melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan Kelurahan Bejalen, Desa Lodoyong, Kranggan, Pasekan, Baran, Jetis, Duren, Bandungan, Kenteng dan Candi. Berdasarkan letaknya sub DAS Panjang berada di sebelah utara danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.893,24 ha; 4 Sub-DAS Legi, yaitu Sungai Legi Sub DAS Legi melewati daerah di Kecamatan Banyubiru Desa Sepakung dan sebagian desa Rowoboni yang wilayahnya memanjang dari bagian hulu di lereng Gunung Telomoyo hingga bermuara ke danau Rawapening; 5 Sub-DAS Parat, yaitu Sungai Parat Sub DAS Parat melewati daerah di Kecamatan Banyubiru Desa Gedong dan desa Kebumen, Kecamatan Tuntang Desa Gedangan, Desa Kalibeji dan desa Rowosari. Sub DAS Parat berada di sebelah selatan danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.638,35 ha yang meliputi 16 desa dari 3 Kecamatan Banyubiru, Getasan dan Tuntang Kabupaten Semarang. Sungai utamanya adalah sungai Parat dan sungai Muncul dengan mata air di punggung Gunung Merbabu dan Gunung Gajah Mungkur. Kecamatan Getasan menjadi wilayah sub-DAS Parat yang wilayahnya meliputi Desa Kopeng, Polobogo, Manggihan, Getasan, Wates, Tolokan, Ngrawan, dan Desa Nogosaren; 6 Sub-DAS Sraten, yaitu Kali Sraten Sub DAS Sraten hanya melewati daerah di Kecamatan Getasan, yaitu; Desa Batur, Tajuk, Jetak, Samirono, dan Desa Sumogawe; 7 Sub-DAS Rengas, terdiri dari Sungai Rengas dan Sungai Tukmodin Sub DAS Rengas hanya melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan meliputi kelurahan Tambakboyo, Kelurahan Kupang dan Desa Mlilir. Berdasarkan letaknya sub DAS Rengas berada di sebelah utara Danau Rawapening, dengan luas wilayah 1.751 ha; 8 Sub-DAS Kedung Ringin, yaitu Sungai Kedung Ringin Sub DAS Kedungringin melewati daerah Kecamatan Tuntang Desa Kesongo, Lopait dan Desa Tuntang. Sub DAS Kedungringin berada di sebelah timur Danau Rawapening, dengan luas catchment area 774,86 ha. Di sub-sub DAS Kedungringin mengalir sungai Ngreco, Ndogbacin dan sungai Praguman, yang ketiganya bermuara di Danau Rawapening. Sub DAS Kedungringin merupakan sub DAS yang paling kecil, dengan mata air di sekitar Gunung Kendil; 9 Sub-DAS Ringis, yaitu Sungai Ringis Sub DAS Ringis melewati daerah Kecamatan Tuntang tepatnya di Desa Jombor, Kesongo dan Desa Candirejo serta Kecamatan Sidorejo Kelurahan Sidorejo, Blotongan, dan Kecamatan Argomulyo Kelurahan Pulutan dan Mangunsari Kota Salatiga. Sub DAS Ringis berada di sebelah timur Danau Rawapening luas catchment area 1.584,84 ha yang terdiri dari 7 desa kelurahan dan 3 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang, Sidomukti dan Sidorejo Kota Salatiga. Di sub- sub DAS Ringis mengalir Sungai Tengah dan Sungai Tapen, yang keduanya bermuara didanau Rawapening. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini. Adapun nama sub DAS dan luasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Gambar 2.3 Peta Administrasi Wilayah Sub DAS Rawapening Tabel 2.2. Sungai yang Mengalir ke Danau Rawapening No. Sub DAS Luas Ha Sungai Kecamatan Kabupaten Kota 1. Galeh 6.121 Galeh, Klegung Banyubiru, Jambu Kab.Semarang 2. Torong 2.687 Torong Ambarawa, Bandungan Kab.Semarang 3. Panjang 4.893 Panjang, Kupang Ambarawa, Bandungan Kab.Semarang 4. Legi --- Legi Banyubiru Kab.Semarang 5. Parat 4.638 Parat, Muncul Banyubiru,Tuntang, Getasan Kab.Semarang 6. Sraten --- Getasan Kab.Semarang 7. Rengas 1.751 Rengas, Tukmodin Ambarawa Kab.Semarang 8. Kedungringin 775 Kedungringin, Ngreco, Ndogbacin dan Praguman Tuntang, Kab.Semarang 9. Ringis 1.585 Ringis Tuntang, Kab.Semarang Sidorejo, Argomulyo Kota Salatiga Gambar 2.4. Peta Sistem Hidrologi Sub-DAS Rawapening P4N UGM, 2000

2.4.3 Morfometri Perairan Danau

Danau Rawapening mempunyai dasar tanggul + 462,05 m 3 dengan volume tampung + 48.10 6 m 3 , dengan kedalaman minimum antara 65 – 110 cm dan maksimum 550 cm. Elevasi maksimum Danau Rawapening adalah + 462,30 m 3 dan elevasi minimumnya + 462,05 m 3 dengan volume tampung maksimum + 65 juta m 3 dan minimum + 25 juta m 3 dengan luas genangan maksimum + 2.770 Ha dan minimum 1.760 Ha.

2.5 Kependudukan, Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Jumlah penduduk di Kabupaten Semarang sampai dengan tahun 1997 mencapai 673.390 jiwa, dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani. Selama kurun waktu 1995-1998 pertumbuhan penduduk di Kawasan Rawapening cukup rendah, yakni rata-rata 0,79 per tahun, namun pada tahun 1998 mulai mengalami peningkatan menjadi 939,33 jiwa per km 3 . Hal ini berabrti bahwa tekanan penduduk pada lahan pertanian semakin meningkat P4N UGM, 2000. Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Semarang adalah 917.745 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di sekiatar Danau Rawapening adalah 207.438 jiwa BPS Kabupaten Semarang, 2010. Terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk, jika dilihat data pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,93 Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000. Tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Semarang per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000 – 2010 sebesar 1,02 BPS Kabupaten Semarang, 2010. Data pada tahun 2010 jumlah penduduk di sekitar wilayah Danau Rawapening sebanyak 46.076.016 petani, 27.378.715 orang buruh tani, 25.426.583 orang buruh industri, 11.022.052 orang buruh bangunan, 2.205 orang nelayan, 3.745.874 orang pengusaha, 2.239 orang peternak perikanan BPS Kabupaten Semarang, 2010, Bappeda Kota Salatiga, 2009. Jenis usaha yang berkembang di Kawasan Rawapening adalah industri pengolahan, pertanian, perikanan, serta pariwisata. Jenis usaha sektor industri pengolahan di Kawasan Rawapening didominasi oleh industri kecil, sampai tahun 1999 jumlah industri kecil di Kawasan Rawapening mencapai 7.111 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja terserap 19.646 orang dan nilai produksi yang dihasilkan Rp.23.587.022.000,-. I ndustri eceng gondok tidak termasuk ke dalam industri unggulan, meskipun bahan baku industri eceng gondok cukup tersedia di perairan Danau Rawapening P4N UGM, 2000. Perkembangan usaha perikanan terutama produksi ikan di Kawasan Rawapening dari tahun ke tahun mengalami peningkatan 50,14 . Lokasi kegiatan usaha sektor perikanan di Kawasan Rawapening terdapat di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen dengan produksi ikan air tawar. Usaha pariwisata yang berada di Kawasan Rawapening sangat berkaitan erat dengan potensi alam, historis, budaya yang dimiliki seperti Candi Gedong Songo, Palagan Ambarawa, Bukit Cinta, Pemandian Muncul, Museum Kerata Api, Bandungan – I ndah, Waduk Umbul Songo, Pemandian Kopeng, Agrowisata Tlogo, Asinan di Kecamatan Bawen, dan Benteng Pendem. Jumlah wisatawan yang berkunjung di obyek wisata Kawasan Rawapening masih didominasi oleh wisatawan nusantara sekitar 98.91 , sisanya adalah wisatawan mancanegara Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2000. Selama tahun 2009 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung di Kawasan Rawapening sejumlah 50.520, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 148 orang BPS, 2010. Sampai dengan saat ini baru terdapat tiga orang pengrajin sekaligus pengusaha kerajinan eceng gondok yang memanfaatkan eceng gondok dari Danau Rawapening. Ketiga pengrajin tersebut memiliki spesialisasi produksi yang berbeda, yang pertama sepatu dan sandal, kedua kerajinan tas, nampan, tempat kue, tempat tissue serta keranjang, yang ketiga khusus meja dan kursi. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kerajinan yang unik, karena selama ini eceng gondok dianggap sebagai sampah dan hama diperairan, namun ternyata dapat berubah menjadi komoditi usaha yang menjanjikan jika diolah menjadi berbagai jenis kerajinan yang menarik, berseni, dan berdaya jual tinggi. Enceng gondok dari Danau Rawapening sebagai bahan baku kerajinan juga dikirim ke Yogjakarta. Pemasok memperoleh enceng gondok dari hasil tanaman liar dan bukan dari pembudidayaan. Penduduk di sekitar Danau Rawapening hanya tinggal mengambil tanaman yang tumbuh liar dan memenuhi hamparan permukaan danau. Pengolah tidak perlu memikirkan ketersediaan bahan baku tanaman enceng gondok untuk pemanenan berikutnya, karena jumlah yang tersedia sangat banyak. Mereka tinggal menunggu atau berpindah ke area lain dimana tanaman sudah cukup besar untuk diambil tangkai daunnya. Perkembangbiakan dan pertumbuhan tanaman enceng gondok memang sangat cepat. Usaha industri pemanfaatan enceng gondok di Kawasan Rawapening masih terbatas. Bagian tanaman enceng gondok yang diambil untuk hiasan adalah bagian tangkai daunnya saja. Enceng gondok tidak memiliki batang, jadi hanya terdiri dari daun, tangkai daun, bonggol akar dan akar itu sendiri. Dengan demikian setelah diambil bagian tangkainya, akan menghasilkan limbah berupa bagian sisa tanaman yang tidak diolah lebih lanjut. Selain sebagai bahan dasar untuk kerajinan tangan, tanah gambut yang merupakan sisa-sisa tanaman dan gulma yang mati dan mengendap di dasar danau, diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau media untuk bertanam sayur dan jamur. Gambut Rawapening berasal dari pembusukan enceng gondok yang mati dan mengendap di danau. Gambut ini kemudian diangkat menggunakan perahu, selanjutnya dikeringkan dan dicampur kapur untuk dijadikan kompos. Tempat pendaratan gambut ini ada di Tuntang dan Bukit Cinta, dimana banyak juga nelayan yang hidupnya bergantung pada pekerjaan ini. Tanah Gambut secara umum memiliki kadar pH yang rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga memiliki kandungan unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn serta B yang rendah pula. Secara teknis tanah gambut tidak baik sebagai dasar konstruksi bangunan karena mempunyai kadar air sangat tinggi, kompresibilitas atau kemampatannya tinggi serta daya dukung sangat rendah extremely low bearing capacity. Proses pembentukan gambut dipengaruhi oleh iklim, hujan, pasang-surut, jenis tumbuhan rawa, bentuk topografi, jenis dan jumlah biologi yang melakukan dekomposisi, serta lamanya proses dekomposisi tersebut berlangsung Rahman, 2002. Berdasarkan data PDRB dapat diketahui bahwa ekonomi Danau Rawapening sangat tergantung pada; 1 sektor industri; 2 sektor pertanian; 3 jasa-jasa; dan 4 perdagangan dan restauran. Sebagian besar penduduk desa di sekitar Danau Rawapening bermata pencaharian sebagai petani 6.970 orang atau 21,36 atau buruh tani 9.749 orang atau 29,88 , dan hanya 11,20 menjadi buruh industri. Hal sama juga terjadi pada sektor pertanian. Gambar 2.5. Diagram Kontribusi Tiap Lapangan Usaha di Sekitar Danau Rawapening Meskipun perairan Danau Rawapening dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan budidaya dan penangkapan tetapi hanya 2.251 orang 6,90 yang 21.9 0.3 24.6 1.9 1.9 18.9 3.8 5.2 20.5 Petanian Pertamb. Galian Industri Listrik gas Bangunan Perdag, rest Angkutan, Kom memanfaatkan. Kondisi ini terjadi karena kebanyakan usaha perikanan yang berkembang di Danau Rawapening pemiliknya bukan berasal dari masyarakat di sekitar Danau Rawapening tetapi kebanyakan dari Kota Semarang dan nelayan di Danau Rawapening hanya sebagai buruh. Selain mata pencaharian di atas, sebenarnya belum tercatat dalam monografi aktifitas ekonomi masyarakat seperti; pencari gambut, pencari pengrajin enceng gondok, dan usaha wisata warung dan alat transportasi. Hal ini dapat dimengerti karena ketiga jenis pekerjaan tersebut bukan merupakan mata pencaharian pokok, namun merupakan mata pencaharian tambahan. Secara rinci, jumlah penduduk menurut mata pencaharian di sekitar Danau Rawapening. Gambar 2.6 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Masalah kemiskinan juga menjadi kendala untuk memulihkan kondisi Danau Rawapening sebagaimana yang diharapkan. Presentase penduduk miskin di wilayah sekitar Danau Rawapening masih tinggi terutama di beberapa desa, seperti Desa Rowoboni, Rowosari, Kesongo, dan Bajelan Sumber : Sutarwi, 2008. Dalam konteks budaya Jawa, kawasan Danau Rawapening merupakan salah satu kawasan tua dimana budaya dan sejarahnya berproses. Bukan hanya legenda Baru Klinting yang melekat dengan Rawapening, realitas sejarah juga menunjukkan jejak awal kebudayaan Jawa di kawasan ini, yaitu; Candi Gedong Songo, kota tua Petani 21 Buruh Tani 31 Nelayan 7 Indus. RT 2 Buruh Industri 11 Pedagang 7 Buruh Bangun 7 Angkutan 2 PNSABRI 4 Pensiunan 3 Lainnya 5 Banyubiru, Salatiga serta Ambarawa yang penuh dengan peninggalan sejarah Majalah Telaga edisi 11 Tahun 2002, Percek Press. Ditinjau dari etnis, masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Rawapening cenderung homogen yaitu hampir semuanya merupakan suku Jawa, sehingga budaya kehidupan sehari-hari adalah budaya Jawa. Salah satu ciri budaya tersebut adalah tradisi berupa kearifan lokal dengan melaksanakan selamatan, yaitu; tradisi nenek moyang yang diyakini dapat membawa berkah dan keselamatan bagi mereka. Latar belakang keagamaan, sebagian besar memeluk agama I slam 93,73 , diikuti Katolik 3,54 , Kristen Protestan 2,59 , Hindu 0,7 , dan Budha 0,7 . Tempat I badah yang ada di sekitar Danau Rawapening adalah 83 mesjid, 188 mushola, dan 1 pura. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat sekitar Danau Rawapening meliputi; ronda, jimpitan beras, gotong royong, perayaan hari besar keagamaan, perayaan hari besar nasional, hajatan, olah raga, kesenian. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan sangat tinggi. Lembaga-lembaga sosial masyarakat yang ada antara lain; Rukun Tetangga RT, Rukun Warga RW, Badan Permusyawaratan Desa BPD, Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Kelompok atas dasar kegiatan ekonomi usaha warung, usaha transportasi, pengambil gambut, pengrajin Enceng Gondok, dll, kumpulan ibu-ibu PKK, dan Karang Taruna. Pada tahun 1996, kelompok tani nelayan dari semua desa di sekitar Danau Rawapening berjumlah 23 kelompok dan beranggotakan 1.336 petani nelayan membentuk sebuah Paguyuban Petani Nelayan yang dinamakan Paguyuban Kelompok Tani Nelayan Sedyo Rukun. Kelompok ini kemudian yang menjadi cikal bakal terbentukanya Forum Rembug Rawapening tahun 2004 dan pada tahun 2008 berubah menjadi Forum Koordinasi Rawapening. Saat ini selain instansi pemerintah yang memiliki kepentingan untuk mengelola kawasan Danau Rawapening dan peduli terhadap persoalan Danau Rawapening, juga terdapat pula organisasi non pemerintah, antara lain : 1 Forum Komunikasi Masyarakat Rawapening; 2 Yayasan Baru Klinting; 3 Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah; 4 Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawapening UKSW; 5 Forum 14 Kepala Desa sekitar Danau Rawapening; 6 Kelompok Tani Nelayan Sedyo Rukun; 7 Paguyuban Petani Nelayan Rawapening Bersatu; 8 Kelompok Tani Nelayan Andalan Kecamatan Banyubiru; 9 Paguyuban Petani dan Nelayan Baru Klinting Danau Rowosari; 10 Petani Enceng Gondok Sukadana Kebumen Banyubiru; 11 Paguyuban Petani Makmur Gedangan; 12 Kelompok Tani Ngudi Luhur Danau Bajelan; 13 Kelompok Tani AI -Barokah Sukadana Kebumen Banyubiru; 14 Kelompok Tani I nsan Baru Tegaron Banyubiru; 15 Tani Muda Mandiri Kebumen Banyubiru; 16 46 Kelompok Nelayan Rawapening; 17 Satgas Rawapening; dan 18 Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana UKSW.

BAB III KONDISI DANAU RAWAPENING

3.1 Permasalahan Danau

3.1.1 Permasalahan Lingkungan Danau

Permasalahan yang terjadi di Danau Rawapening antara lain adalah : a. Pemanafaatan lahan tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW; b. Okupasi dan kepemilikan lahan sempadan danau; c. Pencemaran air limbah, khususnya limbah penduduk dan pertanian; d. Erosi, sedimentasi dan pendangkalan danau. Peta Bahaya Erosi Danau Rawapening dapat dilihat pada Gambar 3.1 e. Penurunan ketersediaan sumber daya air, penurunan muka air dan konflik pemanfaatan air; f. Pemanfaatan lahan tidak sesuai peruntukannya; g. Semakin tidak terkendalinya pemanfaatkan ruang terbuka untuk kepentingan pengembangan wilayah kota; h. Tingkat kelerengan lahan yang curam lebih dari 25 menjadi penyebab tingginya run off dan sulit untuk dilakukan penghijauan; i. Kerusakan hutan di lokasi perkebunan Perhutani yang belum tertangani juga menjadi penyebab meluasnya lahan kritis; j. Masih belum seimbangnya antara upaya untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan dengan luas lahan kritis. Peta tutupan lahan daerah tangkapan air DTA Danau Rawapening dapat dilihat pada Gambar 3.2. k. Gulma air enceng gondok tumbuh dengan cepat; l. Kebiasaan pengambilan enceng gondok membuang sisa tangkai 60 cm, daun, bonggol menjadi sampah mempercepat pertumbuhan eceng gondok dan perusakan danau; m. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan menggunakan alat strom; n. Budi daya ikan Keramba Jaring Apung KJA berjumlah 1000 buah, seluas 3,9 Ha. sehingga limbahnya merupakan sumber beban pencemaran air; o. Tidak ada pengaturan penambangan gambut yang berpihak kepada kepentingan masyarakat; p. Belum ada arah untuk melakukan pengelolaan wisata dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; q. Sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya mendukung usaha pariwisata; r. Manajemen usaha wisata kurang memperhatikan aspek pelestarian lingkungan; s. Kesadaran SDM terhadap pengelolaan danau masih kurang. Gambar 3.1 Peta Bahaya Erosi DTA Danau Rawapening Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Salah satu permasalahan yang dominan di Danau Rawapening adalah permasalahan pertumbuhan gulma air enceng gondok yang tidak terkontrol akibat eutrofikasi. Kurang lebih 20 – 30 danau tertutup oleh Eicchornia crassipes , 10 oleh Hydrilla verticillata dan Salvinia cucculata Goltenboth Timotius , 1994. Penutupan permukaan danau oleh tumbuhan air tersebut semakin besar persentasenya, bahkan pada musim kemarau dapat mencapai 70 . Pertumbuhan yang tidak terkontrol ini menyebabkan penutupan permukaan perairan, terakumulasinya seresah busukan enceng gondok di dasar perairan dan terperangkapnya sedimen di akar tanaman – sehingga mempercepat pendangkalan danau. Satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m 2 Gutierrez et al., 2001. Meskipun sejak tahun 1931 telah dilakukan upaya pengendaliannya namun sampai dengan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memadai. Gambar 3.2. Peta Tutupan Lahan DTA Danau Rawapening Sumber: KLH Tahun 2010 Gambaran Umum Danau Rawapening