p. Belum ada arah untuk melakukan pengelolaan wisata dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan; q.
Sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya mendukung usaha pariwisata; r.
Manajemen usaha wisata kurang memperhatikan aspek pelestarian lingkungan; s.
Kesadaran SDM terhadap pengelolaan danau masih kurang.
Gambar 3.1 Peta Bahaya Erosi DTA Danau Rawapening
Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng,
Salah satu permasalahan yang dominan di Danau Rawapening adalah permasalahan pertumbuhan gulma air enceng gondok yang tidak terkontrol akibat
eutrofikasi. Kurang lebih 20
–
30 danau tertutup oleh
Eicchornia crassipes
, 10 oleh
Hydrilla verticillata
dan
Salvinia cucculata
Goltenboth Timotius
,
1994. Penutupan permukaan danau oleh tumbuhan air tersebut semakin besar persentasenya, bahkan
pada musim kemarau dapat mencapai 70 . Pertumbuhan yang tidak terkontrol ini menyebabkan penutupan permukaan perairan, terakumulasinya seresah busukan
enceng gondok di dasar perairan dan terperangkapnya sedimen di akar tanaman
–
sehingga mempercepat pendangkalan danau. Satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m
2
Gutierrez
et al.,
2001. Meskipun sejak tahun 1931 telah dilakukan upaya pengendaliannya namun sampai dengan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memadai.
Gambar 3.2. Peta Tutupan Lahan DTA Danau Rawapening
Sumber: KLH Tahun 2010 Gambaran Umum Danau Rawapening
3.1.2 Permasalahan Kelembagaan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa persoalan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan Rawapening bersifat multidimensional. Beberapa
permasalahan di bidang manajemen kelembagaan antara lain: a.
Adanya pergeseran sistem pemerintahan yang menuntut kesiapan para pihak untuk mengelola kawasan Rawapening dengan baik;
b. Kebijakan otonomi daerah yang menekankan pada batas administrasi, sementara
pengelolaan kawasan Danau Rawapening tidak sama dengan batas administrasi sehingga menghambat pengelolaan apalagi ada undang-undang otonomi daerah;
c. Kelembagaan dan koordinasi dalam rangka menangani pengelolaan sumberdaya
air belum berjalan secara optimal, peran kelembagaan yang ada Rembug Rawapening belum mantap, akibatnya setiap
benefecieries
bertindak bebas tanpa ada peraturan yang mengatur setiap aktifitas baik di daerah tangkapan air
maupun inti danau Rawapening, yang cenderung menimbulkan konfllik; d.
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan masih menggunakan pendekatan kebijakan
topdown approach
dan bersifat sektoral serta kedaerahan. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi antara
bottom up
dan
top-down approach;
e. Masih adanya ego sektoral dan kepentingan sehingga menimbulkan potensi konflik
yang tinggi; f.
Belum terciptanya pengelolaan sumberdaya air dengan menggunakan pendekatan regional;
g. Belum tersedianya data base pengelolaan lingkungan hidup yang
mengintegrasikan antara teknologi penginderaan jauh
remote sensing
dengan sistem informasi geografi yang lebih akurat;
h. Belum tersosialisasinya misi pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
i. Kurang optimalnya komitmen masing-masing para pihak yang terus menerus
mengupayakan pelestarian Danau Rawapening; j.
Tidak tegaknya pengaturan air oleh pintu air PLTA Tuntang menimbulkan konflik antara petani lahan pasang surut rawa Kabupaten Semarang dengan petani hilir
terutama Kabupaten Grobogan; k.
Tidak ada pengaturan penambangan gambut di Danau Rawapening yang memberikan keuntungan besar bagi pengusahanya;
l. Belum dimilikinya
grand design
mengakibatkan arah
action plan
tidak jelas bagi dinas instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat
sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih program dan pemborosan.
Berdasarkan persoalan tersebut diatas maka permasalahan kelembagaan, dapat dibagi menjadi 2
, yaitu kelembagaan baik formal maupun informal dan belum adanya
grand design. Belum optimalnya kelembagaan yang ada baik formal maupun informal
mengakibatkan belum optimalnya proses kebijakan pengelolaan air yang mantap, ditambah belum adanya peraturan bagi setiap
aktivitas baik di daerah tangkapan air maupun pada inti danau sehingga memicu timbulnya konflik. Peran kelembagaan informal berupa kearifan lokal merupakan
potensi kekuatan yang masih dapat lebih ditingkatkan. Nilai kearifan local
Ngepen
dan
Wening
telah ditinggalkan baik oleh masyarakat di sekitar Danau Rawapening maupun oleh negara.
Belum dimilikinya
grand design
menyebabkan arah
action plan
tidak jelas bagi dinas instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat
sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih program, kerancuan kewenangan dan tanggungjawab program dan pemborosan.
Diperlukan kerjasama dan partisipasi aktif dari para pihak lainnya terutama masyarakat yang berada di kawasan Danau Rawapening. Hal ini perlu ada dukungan
kerjasama yang baik antara berbagai para pihak yang ada serta didukung dengan dana yang memadai, di samping itu pedoman penanganan kawasan Danau Rawapening
yang terpadu dan operasional sangat diperlukan. Gambaran permasalahan Danau Rawapening secara umum dapat dilihat pada
Gambar 3.3
di bawah ini.
Gambar 3.3. Permasalahan Danau Rawapening
Sumber BLH Kab Semarang, 2011
3.2 Pemanfaatan Danau
Berdasarkan hasil studi KLH, 2011, maka pemanfaatan air Danau Rawapening adalah sebagai berikut Gambar 3.4:
a I rigasi Pengairan: luas sawah irigasi yang diairi 19.814 Ha, intensitas tanam
250 , produksi beras 3-4 ton ha; b
Pembangkit Listrik: kapasitas produksi terpasang 25.000 KW; c
Usaha Perikanan: luas budidaya ikan 5000 Ha, produksi ikan 700 ton tahun; d
Air Minum: kapasitas produksi air baku 750 lt dt; e
Pariwisata: kunjungan wisata sebesar 219.070 wisatawan; f
Usaha penambangan gambut: produksi per harinya 50 ton; g
Usaha pengamblan enceng gondok: produksi per harinya 10 ton.
Gambar 3.4 Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau Rawapening
Sumber : BPLH Provinsi Jawa Tengah, 2009
Hasil studi karakteristik Rawapening BalitBang Prov Jateng, 2003
menggambarkan kebergantungan kegiatan ekonomi masyarakat yang signifikan pada keberadaan Danau Rawapening. Kebergantungan tersebut dalam wujud
memanfaatkan Danau Rawapening dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, irigasi, pariwisata, PDAM, PLTA, perikanan, pengendali daya rusak air, serta habitat air
dan fauna. Kegiatan sektor pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar berupa penggunaan lahan pasang surut seluas 822 ha yang berkaitan dengan pengaturan
operasi air danau. Air Danau Rawapening yang dipergunakan untuk irigasi sawah seluas 39.277 Ha di Kabupaten Semarang, Demak dan Grobogan. Daerah irigasi
Glapan Barat seluas 8.896 Ha. Pengoperasian PLTA Jelok yang dibangun pada tahun 1938 dan PLTA Timo yang
dibangun pada tahun 1962 dengan kapasitas maksimum 24.500 Kwh sangat bergantung pada ketersediaan air danau. Produksi listrik PLTA Jelog dari tahun 1984