4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok
Sengketa mabdau hurriyati ikhtiyaari al qoonuun alladziy sayatimmu tathbiyquhu fii an nizaa’ar roiysiy
Prinsip fundamental selanjutnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila
sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk memilih kepatutan dan kelayakan ex aequo et bono.
21
Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip
keadilan, kepatutan, atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi
pengadilan internasional,
misalnya Mahkamah
Internasional, untuk
menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement
antara Republik Indonesia – Malaysia mengenai penyerahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan: The principles and rules of international law applicable to the dispute
shall be those recognized in the provisions of Article 38 of the Statute of the Court .... Article 4 Special Agreement.
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa mabdau ittifaaqin min
athroofi an nizaa’
21
Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon.
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala
ada kesepaktan dari para pihak.
22
Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatannya hanya ada dari salah satu
pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies almabdau almutaahu
Komisi Hukum Internasional PBB International Law Commision memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC
Draft Articles on States Responsibility.
23
Selain itu prinsip ini temuat dalam Section 1 paragraph 10 Manila Declaration.
24
Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian
22
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet.Kedua, h. 17.
23
When the conduct of a State has created situation not in conformity with the result required of it by an international obligation concerning the treatmentto be accorded to aliens, whether natural
or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens
concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.
24
States should, without prejudice to the right of free choice of means, bear in mind that direct negotiations are a flexible and effective means of peaceful setllement of their disputes. When
they choose to resort to direct negotiations, States should negotiate meaningfully, in order to arrive at an early settlement acceptable to the parties. States should be equally prepared to seek the settlement
of their disputes by the other means mentioned in the present Declaration.
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh exhausted. Dalam sengketa Interhandel 1959,
Mahkamah Internasional menegaskan: Before resort may be had to an international court, the state where the
violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system.
C. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dibagi menjadi dua ruang lingkup yaitu : secara damai politik, organisasi
internasional, hukum, dan secara kekerasan atau paksaan.
1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik siyasah
a. Negosiasi al mufawwadhatu
Negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang
dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosisasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain.
25
Negosiasi adalah “bilateral and multilateral negotiations to resolve differences between two or more states or between groups of states may
25
Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum Bogor: Ghalia Indonesia, 2004 Cet. Kedua, h. 49.
be carried out by diplomatic correspondence, face to face encounters by permanent diplomatic envoys or by specially designated negotiators
.”
26
Larry L. Teply mengemukakan antara lain:
“the word „negotiate’, in latin, consists of neg meaning „not’, and atium, maning „ease’. These latin words suggest that one will not be at
easeduring the process or until the agreement is made. Furthermore, incertain
contexts, some
individuals are
uncomfortable with
compromissing: they consider it an unprincipled „selling out’.”
27
Dalam buku yang berjudul Street Law, pengertian negosiasi adalah the process by which people involved in a dispute discuss their problem
and try to reach a solution acceptable to all.
28
Cara negosiasi merupakan suatu upaya bersama para pihak untuk mencapai suatu cara penyelesaian yang disepakati bersama dengan
mengelola kembali konflik-konflik pandangan para pihak. Cara ini ditempuh manakala para pihak berkeyakinan bahwa dengan menempuh
cara ini mereka memperoleh hasil yang positif darpada negatif. Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan
paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai
cara yang paling mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara
26
Thomas Buergenthal dan Harold G Maier, Public International Law Minnesota: West Publishing Co, 1990, Edisi Kedua, h. 65.
27
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis Yogyakarta: Citra Media, 2006, h. 43.
28
Lee Arbetman dan Ed O’Brien, Street Law A Course in Practical Law Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, 2005, Edisi. Ketujuh, h. 41.
khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian, akan
sulit melakukan negosiasi apabila antarpihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik atau saling tidak mengakui eksistensi
masing-masing sebagai subjek hukum internasional.
b. Jasa Baik Good Offices
29
Jasa-jasa baik good offices berati intervensi suatu negara ketiga yang merasa dirinya wajar unuk memantu penyelesaian sengketa yang
terjadi antara dua negara.
30
Dalam hal ini, negara ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta oleh salah
satu dari kedua negara atau oleh keduan-duanya. Intervensi dalam bentuk jasa-jasa baik ini adalah campur tangan yang sangat sederhana dari negara
ketiga karena negara tersebut membatasi diri dan hanya memprgunakan pengaruh moral atau politiknya agar negara-negara yang bersengketa
mengadakan hubungan satu sama lain atau mengadakan hubungan kembali bila hubungan tersebut telah putus.
Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya
29
Jasa baik dalam bahasa Arab disebut syahratulmahli
30
Boer Maulana, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Bandung: PT Alumni, 2011, Edisi Kedua, Cet. 4. H. 198.
menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar negara- negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan
sengketanya. Bila pihak-pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa
baiknya tersebut.
c. Mediasi wasaathatun
A voluntary process that is sometimes used when negotiation seems to be failing is mediation.
31
Mediasi merupakan salah satu alternatif dan cara penyelesaian suatu persengketaan dimana para pihak-pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator dengan maksud untuk memperoleh hasil yang adil dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa.
32
Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi, mediator
berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, juga
mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa. Mediator
31
John D. Donnell dkk, Law For Business Illinois – USA: Richard D. Irwin, INC, 1983,
Edisi Revisi, h. 21.
32
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 322.