Model Manajemen Pengetahuan Manajemen Pengetahuan

Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. 4. Menyimpan knowledge : knowledge yang bermanfaat harus disimpan dalam format yang baik dalam penyimpanan knowledge, sehingga orang lain dalam organisasi dapat mengaksesnya; 5. Mengolah knowledge : seperti perpustakaan, knowledge harus dibuat up-to- date. Hal tersebut harus di review untuk menjelaskan apakah relevan atau akurat. 6. Menyebarluaskan knowledge : knowledge harus tersedia dalam format yang bermanfaat untuk semua orang dalam organisasi yang memerlukan, dimanapun dan tersedia setiap saat. Dari ketiga pendapat di atas dapat diketahui bahwa aktivitas manajemen pengetahuan terdiri dari penciptaan pengetahuan, pengadaan dan perekaman pengetahuan, penyaringan pengetahuan, pengorganisasian pengetahuan, penyimpanan pengetahuan, penyebaran dan akses pengetahuan, dan pemanfaatan pengetahuan. Dalam melaksanakan aktivitas manajemen pengetahuan di atas tentunya diperlukan pegawai yang mampu melaksanakan seluruh aktivitas tersebut. Kompetensi yang dianggap esensial untuk memasuki ruang lingkup manajemen pengetahuan sebagaimana yang dikemukakan oleh praktisi terkemuka dari Amerika dan Eropa pada Chief Knowledge Officers Summit tahun 2000 dalam Kamil 2005:20 adalah: • Kemampuan untuk belajar. • Memiliki prakarsa diri. • Mampu bekerja sama dalam sebuah kelompok. • Intellectual linking: mampu bekerja dengan melihat fungsi dan kebutuhan organisasi secara keseluruhan. • Memiliki rasa rendah hati dalam artian memahami bahwa orang lain mungkin mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui dan kita mampu belajar dari kesalahan kemampuan untuk berpikir dan bertindak dengan fokus akan hasil akhir. • Kemampuan untuk menangani masalah kompleks. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan manajemen pengetahuan dibutuhkan suatu kompetensi yang terdiri dari adanya kemampuan untuk belajar, mampu bekerja sama, memiliki prakarsa diri dan intellectual linking, serta mampu untuk menangani masalah yang kompleks.

2.3.6 Model Manajemen Pengetahuan

Manajemen pengetahuan bukan perkara yang sederhana, karena luas dan kompleksnya bidang manajemen pengetahuan ini para ahli mencoba membangun model Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. untuk manajemen pengetahuan. Manajemen Pengetahuan dilaksanakan dalam sistem pengelolaan pengetahuan, atau Knowledge Management System KMS. Sebagian besar organisasi yang menerapkan KMS, menggunakan pendekatan tiga-cabang untuk mengelola pengetahuannya, yaitu – Manusia People, Proses Process, dan Teknologi Technology. Penekanan terhadap tiap-tiap elemen bisa berbeda di setiap bagian organisasi. Salah satu model manajemen pengetahuan dikemukakan oleh Oluic-Vukovic dalam Elita 2005 : 11 yaitu: yang menguraikan 5 langkah dalam rantai pemrosesan pengetahuan yaitu pengumpulan, penyusunan, penyaringan, penyampaian dan penyebaran. Model ini melingkup i lebih lengkap lagi cakupan aktifitas yang dilibatkan dalam aliran pengetahuan organisasi. Hampir menyerupai proses siklus hidup informasi yang menyarankan sekali lagi aspek yang saling berhubungan dari Information Management dan Knowledge Management. Selain model di atas, Liebowitz dalam Sulistyo-Basuki 2007 : 2 menyatakan bahwa: Membuat model KM pengolahan informasi yang memusatkan pada proses yang berkaitan dengan perolehan, kodifikasi, distribusi dan pendayagunaan pengetahuan terutama pengetahuan eksplisit serta proses yang diasosiasikan dengan menerjemahkan pengetahuan implisit menjadi pengetahuan eksplisit.” Menurut von Kroogh and Roos, Nonaka and Takeuchi, Choo, Wigg, Boisot, dan Complex Adaptive System yang dikutip oleh Keramati dan Sarami 2008:4 terdapat 6 model manajemen pengetahuan, yaitu: 1. The von Krogh and Roos Model of Organizational Epistemology The von Krogh and Roos KM model takes an organizational epistemology approach and emphasizes that knowledge resides both in the minds of individuals and in the relations they form with other individuals. 2. The Nonaka and Takeuchi knowledge spiral Model The Nonaka and Takeuchi KM model focuses on knowledge spirals that explain the transformation of tacit knowledge into explicit knowledge and then back agains as the basis for individual, group, and organizational innovation and learning. Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. 3. The Choo sense-making KM Model Choo has described a model of knowledge management that stresses sense making, knowledge creation and decision making concepts, bounded rationality. The Choo KM model focuses on how information elements are selected and subsequently fed into organizational actions. Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. Build Knowledge Hold Knowledge Pool Knowledge Use Knowledge Learn from personal experience Formal education training Intelligence sources Media, books In people In tangible forms KM system intranet, dbase Group of people In work context Embedded in work processes In the sense-making stage; one attempts to make sense of the information streaming in from the external environment. Knowledge creating may be viewed as the transformation of personal knowledge between individuals through dialogue, discourse, sharing, and storytelling. Decision making is situated in rational decision-making models that are used to identify and evaluate alternatives by processing the information and knowledge collected to date. 4. The Wiig Model for Building and using knowledge The Wiig KM model is based on the principle that in order for knowledge to be useful and valuable, it must be organized through a form of semantic network that is connected, congruent, and complete, and that has perspective and purpose. 5. The Boisot I-Space KM Model The Boisot KM model is based on the key concept of an information good that differs from a physical asset. Boisot distinguishes information from data by emphasizing that information is what an observer will extract from data as a function of his or her expectations or prior knowledge. Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. Phase Name Description 1 Scanning Identifying threats and opportunities in generally available but often fuzzy data—i.e., weak signals. Scanning patterns such data into unique or idiosyncratic insights that then become the possession of individuals or small groups. Scanning may be very rapid when the data is well codified and abstract and very slow and random when the data is uncodified and context-specific 2 Codification The process of giving structure and coherence to such insights—i.e., codifying them. In this phase they are given a definite shape and much of the uncertainty initially associated with them is eliminated. Problem ∫ solving initiated in the uncodifiedregionof the I ∫ Space is often both risky and conflict ∫ laden. 3 Abstraction Generalizing the application of newly codified insights to a wider range of situations. This involves reducing them to their most essential features–i.e., conceptualizing them. Problem solving and abstraction often work in tandem 4 Diffusion Sharing the newly created insights with a target population. Thediffusion of well codified and abstract data to a large population will be technically less problematic than that of data which is uncodifiedand context–specific. Only a sharing of context by sender and receiver can speed up the diffusion of uncodifieddata; the probability of a shared context is inversely achieving proportional to population size. 5 Absorption Applying the new codified insights to different situations in a “learning by doing”or a “learning by using”fashion. Over time, such codified insights come to acquire a penumbra of uncodifiedknowledge which helps to guide their application in particular circumstances. 6 Impacting The embedding of abstract knowledge in concrete practices. The embedding can take place in artifacts, technical or organizational rules, or in behavioral practices. Absorption and impact often work in tandem. 6. Complex Adaptive System Models of KM Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. Organizational intelligence Shared purpose Multi- dimensionality Knowledge centricity Optimum complexity Selectivity Permeable boundaries Creativity Complexity Change flow The ICAS intelligent complex adaptive systems is a conceptual model developed to bring out the most important capabilities necessary to live and contribute in an unpredictable, dynamic, and complex society. Keenam model di atas dapat diartikan sebagai berikut: 1. The von Krogh and Roos Model of Organizational Epistemology Model manajemen pengetahuan The von Krogh and Roos menggunakan pendekatan epistemology organisasi dan menekankan bahwa pengetahuan berada dalam pikiran individu dan dalam hubungan yang mereka bentuk dengan individu lainnya. 2. The Nonaka and Takeuchi knowledge spiral Model The Nonaka and Takeuchi menekankan pada spiral pengetahuan yang menjelaskan transformasi dari pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit dan kemudian kembali lagi sebagai dasar inovasi dan pengetahuan bagi individu, group, dan organisasi. 3. The Choo sense-making KM Model Model manajemen pengetahuan ini menekankan pada sense-making masuk akal, penciptaan pengetahuan dan konsep pengambilan keputusan, yang Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. masuk akal. Model KM Choo fokus pada bagaimana unsur-unsur informasi dipilih dan sesudah itu dimasukkan dalam tindakan organisasi. Pada tahap sense-making dibuat satu usaha untuk dapat dimengerti menyangkut arus informasi dari dalam lingkungan eksternal. Penciptaan pengetahuan dapat dipandang sebagai perubahan bentuk dari pengetahuan pribadi antar individu melalui dialog, ceramah, sharing, dan berceritera. Pengambilan keputusan diposisikan dalam model pengambilan keputusan yang masuk akal yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi dengan mengolah pengetahuan dan informasi yang dikumpulkan sampai saat ini. 4. The Wiig Model for Building and using knowledge Model ini didasarkan pada prinsip bahwa agar pengetahuan menjadi berguna dan bernilai, pengetahuan itu harus diorganisir melalui suatu bentuk dari jaringan semantik yang berhubungan, sama dan sebangun, dan lengkap, serta memiliki prospek dan tujuan. 5. The Boisot I-Space KM Model Model ini didasarkan pada konsep bahwa informasi berbeda dari aset fisik. Boisot membedakan informasi dari data dengan menekankan bahwa informasi adalah hasil ekstrak dari data yang merupakan pra-pengetahuan. 6. Complex Adaptive System Models of KM ICAS intelligent complex adaptive system adalah suatu model konseptual yang dikembangkan untuk menunjukkan kemampuan terpenting untuk hidup dan menyumbang dalam suatu masyarakat yang tidak dapat diramalkan, dinamis, dan kompleks. Karakter dibutuhkan untuk sukses dan bertahan: 1. Organizational intelligence 2. Shared purpose 3. Selectivity 4. Optimum complexity 5. Permeable boundaries 6. Knowledge centricity Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. 7. Flow 8. Multidimensionality Ketika diterapkan pada organisasi, Wigg memperluas pandangan kecerdasaninteligen ini dan mempertimbangkan kemampuan seseorang untuk berpikir, memberi alasan, memahami, dan bertindak. Ia menganggap kecerdasaninteligen yang dipergunakan dalam organisasi yang meliputi kemampuan untuk menginovasi, memperoleh pengetahuan, dan menerapkan pengetahuan itu pada situasi yang relevan. Dari suatu sudut pandang organisasi, pekerja dan organisasi mereka dapat memperlihatkan perilaku cerdas Proses pengelolaan pengetahuan Knowledge Management System Process dalam organisasi terdiri dari 7 proses Asro, 2008 : 4, yaitu: 1. Penetapan Sasaran Pengetahuan. Tujuan proses ini adalah menentukan jenis dan tingkat pengetahuan yang diperlukan oleh suatu organisasi. Jenis dan tingkat pengetahuan yang diperlukan tersebut dapat diketahui dengan melihat: 1 Sasaran dan strategi organisasi; 2 Kelemahan organisasi; 3 Key sucess factor organisasi; 4 Value chain organisasi. Penjelasannya adalah sbb: Pada dasarnya setiap organisasi baik itu berupa perusahaan, unit kerja dalam perusahaan maupun organisasi sosial memiliki sasaran yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran tersebut, organisasi menyusun suatu strategi. Agar strategi bisa berjalan, organisasi membutuhkan berbagai sumber daya termasuk sumber daya pengetahuan. Jadi, pengetahuan yang dibutuhkan oleh suatu organisasi dapat diperoleh dengan melihat sasaran dan strategi organisasi tersebut. Selain itu, pengetahuan yang diperlukan oleh organisasi juga dapat diketahui dengan melihat apa yang menjadi kelemahan organisasi tersebut dibandingkan dengan pesaingnya, hal ini disebabkan pengetahuan yang seharusnya diperlukan tetapi tidak dimiliki organisasi akan menjadi kelemahan organisasi tersebut. Selain itu, identifikasi pengetahuan yang diperlukan oleh organisasi dapat juga dilakukan dengan melihat faktor kunci sukses key success factor – KSF dari organisasi tersebut. KSF merupakan faktor-faktor yang harus dimiliki suatu organisasi agar bisa menjadi pemain yang diperhitungkan. Jadi dengan mengetahui KSF, dapat diidentifikasi ragam pengetahuan yang diperlukan. Pendekatan lainnya untuk mengetahui pengetahuan yang diperlukan organisasi adalah dengan memanfaatkan diagram rantai nilai value chain yang dikembangkan oleh Michael Porter. Dalam rantai nilai, terdapat 5 kegiatan utama primary activities dan 4 kegiatan pendukung support activities. Masing-masing kegiatan memiliki indikator kinerja. Kinerja tersebut bisa dicapai jika organisasi tersebut memiliki pengetahuan yang yang diperlukan, sebaliknya jika kinerja tidak Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009. tercapai, maka kemungkinan organisasi belum memiliki pengetahuan yang diperlukan. 2. Evaluasi Pengetahuan. Proses ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi dan sekaligus mengukur tingkat pengetahuan yang dimiliki tersebut. Hasil evaluasi pengetahuan kemudian dibandingkan dengan pengetahuan yang seharusnya dimiliki organisasi yang diperoleh dari proses sebelumnya penetapan sasaran pengetahuan, sehingga dapat diketahui apakah organisasi tersebut sudah memiliki pengetahuan yang memadai atau tidak. Evaluasi pengetahuan yang dimiliki organisasi dapat dilakukan dengan melihat: 1 Kekuatan dan kelemahan organisasi; dan 2 Value chain organisasi. Kekuatan organisasi menunjukan bahwa ragam pengetahuan yang dimiliki lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya, sebaliknya kelemahan akan menunjukan bahwa pengetahuannya masih dibawah pesaingnya. Pada diagram rantai nilai value chain, setiap kegiatan baik kegiatan primer maupun kegiatan pendukung memiliki indikator yang merupakan ukuran keberhasilan yang ditetapkan. Jika kinerja tercapai berarti pengetahuan yang dimiliki organisasi sudah memadai, sebaliknya jika tidak tercapai, maka berarti pengetahuan organisasi masih belum memadai dibandingkan dengan yang dibutuhkan. 3. Akusisi Pengetahuan. Melalui penetapan sasaran pengetahuan dan evaluasi pengetahuan, dapat diketahui jenis dan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki organisasi dan pengetahuan yang belum dimiliki namun sangat diperlukan untuk mencapai sasaran organisasi kesenjangan pengetahuan. Akusisi pengetahuan merupakan kegiatan untuk memperkecilmenghilangkan kesenjangan ini. Proses akusisi pengetahuan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain pelatihan, riset, kerja sama dengan organisasi lain, perekrutan tenaga profesional, konsultasi, seminarworkshop, dsbnya. 4. Pengembangan Pengetahuan. Perlu diketahui, bahwa tidak semua pengetahuan yang diperlukan organisasi tersedia di lingkungan eksternal. Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan yang menjadi pemimpin pasar, atau pada perusahaan yang beroperasi pada lingkungan yang sangat turbulen. Jika hal ini terjadi, maka organisasi harus mengembangkan sendiri pengetahuan yang diperlukannya tersebut. 5. Distribusi Pengetahuan. Seorang karyawan yang baru pulang dari mengikuti pelatihan atau workshop misalnya, seringkali hanya menyimpan saja pengetahuan yang baru dimilikinya tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak membaginya dengan karyawan lainnya, sehingga di organisasi tersebut hanya dia sendiri yang mngetahui pengetahuan baru tersebut. Dibanyak organisasi, kejadian ini sering kali ditemukan, jadi tidak heran jika banyak organisasi yang memiliki anggaran pelatihan yang besar tetapi tidak mampu menunjukan kinerja yang baik. Dalam proses distribusi pengetahuan, diharapkan setiap karyawan dapat berbagi pengetahuan baru yang dimilikinya. Dengan distribusi pengetahuan diharapkan agar pengetahuan yang dimiliki oleh seorang karyawan dapat disebarkan ke sebanyak mungkin karyawan lainnya di Harly Christy M. Siagian : Penerapan Manajemen Pengetahuan Dalam Pengolahan Grey Literature Dan Koleksi Repository Pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2009.