1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kegiatan bisnis dan perdagangan sebagai salah satu pilar dari perekonomian suatu negara, pada prinsipnya adalah merupakan suatu proses yang secara mendasar
ditandai dengan adanya transaksi perdagangan barang dan jasa antar pihak, proses mana adalah merupakan suatu aktivitas yang menggambarkan proses bernegosiasi
dan bersepakat mengenai sesuatu hal yang menjadi obyek transaksi tersebut, khususnya dalam hal ini adalah terjadinya proses jual beli terhadap suatu obyek yang
menjadi kesepakatan dalam bentuk perjanjian jual beli. Keberadaan obyek perjanjian jual beli semakin menjadi penting ketika
menyangkut obyek yang berupa komoditi minyak bumi. Hal ini mengingat ketergantungan dunia terhadap kesinambungan ketersediaan minyak bumi hingga
sampai saat ini tidak tergantikan, yang mana kondisi yang demikian tersebut secara umum juga terjadi di Indonesia. Begitu penting dan strategisnya komoditi minyak
bumi tersebut, hingga kemudian negara Republik Indonesia secara tersurat dan tersirat memberikan proteksi yang kuat terhadap pengelolaan dan pemanfaatannya
melalui Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Sebagai perwujudan dari amanah yang diberikan oleh Pasal 33 Undang
Undang Dasar 1945 tersebut di atas, pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan Undang Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan dan Undang
1
Universitas Sumatera Utara
2
Undang nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Undang Undang nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, yang kemudian pada tahun 2001 penerjemahan amanah Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tersebut harus dirangkai ulang melalui
pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
1
Undang-undang tentang migas yang baru ini memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan regulasi yang berlaku sebelumnya, dan yang terpenting terkait
dengan materi penelitian tesis ini adalah dengan berlakunya undang undang yang baru ini kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan perniagaan atas
komoditi minyak dan gas bumi dapat pula dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil dan badan usaha swasta.
2
Pada saat masyarakat pelaku bisnis mulai diberikan keleluasaan untuk memperniagakan komoditi yang sebelumnya dilarang oleh undang undang, maka
1
Dana Moneter Internasional memiliki program penyelamatan krisis ekonomi yang bersifat baku dan mengikat bagi negara yang menerima bantuannya. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia,
Pemerintah Indonesia menandatangani letter of intent yang isinya berkaitan dengan sektor riil, yakni masalah privatisasi, restrukturisasi perbankan dan liberalisasi ekonomi, – Lihat I. Wibowo, Negara
Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010 hlm. 113 – yang secara konkrit harus dilaksanakan dalam beberapa program yang diantaranya adalah
pembaharuan peraturan hukum sektor migas; restrukturisasi Pertamina; menjamin ketentuan fiskal dan peraturan tentang eksplorasi dan produksi tetap kompetitif dengan standard internasional; serta
mengijinkan harga domestik produk migas bersaing dengan harga internasional. – Lihat Rincian Langkah dan Jadwal Reformasi RI – IMF, http:www.seasite.niu.edu, 24 Januari 2012 – Alhasil
tekanan-tekanan tersebut di atas melahirkan perubahan yang mendasar pada regulasi mengenai pengelolaan eksploitasi dan eksplorasi minyak bumi dan gas, negara pada akhirnya memang harus
mengubah pandangan dalam menafsirkan amanah Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yakni dalam bentuk diberlakukannya Undang Undang nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
2
Pasal 9 ayat 1, Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001, Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
3
tentunya terdapat hal-hal yang menarik untuk dikaji yakni bagaimana ketika suatu hukum positif di ranah hukum publik melahirkan subyek hukum baru di bidang
hukum privat terkhusus hukum perjanjian, sehingga akan menjadi lebih lengkap jika kajian tersebut ditindak lanjuti dengan suatu penelitian yang mengambil judul.
“Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Jenis High Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.
Sebagaimana diketahui, transaksi bisnis sangatlah identik dengan kontrak, sebab bisnis saat sekarang, dalam bidang apapun hampir tidak bisa dilepaskan
dengan keberadaan suatu kontrak,
3
yang mana kontrak tersebut pada hakikatnya memiliki makna yang sama dengan perjanjian seperti yang disampaikan oleh Agus
Yudha Hernoko yakni : Burgerlijk
Wetboek selanjutnya
disingkat BW
menggunakan istilah
overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III title Kedua Tentang “Perikatan-perikatan yang
Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya bahasa Belanda, yaitu : “Verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.
4
Selaras dengan hal tersebut di atas, maka dengan demikian transaksi bisnis yang dilakukan para pelaku bisnis perniagaan bahan bakar minyak selalu akan
bersandar pada perjanjian yang disepakati, yang dalam hal ini perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal,
5
dan terhadap
3
Munir Fuadi, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek : Buku Keempat, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 2.
4
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 13.
5
Subekti, Hukum Perdjanjian, Jakarta : Penerbit PT. Pembimbing Masa, 1969, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
4
perjanjian ini kemudian melahirkan suatu perikatan di antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, perikatan mana ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu.
6
Terkait dengan materi penelitian ini, maka dengan demikian bentuk prestasi yang penting untuk dicermati adalah prestasi untuk memberikan sesuatu,
yakni suatu prestasi yang terlahir dari perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan,
7
yang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata terhadap perjanjian ini diberikan title sebagai Perjanjian Jual Beli.
Terdapat satu hal penting dari perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut di atas yang patut mendapat perhatian, yakni para pihak yang melakukan transaksi,
khususnya dari sisi keberadaan pihak penjual. Pada dasarnya para pihak yang membuat suatu perjanjian secara hukum selalu terikat untuk dapat membuktikan atau
dibuktikan bahwa mereka adalah subyek hukum yang cakap dan wenang menurut hukum.
Cakap dalam artian memiliki kecakapan bertindak ini mempunyai makna kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.
8
Namun demikian untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, khususnya terkait dengan pembahasan
dalam tesis ini, cakap menurut hukum belumlah cukup untuk secara sempurna suatu
6
Lihat Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
7
Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
8
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2003, hlm. 165.
Universitas Sumatera Utara
5
subyek hukum melakukan perjanjian jual beli bahan bakar minyak. Diperlukan suatu keadaan tertentu berikutnya yang wajib dipenuhi ketika subyek hukum yang
dimaksud akan melakukan perbuatan hukum memperjual belikan komoditi minyak bumi tersebut di atas.
Keadaan tertentu berikutnya yang wajib dipenuhi adalah suatu keadaan subyek hukum yang memiliki kewenangan menurut hukum, sebagaimana dapat
digambarkan sebagai berikut : “Kecakapan
bertindak” menunjuk
kepada kewenangan
yang umum,
kewenangan umum untuk menutup perjanjian – lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya – sedang “kewenangan bertindak”
menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus. Ketidakwenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan
tindakan hukum tertentu.
9
Gambaran tersebut secara jelas menyatakan bahwa para pihak bisa saja dinyatakan sebagai pihak yang cakap menurut hukum akan tetapi untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, seperti salah satunya adalah membuat Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak membutuhkan kewenangan tertentu yang secara khusus akan
diberikan oleh undang undang, dan bagaimana kewenangan tersebut dapat diperoleh pihak penjual adalah salah satu bagian dari obyek penelitian ini.
Selain dari hal tersebut di atas, terdapat beberapa persoalan yang juga perlu mendapatkan perhatian, yakni yang pertama mengenai kesepakatan para pihak yang
mendasari terwujudnya perjanjian tersebut di atas. Secara mendasar tercapainya kesepakatan tersebut ditandai dengan adanya persesuaian kehendak antara kedua
9
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku II, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2 dan 3.
Universitas Sumatera Utara
6
belah pihak yang membuat perjanjian, dan secara proses timbulnya persesuaian kehendak tersebut adalah sebagaimana yang diterangkan oleh J. Satrio yakni :
Untuk tercapainya kesepakatan, maka tentu harus ada satu pihak yang menawarkan-ada penawaran aanbond-dan ada yang menerima penawaran
tersebut-akseptasi. Diterimanyadiakseptirnya penawaran-kalau dipenuhi juga syarat-syarat yang lain-menimbulkan perjanjian. Dengan demikian, maka
yang namanya “kesepakatan” sebenarnya terdiri dari penawaran dan akseptasi akseptasi penawaran tersebut.
10
Kesepakatan yang menjadi syarat dari lahirnya perjanjian yang sah selalu harus melalui proses bertimbal balik yakni, menawarkan dan mengakseptasi tawaran
tersebut. Sejalan dengan prinsip tersebut, di dalam perjanjian jual beli juga sangat bernuansa “konsensualisme” ketika mencermati bunyi pasal 1458 Kitab Undang
Undang hukum Perdata yakni, “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut
dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
11
Terkait dengan hal tersebut di atas, sangatlah mempunyai dasar yang kuat ketika kemudian Subekti lebih jauh menyatakan bahwa :
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah “mengikat atau mempunyai kekuatan
hukum pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok essentialia yaitu barang dan harga.
12
Maka dengan demikian dalam konteks perjanjian jual beli, kesepakatan tersebut dapat dinyatakan sempurna ketika kedua belah pihak secara
tegas
10
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 163.
11
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 8.
12
______, Hukum Perdjanjian, Op Cit, hlm. 89.
Universitas Sumatera Utara
7
memberikan penawaran dan akseptasi secara bertimbal balik tentang harga dan barang yang dimaksud, harga dan barang mana adalah merupakan unsur pokok yang
bersifat essensil, yang berarti unsur pokok tersebut selalu harus ada dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin
ada.
13
Adalah sesuatu hal yang mustahil jika suatu perjanjian dibangun dari sebuah ketidaksepahaman ataupun ketidaksepakatan, kecuali perjanjian itu lahir dari suatu
keadaan dwaling, dwang ataupun bedrog. Selain dari hal tersebut perjanjian adalah sebuah perbuatan hukum dua pihak, oleh karenanya dapat disebut sebagai duorum
vel plurium in idem placitum consensus, atau dengan kalimat yang lain, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian
dibangun oleh perbuatan dari beberapa orang,
14
yang kemudian pada proses berikutnya, kesepakatan tersebut mempunyai peran sentral dalam menentukan kapan
saatnya sebuah perjanjian lahir ataupun menilai apakah terhadap suatu peristiwa tertentu telah lahir sebuah perjanjian.
Kesepakatan adalah syarat yang bersifat subyektif di dalam perjanjian selain syarat subyektif tentang Kecakapan Para Pihak sebagaimana telah diulas sebelumnya,
dan berikutnya adalah menyangkut hal-hal yang bersifat obyektif dari syarat-syarat yang harus mampu dipenuhi ketika pihak-pihak tertentu akan membuat perjanjian.
Pemenuhan syarat-syarat keabsahan perjanjian tersebut diperlukan agar para pihak
13
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 57
14
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
8
dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga terkait dengan perjanjian yang dibuatnya tersebut.
15
Syarat obyektif yang pertama adalah apa yang lazim disebut sebagai “suatu hal tertentu”
yang jika
dimaknai sebagai
“apa yang diperjanjikan harus
cukup jelas”, maka syarat ini adalah suatu hal yang sangat penting untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
16
Sehingga dengan demikian adalah hal yang sangat logis ketika undang undang mensyaratkan
agar prestasi yang menjadi obyek perjanjian adalah suatu hal tertentu, karena jika tidak disyaratkan demikian, maka bagaimana akan dapat ditentukan apakah seseorang
telah memenuhi prestasinya atau belum.
17
Syarat obyektif yang kedua yang terhadapnya keabsahan perjanjian di sandarkan adalah suatu sebab yang halal. Di
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak secara terang menjelaskan perihal syarat ini selain yang dijelaskan di dalam Pasal 1320 yang tak lain memuat tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian itu sendiri. Namun demikian secara doktrin Kitab Udang Undang Hukum Perdata mengadopsi syarat kausa dari Code Civil Perancis
yang bersumber dari pandangan Domat dan Ponthier.
18
Menurut pandangan mereka kausa suatu perikatan adalah sebagaimana yang didefinisikan sebagai berikut :
19
Daya alasan yang menggerakkan debitur untuk mau menerima perikatan, yang dipakai sebagai dasar keterikatan debitur. Tetapi yang diterima sebagai
15
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 125
16
Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 20.
17
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 294
18
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 193
19
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 294
Universitas Sumatera Utara
9
kausa bukan semua daya alasan penggerak yang menyebabkan debitur mau mengikatkan diri, tetapi hanya daya penggerak yang langsung saja.
Apa yang dipaparkan tersebut di atas dapat lebih diperjelas oleh suatu peristiwa hukum jual beli suatu barang, yang menurut Subekti maksud dari sebab
atau kausa suatu perjanjian jual beli tersebut adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri yakni : pihak satu menghendaki hak milik sesuatu barang, pihak yang
lain menghendaki uang dari harga penjualan barang tersebut.
20
Terkait dengan peristiwa tersebut, untuk selanjutnya Subekti lebih memperjelas lagi dengan
menerangkan sebagai berikut :
21
Dengan demikian, maka kalau seseorang membeli pisau di toko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai
suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang lain. Lain halnya, apabila soal membunuh itu dimaksudkan dalam perjanjian, misalnya : si
penjual hanya bersedia menjual pisaunya, kalau si pembeli membunuh orang. Isi perjanjian sekarang menjadi sesuatu hal yang terlarang.
Hal-hal pokok dan mendasar tersebut di atas menjadi suatu hal yang prinsip untuk menjadi bahan kajian terhadap perjanjian jual beli bahan bakar minyak yang
menjadi obyek penelitian tesis ini. Meskipun dalam kajiannya tersebut tidak dibatasi pada substansi perjanjian saja, namun demikian juga terhadap pelaksanaan perjanjian
hingga nilai-nilai keseimbangan di dalam perjanjian yang dapat memberikan pengaruh terhadap keseimbangan hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di
dalam perjanjian, yakni apakah di dalamnya telah tercapai keseimbangan equilibrium
20
Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 21.
21
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
10
atau telah sampai pada tahapan keseimbangan proporsional yang mengandung proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.
22
B. Perumusan Masalah .