80
undang-undang, atau apabila berlawananan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Terhadap ketentuan di dalam kedua pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian “dapat diberi sanksi batal demi hukum”
170
apabila perjanjian tersebut dalam keadaan sebagai berikut :
171
Tidak mempunyai kausa; Kausanya palsu; Kausanya bertentangan dengan undang-undang; Kausanya bertentangan dengan
kesusilaan; dan Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum.
1. Perjanjian Tanpa Kausa Dan Kausanya Palsu
Mengenai perjanjian tanpa kausa, dalam pemahamannya dapat dilihat dari kata “kausa” yang di dalam ilmu hukum mempunyai makna “perlu adanya dasar
yang melandasi hubungan hukum di bidang hukum kekayaan”
172
, dan kemudian bersandar dari pengertian tersebut, maka perjanjian tanpa kausa dapat diartikan
perjanjian yang tak memiliki dasar untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian yakni suatu perjanjian yang tujuan pembentukannya oleh para pihak yang membuatnya
tidak mungkin terlaksana.
173
Sedangkan untuk perjanjian yang menggunakan kausa palsu adalah perjanjian yang
kausa di
dalamnya bukanlah
kausa yang
sebenarnya, sebagaimana terjadi
ketika para pihak memperjanjikan tentang jual beli sesuatu benda yang
170
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 68.
171
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 196.
172
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 114.
173
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 322
Universitas Sumatera Utara
81
sebenarnya di dalamnya terdapat kausa tentang hubungan hukum hutang piutang antara para pihak yang membuatnya.
174
2. Kausa Terlarang Menurut Undang-Undang
Pada intinya undang-undang melarang tentang tiga aspek dari perbuatan hukum terkait perjanjian yang terbentuk tersebut, yakni larangan yang ditujukan
terhadap : Dilakukannya perbuatan hukum yakni perbuatan perjanjiannya; Substansi dari perbuatan hukum yakni tentang prestasi yang wajib dipenuhi para pihak; dan
Maksud tujuan dari perbuatan hukum tersebut, yakni motivasi pada satu atau kedua belah pihak yang tampak dari luar.
175
Adalah hal terlarang apabila perusahaan manufaktur sebagai end user dari mata rantai perniagaan umum bahan bakar minyak kemudian memperjual belikan
minyak solar yang seharusnya hanya dipergunakan bagi keperluannya sendiri. Terhadap perjanjian jual beli yang seperti ini maka dapat dinyatakan batal demi
hukum, karena terdapat larangan terhadap perbuatan hukumnya, yakni dibuatnya perjanjian jual beli bahan bakar minyak.
Kemudian dari sudut pandang prestasi yang wajib dipenuhi oleh para pihak, jika merujuk pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 621951 tertanggal 29
Agustus 1951, yang di dalam putusannya perjanjian tentang jual beli truk yang
174
Ibid. hlm. 326 – 327.
175
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
82
diperbuat oleh para pihak dianggap mempunyai kausa yang tak diizinkan dan oleh karenanya dinyatakan mutlak batal absoluut nietig oleh sebab sebagai berikut :
176
i Kepemilikan pihak penjual atas truk tersebut timbul dari proses jual beli dengan pihak lain yang di dalam perjanjian jual belinya disyaratkan
bahwa kendaraan tersebut hanya boleh digunakan untuk perusahaan sendiri dan penjualan kembali harus mendapatkan izin dari Prioriteitscommissie
Motor Voer Tuigen Indonesia sesuai perundang-undangan yang berlaku saat itu;
ii Penjualan kembali dari truk tersebut tidak dilengkapi dengan izin dari Prioriteitscommissie Motor Voer Tuigen Indonesia;
Maka jika PT. Prayasa Indomitra Sarana membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan pihak pembeli yang berada di luar wilayah Indonesia, maka
terhadap perjanjian tersebut akan dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini dikarenakan terdapat larangan terhadap prestasi di dalam perjanjian yang akan
diperbuat oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, yakni melakukan eksport bahan bakar minyak tanpa mendapatkan izin dan rekomendaasi dari Dirjen Migas dan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia. Lain halnya jika PT. Prayasa Indomitra sarana membuat perjanjian jual beli
bahan bakar minyak dengan salah satu perusahaan pelayaran, yang ternyata kemudian oleh pihak pembeli diperjualbelikan kembali kepada pihak ketiga.
Terhadap perjanjian jual beli tersebut belum dapat dinyatakan batal, mengingat kausa perjanjian jual beli antara perusahaan pelayaran dengan
pihak ketiga bukan kausa tujuan bersama dari perjanjian jualbeli yang
176
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 333.
Universitas Sumatera Utara
83
dilakukan oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Herlien Budiono yang menyatakan : “Jika maksud tujuan
yang dilarang tidak merupakan maksud tujuan bersama dari para pihak atau jika hanya salah satu pihak yang mempunyai maksud tujuan yang dilarang,
perjanjian tersebut dianggap mempunyai kausa yang halal”.
177
Perjanjian tersebut baru memiliki kausa yang terlarang jika di dalamnya mempunyai tujuan untuk memasarkan bahan bakar minyak ke perusahaan-perusahaan
tertentu melalui perusahaan pelayaran tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ditambahkan mengenai kesepakatan kerja sama untuk memasarkan bahan bakar
minyak tersebut perusahaan-perusahaan pelayaran lainnya berikut pembagian keuntungannya. Ketika
kedua belah pihak menyepakati hal terakhir ini maka
dengan demikian telah tercapai apa yang dimaksudkan sebagai kausa terlarang yang merupakan tujuan bersama para pihak, dan atas perjanjian yang demikian ini
akan dapat dinyatakan batal demi hukum.
3. Kausa Terlarang Menurut Kesusilaan dan Ketertiban Umum