Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan

58 Pada hari yang sama kedua belah pihak kemudian melakukan on site inspection di lokasi pelabuhan khusus yang dikelola oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, dimana terletak Mini Tanker, Fixed Storage, Floating Storage maupun segala perlengkapan pendukung tehnis operasional lainnya. 134 Pada akhirnya setelah tercapainya kesepakatan mengenai hak ikhwal jual beli barang tersebut di atas, antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa kemudian saling bersepakat untuk membuat Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01SP-DIRPRAYASA-BNPVIII2011, yang baru selesai dibuat dan ditanda tangani pada tanggal 28 Juli 2011.

1. Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan

Para Pihak. Berdasarkan paparan tersebut di atas pada prinsipnya telah tercapai suatu kesepakatan mengenai perjanjian, baik dari sudut pandang kronologi lahirnya kesepakatan tersebut maupun dari sudut pandang kesepakatan tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak. Jika kita bersandar pada beberapa teori yang dianut dan norma yang berlaku, penentuan saat lahirnya perjanjian dapat ditelisik dari detail-detail tertentu di dalam proses terwujudnya kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian. Penentuan saat lahirnya perjanjian sangatlah penting untuk kepentingan penentuan resiko, 134 Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012. Universitas Sumatera Utara 59 kesempatan penarikan kembali penawaran, untuk menentukan saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan menentukan tempat terjadinya perjanjian, 135 Terjadinya kesepakatan lahir dari suatu proses saling bertautnya pernyataan kehendak para pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara bertimbal balik, dan ketika para pihak tersebut saling bersepakat maka kemudian perjanjian terbentuk. 136 Namun demikian yang menjadi persoalan berikutnya adalah kapan bisa dinyatakan bahwa masing-masing pernyataan kehendak tersebut saling bertemu dalam persesuaian kehendak wilsovereenstemming, dan untuk bisa menjawabnya adalah dengan menilisik bagaimana kronologi proses bertemunya pernyataan kehendak tersebut hingga melahirkan sebuah kesepakatan dengan bersandarkan pada Teori Penerimaan. 137 Di dalam Teori Penerimaan diyakini bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan, 138 jika diilustrasikan dengan urutan yang lengkap dari awal hingga akhir, maka lahirnya perjanjian bukan pada saat pihak yang lain menyatakan akseptasinya, dan bukan pula saat pihak yang lain tersebut mengirimkan akseptasinya, namun adalah pada saat 135 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 180 136 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 93. 137 Teori Penerimaan pada prinsipnya adalah pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang memang memiliki beberapa kelemahan terkhusus ketika penerapannya dibenturkan dengan perkembangan tehnologi informasi saat ini. Teori-teori seperti uitingstheorie dan verzendtheorie pada perkembangannya dikesampingkan, dengan pertimbangan kedua teori tersebut tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan, dan sebaliknya ontvangsttheorie adalah teori yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun tetap memiliki kelemahan. Ibid, hlm. 95-96 138 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2010. hlm. 31. Universitas Sumatera Utara 60 pernyataan akseptasi tersebut diterima oleh pihak yang memberikan penawaran, 139 sehingga dapat dikatakan akan cukup mudah untuk menganalisa kapan sebenarnya sebuah perjanjian lahir jika proses yang mengawalinya terdokumentasi melalui aktivitas korespondensi. Akan tetapi persoalannya adalah, proses yang mengawali terjadinya wilsovereenstemming tersebut dilakukan melalui komunikasi secara lisan dan melalui beberapa pertemuan termasuk on site inspection yang tidak tercatat di dalam notulen, atau dengan kata lain tak ada dokumentasi yang tangible, pernyataan kehendak berupa penawaran maupun akseptasi yang terkonstruksi bersifat intangible. Hal ini menimbulkan sebuah keraguan apakah cara-cara mengekspresikan pernyataan kehendak tanpa melalui proses korespondensi yang terdokumentasi dapat dipergunakan untuk menilai apakah telah lahir sebuah perjanjian. Jika merujuk kepada asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, maka pada dasarnya timbulnya suatu perjanjian tak pernah disyaratkan tentang formalitas tertentu, sebagaimana dipahami tentang asas konsensualisme yang mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. 140 Pemahaman asas konsensualisme pada kelanjutannya mendapatkan penegasan ketika mencermati pandangan yang disampaikan oleh Subekti sebagaimana berikut : 141 139 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 181-183. 140 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Op. Cit. hlm. 157. 141 Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 16. Universitas Sumatera Utara 61 Artinya asas konsensualitas ialah bahwa pada asasnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas. Pemahaman yang demikian tersebut menggarisbawahi tentang dinafikannya suatu formalitas, dalam pengertian perjanjian telah dapat dianggap tuntas karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata, jadi dalam hal ini yang ditekankan adalah adanya meeting of mind sebagai inti dari hukum perjanjian. 142 Maka dengan demikian, pernyataan kehendak yang mengawali proses terbangunnya meeting of mind secara bertimbal balik, pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu, pernyataan suatu penawaran dan pernyataan penerimaannya dapat disampaikan melalui ragam sarana, sebagaimana yang biasa digunakan dan dimengerti dalam lalu lintas pergaulan masyarakat. 143 Cukuplah persesuaian kehendak tersebut telah ada tanpa mempersoalkan bagaimana cara penyampaiannya, sama halnya ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menyampaikan penawarannya dengan menggunakan sarana telepon dan PT. Buma Niaga Perkasa menyampaikan akseptasinya secara lisan di dalam suatu pertemuan dengan pihak yang memberikan penawaran, telah dapat dinyatakan setimbang dengan penawaran dan akseptasi yang disampaikan dengan mempergunakan korespondensi tertulis. 142 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 121-122 143 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit, hlm. 125-126. Universitas Sumatera Utara 62 Kembali kepada pembahasan tentang tahapan proses terwujudnya perjanjian atas dasar pandangan Teori Penerimaan, maka dapat diyakini kesepakatan telah terwujud ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menerima pernyataan akseptasi dari PT. Buma Niaga Perkasa, terlebih lagi pernyataan akseptasi dan penyampaian akseptasi oleh PT. Buma Niaga Perkasa, maupun diterimanya pernyataan akseptasi tersebut oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana terjadi dalam satu kerangka momentum yang sama. Sehingga dengan demikian tanpa suatu keraguan dapat disimpulkan bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat kesepakatan antara kedua belah pihak telah tercapai tentang hal ikhwal yang diperjanjikan yakni pada tanggal 18 Juli 2011.

2. Tanggal Mulai Berlakunya Perjanjian Sebagai Momentum Lahirnya