100
2 Biaya-biaya dan ongkos angkut yang timbul dalam proses pengangkutan sampai pelabuhan tujuan menjadi tanggungan pihak penjual.
3 Biaya asuransi dari barang yang diangkut menjadi tanggungan pihak penjual.
6. Tentang Norma
Ontbinding Pada Perjanjian.
Pembatalan perjanjian atau ontbinding diatur di dalam Pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang berdasarkan kajian dari beberapa rujukan
maka dapat diformulasikan beberapa pokok pemahaman sebagai berikut : i Setiap perjanjian yang dibuat selalu dianggap mencantumkan syarat batal
ketika salah satu pihak telah melakukan pelanggaran norma yang disepakati di dalam perjanjian tersebut.
ii Terhadap syarat batal tersebut debitur harus dalam keadaan wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak,
debitur harus dinyatakan lalai terlebih dahulu in mora stelling.
210
iii Pembatalan tersebut tidak terjadi dengan serta merta ketika syarat batal tersebut terpenuhi, akan tetapi terlebih dahulu harus dimintakan kepada
hakim. Meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian, pembatalan perjanjian harus tetap dimintakan
kepada hakim.
211
210
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 301
211
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 56
Universitas Sumatera Utara
101
iv Dalam hal syarat batal tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian, maka hakim berwenang untuk memberikan terme de grace yakni tenggang waktu
bagi debitur untuk memenuhi prestasi kepada kreditur.
212
v Pembatalan perjanjian
harus diberlakukan
pada pelanggaran
norma perjanjian yang mendasar, yakni penyimpangan mana menyebabkan maksud
dan tujuan perjanjian menjadi kehilangan makna atau tidak mungkin lagi tercapai.
213
Sehingga dengan demikian pelanggaran-pelanggaran yang secara substantif
tidak mengganggu
keseimbangan dalam
perjanjian, dan
pengenaan sanksi pembatalan perjanjian terhadap pelanggaran yang
demikian itu justru menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi debitur dan tidak sebanding dengan kerugian pihak kreditur, maka terhadapnya
bukan termasuk hal-hal yang menyebabkan permohonan pembatalan perjanjian dikabulkan oleh hakim.
Terkait dengan hal tersebut, pada Pasal 8 di dalam perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut di atas disepakati mengenai dikesampingkannya ketentuan
Pasal 1266 tersebut, sehingga dengan demikian para pihak dapat melakukan pembatalan perjanjian tanpa harus melalui proses persidangan.
Meskipun substansi Pasal 1266 tersebut adalah norma yang bersifat dwingend recht, yang berkeyakinan setiap perjanjian tidak dapat lenyap dengan sendirinya,
sehingga dengan demikian setiap pembatalan perjanjian tersebut senantiasa harus
212
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 302
213
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit, hlm. 501
Universitas Sumatera Utara
102
diminta dengan perantaraan hakim,
214
namun demikian pengesampingan pasal tersebut masih dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Pengesampingan tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh para pihak perhatikan ketentuan Pasal 1338 ayat 2 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata.
215
b. Di dalam
praktek diterima
pandangan bahwa
apabila para
pihak memperjanjikan hal tersebut di atas, dalam hal terjadi wanprestasi,
perjanjian akan batal demi hukum tanpa adanya perantaraan putusan hakim.
216
c. Berdasarkan yurisprodensi tetap yang diantaranya, HR 20 Desember 1850, W 11203, dan HR 17 Februari 1961m NJ 1961, No. 437, terbuka peluang bagi
para pihak untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 ayat 2, 3 dan 4 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sehingga dengan demikian harus
dinyatakan bahwa hak yang dimiliki para pihak berdasarkan ketentuan tersebut secara tegas telah dilepaskan.
217
d. Pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan aanvullend recht, yang karateristikya adalah bersifat mengatur atau melengkapi, sehingga
214
H. Mashudi dan Mohammad Chidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan, Pengertian-pengertian Elementer, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 1995, hlm. 92
215
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Aanvullend Recht dalam Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 296.
216
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Op. Cit., hlm. 200.
217
Ibid
Universitas Sumatera Utara
103
dengan demikian diperbolehkan untuk disimpangi atas dasar kesepakatan para pihak.
218
Diabaikannya Pasal 1266 tersebut, sebenarnya hanya mengesampingkan norma yang mengharuskan para pihak untuk melakukan pembatalan perjanjian
melalui perantaraan hakim. Selebihnya yakni tentang norma yang menyatakan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan timbal balik jika salah satu
pihak melakukan wanprestasi, pada prinsipnya juga menjadi maksud dari ketentuan Pasal 8 perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut di atas.
Jika merujuk pada pemahaman para pihak mengenai ketentuan Pasal 8 perjanjian yang menyatakan sebagai berikut :
219
a. Setiap perbuatan wanprestasi dapat dilakukan ontbinding tanpa melalui perantaraan hakim;
b. Perjanjian dapat berakhir oleh sebab-sebab lain diantaranya : i Masa berlakunya perjanjian telah habis;
ii Para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian tanpa sebab apapun; iii Salah satu pihak dicabut izin usahanya;
iv Terjadinya overmacht; c. Terdapat dua pemahaman berbeda mengenai berakhirnya perjanjian di dalam
pasal ini, yakni yang pertama berakhirnya perjanjian dalam pengertian
218
Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit.
219
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 23 November 2012.
Universitas Sumatera Utara
104
ontbinding dan
pengertian berakhirnya
perjanjian seperti
layaknya berakhirnya perjanjian karena jangka waktu perjanjian telah berakhir;
Maka terlihat suatu kerancuan norma yang dipergunakan dalam perjanjian tersebut, yakni dengan argumentasi sebagai berikut :
a. Di dalam Pasal 8 tersebut ternyata juga menempatkan suatu syarat
pembatalan perjanjian oleh sebuah keadaan yang bukan termasuk tindakan wanprestasi, padahal seharusnya ontbinding harus selalu
dipertautkan dengan keadaan wanprestasi. b.
Di dalam Pasal 8 tersebut para pihak memahami berakhirnya perjanjian dalam dua keadaan yang berbeda satu dengan yang lainnya, yang masing-
masing memiliki akibat hukum yang jauh berbeda, yakni ontbinding akan memberikan alas hak untuk menuntut ganti kerugian selain pemutusan
perjanjian, sedangkan berakhirnya perjanjian tidak memberikan akibat hukum apapun selayaknya berakhirnya perjanjian karena telah habis masa
berlakunya. c.
Di dalam Pasal 8 tersebut juga menempatkan syarat pemutusan perjanjian oleh
sebab keadaan
overmacht, padahal
keadaan yang
melatar belakanginya serta akibat hukum keadaan overmacht berbeda dengan
yang dimaksudkan oleh para pihak.
Universitas Sumatera Utara
105
d. Seharusnya jika para pihak membuat klausul mengenai penyimpangan
Pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah cukup dibuat sebagaimana contoh klausul berikut :
220
Apabila pada tanggal …….. pihak kedua belum atau tidak juga melunasi harga jual beli sebagaimana tersebut di dalam pasal 1 di atas, perjanjian
ini batal demi hukum, dimana dengan lewatnya waktu telah menjadi bukti akan kelalaian pihak kedua sehingga tidak perlu adanya teguran dengan
surat juru sita atau surat lainnya yang serupa atau adanya putusan hakim terlebih dahulu, untuk keperluan mana para pihak dengan ini melepaskan
hak-hak yang mereka punyai atau dapat dijalankan berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
C. Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak.
Sebagaimana telah disebutkan di atas wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi debitur,
221
yakni suatu keadaan dimana para pihak lalai atau alpa atau bercidera janji,
222
terhadap kewajiban untuk memenuhi prestasi sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Pasal 1234 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Jika dikaitkan dengan perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak, maka
prestasi pokoknya adalah pihak penjual berkewajiban memberikan sesuatu yang bersinonim dengan mengirim dan menyerahkan barang berupa bahan bakar minyak
jenis high speed diesel, dan sebaliknya pihak pembeli berkewajiban untuk berbuat sesuatu yang bersinonim dengan melakukan pembayaran harga atas penyerahan
220
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Op. Cit., hlm. 201.
221
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Aanvullend Recht dalam Hukum Perdata, Op. Cit, hlm. 356
222
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
106
barang tersebut sesuai kesepakatan. Ketika prestasi tersebut tidak terpenuhi oleh salah satu pihak oleh sebab yang bersangkutan lalai atau dengan sengaja bercidera janji,
maka saat itulah pihak yang bersangkutan dapat dinyatakan wanprestasi. Namun demikian keadaan wanprestasi tidaklah dengan serta merta dapat
dinyatakan terjadi
kecuali terhadap
peristiwa-peristiwa sebagaimana
yang dikemukakan di bawah ini :
223
i Debitur menolak pemenuhan. Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak
pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu
perubahan.
ii Debitur mengakui kelalaiannya. Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga secara implisit
diam-diam, misalnya dengan menawarkan ganti rugi. iii Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi diluar peristiwa overmacht tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan
barang yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah. Tidak perlunya pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya somasi untuk
pemenuhan prestasi.
iv Pemenuhan tidak berarti lagi zinloos. Tidak diperlukannya somasi apabila kewajiban debitur untuk memberikan
atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, misalnya kewajiban untuk
menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang tersebut setelah perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.
v Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya. Selain tentang hal dan keadaan tersebut di atas, menurut Subekti somasi juga
tidak diperlukan, jika debitur pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat
223
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Op. Cit, hlm. 179-180
Universitas Sumatera Utara
107
dianggap lalai,
224
sebagaimana yang dapat terjadi di dalam perjanjian jual beli bahan bakar minyak berikut ini :
i Jumlah bahan bakar minyak yang diserahterimakan dapat dibuktikan kurang dari yang seharusnya diterima oleh pihak pembeli sebagaimana yang telah
disepakati di dalam perjanjian. ii Bahan bakar minyak yang diserahterimakan oleh pihak penjual ternyata
tidak dilengkapi dengan dokumen certificate of origin. Terhadap kelalaian ini, pihak penjual telah dapat dikatakan melanggar ketentuan dalam
perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1482 dan Pasal 1491 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sehingga dapat dinyatakan jika terhadap
hal tersebut pihak penjual telah bercidera janji. Seperti yang menjadi ketentuan Pasal 1482 tersebut pihak penjual ketika menyerahkan barang
kepada pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk juga menyerahkan dokumen-dokumen pelengkap terkait keberadaan barang tersebut termasuk
dokumen yang membuktikan tentang kepemilikan terhadap barang yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui dokumen certificate of origin adalah
dokumen yang menerangkan mengenai asal-usul barang, yakni tentang dari mana barang tersebut untuk pertama kalinya dibeli
dan dari
pelabuhan mana pertama kali barang tersebut dimuat ketika diimpor ke
224
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Op. Cit, hlm. 97
Universitas Sumatera Utara
108
Indonesia.
225
Mengingat bahan bakar minyak tersebut adalah komoditi yang bernilai strategis, serta diperjualbelikan dalam jumlah yang sangat banyak,
maka keberadaan dokumen tersebut teramat penting bagi pihak pembeli. Terlebih lagi jika dipertautkan dengan ketentuan dalam Pasal 1491 tersebut
di atas, maka dokumen tersebut dapat menjadi bukti jaminan yang kuat dan dapat dipergunakan oleh pihak pembeli terkait kewajiban pihak penjual
untuk menanggung kenikmatan tentram atas bahan bakar minyak tersebut. iii Kualitas bahan bakar minyak yang diserahterimakan ternyata buruk dan
tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan. Terhadap
kejadian tersebut pihak penjual dapat langsung dinyatakan dalam keadaan lalai, termasuk juga
terhadap kewajiban pihak penjual untuk menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada bahan bakar minyak tersebut yang membuatnya tak dapat
dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaiannya itu.
226
iv Pihak pembeli terbukti lalai tidak mempersiapkan tempat dan fasilitas yang layak dan siap tampung bagi proses serah terima bahan bakar minyak
sehingga proses penyerahan barang menjadi terhenti, dan terhadap
keadaan tersebut pihak penjual harus menanggung sejumlah kerugian.
227
225
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.
226
Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit, hlm. 19
227
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
109
Terhadap tindakan-tindakan tertentu ataupun keadaan yang tidak dengan serta merta dapat dinyatakan sebagai wanprestasi, maka terhadapnya baru akan dapat
dinyatakan demikian jika telah dinyatakan lalai in gebreke oleh kreditur melalui ingebrekestelling, yakni suatu pemberitahuan dari kreditur kepada debitur, bahwa ia
mengharapkan segera dipenuhinya perikatan yang dibuatnya atau dipenuhinya perikatan itu pada saat pemberitahuan itu dilakukan.
228
Keadaan seperti yang tersebut di atas, pada umumnya terjadi pada suatu perjanjian
yang di dalamnya tak jelas mengenai batasan lewat waktu bagi pemenuhan prestasi oleh debitur yang bersangkutan, dan serupa dengan pandangan
tersebut Subekti menyatakan bahwa :
229
Mengenai perjanjian-perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, maka jika dalam perjanjian tidak ditetapkan bahwa
si berhutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih.
Pernyataan lalai dari kreditur kepada debiturnya yang lazim disebut sebagi somasi ini dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 1238 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu,
atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.
Demikian pula dengan yang terjadi dalam perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga
228
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit, hlm. 29
229
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 51.
Universitas Sumatera Utara
110
Perkasa. Seperti yang telah menjadi ulasan sebelumnya, di dalam perjanjian tersebut tidak dinyatakan mengenai batas waktu terakhir penyerahan bahan bakar minyak
kepada pihak pembeli. Sehingga dengan demikian terdapat kemungkinan timbul suatu keadaan dimana kreditur dianggap dapat menerima prestasinya setiap waktu
dan waktu tersebut dapat diulur sampai kapan saja, tanpa adanya wanprestasi.
230
Terhadap kondisi perjanjian yang demikian tersebut, maka PT. Prayasa Indomitra Sarana dapat saja melakukan penundaan pengiriman barang oleh berbagai hal dan
sebab, semisal pada perkembangannya terdapat pembeli dari perusahaan lain yang karena urgensi kebutuhannya, sanggup membayar harga bahan
bakar minyak
tersebut lebih
mahal ketimbang harga yang disepakati dengan pihak PT. Buma Niaga Perkasa. Sehingga kemudian bahan bakar minyak tersebut bukan dikirim dan
diserahkan kepada PT. Buma Niaga Perkasa, tapi justru dijual kembali dan diserahkan kepada perusahaan yang lain tersebut.
Hal tersebut di atas sangat mungkin terjadi, karena meskipun bahan bakar minyak tersebut telah terjual kepada PT.
Buma Niaga
Perkasa melalui
kesepakatan dalam perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak, namun PT. Buma Niaga Perkasa belumlah menjadi pemilik yang sah terhadap bahan bakar minyak
tersebut. Hal ini mengingat perjanjian jual beli hanyalah perjanjian obligatoir, yang menurut Subekti memiliki makna sebagaimana berikut :
231
Perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak – penjual dan pembeli – yaitu meletakkan kepada si penjual
230
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Loc. Cit.
231
Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit, hlm. 11
Universitas Sumatera Utara
111
kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk pembayaran harga yang telah disetujui dan
disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas
barang yang dibelinya.
Seperti yang menjadi Putusan Mahkamah Agung Nomor 350KSip1968, terhadap pandangan tersebut di atas Mahkamah Agung juga berpendirian bahwa jual
beli adalah bersifat obligatoir sedangkan hak milik atas barang yang diperjual belikan baru berpindah bila barang tersebut telah diserahkan secara yuridis, oleh
karenanya terkait dengan perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut, maka hak milik
atas bahan
bakar minyak
baru berpindah setelah adanya penyerahan,
penyerahan mana sebagai perbuatan yuridis dalam arti transfering of ownership.
232
Sehingga dengan demikian, atas kondisi tersebut di atas, PT. Buma Niaga Perkasa hanya bisa menyampaikan ingebrekestelling kepada PT. Prayasa Indomitra
Sarana atas penundaan kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas bahan bakar minyak yang menjadi obyek perjanjian, bukan untuk menuntut atas kepemilikan
bahan bakar minyak tersebut. Oleh karena tak jelas mengenai kapan seharusnya prestasi diberikan secara
tuntas, maka momentum penyampaian pernyataan lalai tersebut di atas harus mempertimbangkan kepantasan redelijkheid, yakni dengan memberikan kesempatan
yang layak untuk debitur memenuhi perikatan tersebut.
233
232
Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju, 2008, hlm. 34.
233
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit, hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
112
Selayaknya waktu yang dibutuhkan oleh pihak penjual untuk melakukan pengiriman barang segera setelah terbitnya purchase order adalah equivalent dengan
waktu yang diperlukan oleh penjual untuk melakukan proses pemuatan bahan bakar minyak ke dalam mini tanker dan pengurusan dokumen olah gerak kapal maupun
dokumen-dokumen terkait lainnya yang diperlukan untuk melakukan perjalanan ke tempat tujuan, serta tentunya lamanya
waktu perjalanan
dari Batam menuju
Balikpapan. Terhadap urutan proses tersebut maka waktu yang layak untuk pihak penjual menuntaskan prestasinya adalah maksimal selama 18 delapan belas hari
kalender. Lewatnya waktu tersebut di atas, yakni waktu yang pantas untuk pihak penjual
menyerahkan barang yang menjadi obyek perjanjian, adalah momentum yang tepat untuk pihak pembeli menyampaikan somasinya, jika seandainya setelah lewatnya
waktu tersebut pihak penjual tetap belum memberikan prestasinya. Mengenai momentum penyampaian somasi tersebut Van Brakel dan Losecaat Vermeer
berpandangan, bahwa jika jangka waktu yang diberikan terlampau singkat, maka somasi tersebut dapat kehilangan manfaatnya.
234
Hal ini dikarenakan maksud dan tujuan diterbitkannya somasi adalah pihak debitur telah dalam keadaan lewat waktu
untuk berprestasi, sehingga somasi yang diterbitkan sebelum keadaan tersebut benar- benar terwujud akan kehilangan kekuatannya.
Ketika pihak penjual mendapatkan somasi dari pihak pembeli atas keterlambatan dalam pengiriman barang, maka apabila pihak penjual tetap tidak
234
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
113
melakukan prestasinya sesuai permintaan dalam surat somasi, maka terhadap debitur tersebut telah berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap debitur dapat
diperlakukan sanksi-sanksi ganti rugi pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.
235
Untuk prestasi dan kontra prestasi yang sama, jika ditimbang dari posisi pihak penjual sebagai kreditur, maka bisa dikatakan kemungkinan terjadinya wanprestasi
karena tidak dipenuhi kewajiban pembayaran atas harga barang oleh pihak pembeli sangat kecil. Hal ini dikarenakan kepastian pembayaran tersebut telah dijamin oleh
pihak pembeli melalui “bank garansi” sehingga apabila terjadi keterlambatan pembayaran, maka segala sesuatunya akan diselesaikan oleh pihak bank yang
memberikan garansi, dengan demikian kondisi merugi yang dialami kreditur yang diakibatkan oleh wanprestasi tak pernah terjadi.
D. Pertanggung Jawaban Para Pihak Terhadap Keadaan Wanprestasi.
Ketika salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak yang lain
pasti akan berada dalam keadaan yang dirugikan. Seperti yang
dipermisalkan di atas, yakni ketika pihak penjual menunda-nunda menyerahkan bahan bakar minyak yang menjadi obyek perjanjian, maka pihak pembeli akan
menanggung beberapa kerugian. Terhadap keadaan yang demikian tersebut, akan membawa konswekuensi tertentu terhadap pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian.
Sebagai akibat dari ingkarnya salah satu pihak terhadap isi perjanjian, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kompensasi atas kerugian yang ditanggungnya
kepada pihak yang ingkar tersebut. Seperti yang menjadi ketentuan di dalam Pasal
235
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
114
1243 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, maka ketika debitur telah mendapatkan somasi tetapi tetap tidak melakukan upaya pemenuhan prestasinya, atau kalaupun
dilakukan upaya tersebut pemenuhan prestasinya baru akan tuntas setelah melampaui batas waktunya, maka terhadapnya dapat dikenakan kewajiban untuk menanggung
penggantian biaya, kerugian dan bunga. Pengertian “biaya” disini adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata telah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
236
Sedangkan “kerugian” adalah berkurangnya
harta kekayaan
yang disebabkan
adanya kerusakan atau kerugian.
237
Selanjutnya yang dimaksud dengan “bunga” adalah kerugian dalam bentuk kehilangan keuntungan winstderving yang telah dapat dibayangkan atau
dihitung oleh kreditur.
238
Dalam pelaksanaannya pengenaan kewajiban kepada debitur yang wanprestasi tersebut diatur dan dibatasi lebih lanjut melalui Pasal 1247 dan 1248 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, yang mana terhadap pembatasan tersebut pada pokoknya menyatakan demikian :
239
i Debitur hanya diharuskan mengganti kerugian yang langsung diakibatkan oleh wanprestasi, bahkan apabila terjadi karena arglist.
ii Bilamana debitur tidak arglistig, maka ditambah dengan syarat, bahwa kerugian
itu sebelumnya
haruslah sudah diduga atau dapat diduga
236
Ibid.
237
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Op. Cit, hlm. 182
238
Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit.
239
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit, hlm. 48
Universitas Sumatera Utara
115
voorzien of kunnen voorzien, dan jika terdapat arglist maka ganti rugi yang diberikan adalah sebagai akibat langsung dari wanprestasi tanpa melihat
lagi faktor “voorzienbaarheid”. Sehingga dengan demikian untuk mengaitkan wanprestasi dengan kerugian
sebagai hubungan sebab akibat lazim digunakan teori adequate veroorzaking. Di dalam teori ini memberikan kriteria bahwa :
i Antara wanprestasi dengan kerugian harus saling berkesuaian satu dengan yang lainnya.
ii Kerugian tersebut
adalah akibat
langsung dari
pelanggaran norma
wanprestasi iii Akibat langsung dan seketika adalah akibat yang menurut pengalaman dapat
diharapkan akan terjadi. Selain menekankan faktor hubungan sebab akibat antara wanprestasi dengan
kerugian yang ditimbulkannya, di kedua pasal tersebut juga menekankan mengenai akibat kerugian tersebut sebelumnya harus sudah diduga atau dapat diduga oleh para
pihak akan terjadi. Persyaratan patut diduga ini tidak hanya mengenai kerugian yang akan
ditimbulkannya, akan tetapi meliputi juga besarnya kerugian yang timbul.
240
Artinya pihak kreditur tak dapat dengan semena-mena menentukan jumlah kerugian yang
melampaui jumlah yang selayaknya dapat diduga sebelumnya.
240
Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 54
Universitas Sumatera Utara
116
Selain tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga, pertanggung jawaban debitur terhadap kegagalan kontraktual adalah
dengan memposisikan dirinya
kembali pada keadaan sebelum perjanjian tersebut disepakati. Pembatalan perjanjian adalah sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban para pihak terhadap kegagalan
kontraktual yang
menyebabkan sebuah
ketidak seimbangan,
yakni dengan
memulihkan keadaan atau keseimbangan para pihak seperti keadaan pada saat sebelum perjanjian.
241
Pembatalan perjanjian sebagai bentuk pertanggung jawaban para pihak, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1267 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang
didalamnya ditentukan sebagai berikut : Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa
pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya,
kerugian dan bunga.
Maka dengan demikian pada pelaksanaanya pihak kreditur dapat menuntut suatu kompensasi atas wanprestasi debitur dalam bentuk gugatan dengan beberapa
pilihan sebagai berikut : i Pemenuhan prestasi perjanjian nakoming
Yang dimaksudkan prestasi disini adalah prestasi pokok dalam perjanjian, jika dikaitkan dengan perjanjian jual beli bahan bakar minyak, maka
pemenuhan prestasi
yang dituntut
adalah penyerahan
barang atau
pembayaran harga barang.
241
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit, hlm. 504
Universitas Sumatera Utara
117
ii Ganti rugi schadeloosstelling. Ganti rugi bersifat subsidair, artinya apabila pemenuhan prestasinya tidak
dimungkinkan atau jika dapat dilakukan sudah tak lagi memiliki makna bagi kreditor, ganti rugi dapat merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh
kreditur untuk menggantikan manfaat prestasi dari pihak debitur.
242
iii Pemutusan atau pembatalan perjanjian ontbinding. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka jika terdapat suatu tindakan
wanprestasi dari debitur yang menyebabkan substansi perjanjian beserta tujuan perjanjian menjadi sangat terganggu, maka kreditur dapat menuntut
pembatalan atas perjanjian tersebut. iv Pemenuhan prestasi dan ganti rugi pelengkap nakoming en anvullend
vergoeding. Tuntutan kreditur kepada debitur merupakan kombinasi antara tuntutan
pemenuhan prestasi pokok dan ganti rugi pelengkap sebagai ganti rugi atas kerugian “akibat terlambat atau tidak terpenuhinya prestasi debitur
sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan kontrak”.
243
v Pembatalan perjanjian dan ganti rugi pelengkap ontbinding en anvullend vergoeding.
242
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 263
243
Ibid, hlm. 264
Universitas Sumatera Utara
118
Tuntutan kreditur ini merupakan tuntutan pembatalan perjanjian yang dikombinasikan dengan ganti rugi pelengkap sebagai ganti rugi atas kerugian
kreditur tersebut di atas.
E. Pertanggung jawaban Para Pihak Terhadap Akibat Hukum Pencabutan Izin Usaha Niaga Umum.
Kesepakatan para pihak untuk menempatkan peristiwa pencabutan izin usaha salah satu pihak sebagai alasan untuk melakukan pengakhiran perjanjian, sebetulnya
kurang memiliki landasan hukum yang kuat. Pendapat ini didasarkan oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a. Pengakhiran perjanjian pada prinsipnya adalah upaya untuk menghapuskan perikatan hukum pada perjanjian yang dibuat, dan perikatan tersebut baru
dapat hapus jika disebabkan oleh hal-hal yang diatur di dalam Pasal 1381 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Terkait dengan konteks persoalan ini,
maka hal-hal yang dapat menghapuskan perikatan hukum adalah, karena terpenuhinya prestasi sesuai perjanjian atau apabila terjadi peristiwa sebagai
syarat pembatalan perjanjian yang berupa tindakan wanprestasi. b. Keadaan mengenai izin usaha para pihak bukanlah prestasi yang disyaratkan
oleh para pihak untuk selalu dalam keadaan tertentu sesuai kesepakatan. Sehingga apabila terjadi pencabutan izin usaha maka terhadap peristiwa
tersebut tidak dapat digolongkan sebagai tindakan wanprestasi. c. Para pihak dapat menyepakati untuk mengakhiri perjanjian apabila prestasi
dan kontra prestasi dalam perjanjian telah tuntas dipenuhi dan ketika masih
Universitas Sumatera Utara
119
terdapat sisa waktu sebelum habisnya jangka waktu perjanjian. Sehingga dengan demikian kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian oleh sebab selain
tindakan wanprestasi pada saat proses pemenuhan prestasi belum tuntas, selalu memiliki celah bagi pihak yang dirugikan untuk menolak pengakhiran
perjanjian. Sehingga jika misalnya pihak pembeli mengalami peristiwa pencabutan izin
usaha pada saat bahan bakar minyak telah dikirim oleh pihak penjual, maka tak ada kuasa apapun yang menghalangi pihak penjual untuk tetap menyerahkan barang
tersebut dan menagih pembayarannya kepada pihak pembeli. Terjadi pencabutan izin usaha terhadap pihak pembeli secara substantif belum cukup kuat untuk menyatakan
bahwa perjanjian jual
beli tersebut
ontbinding, karena selain
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang perniagaan umum bahan bakar minyak, penjualan bahan bakar minyak non subsidi dapat
dilakukan kepada
semua pihak
tanpa pembatasan. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan perjanjian jual beli tersebut dibuat masih dapat
diwujudkan oleh para pihak, karena pihak pembeli masih dalam keadaan mampu dan diperbolehkan untuk menuntaskan prestasinya.
Hal yang kurang lebih sama terjadi jika pihak penjual yang mengalami peristiwa pencabutan izin usaha sebagai perusahaan niaga umum minyak dan gas
bumi. Namun khusus pencabutan izin usaha pada pihak penjual memberikan akibat hukum yang lebih serius dibandingkan dengan pencabutan izin usaha kepada pihak
pembeli.
Universitas Sumatera Utara
120
Ketika izin usaha niaga umum dicabut oleh otoritas negara, maka sebagai pihak penjual PT. Prayasa Indomitra Sarana berada dalam keadaan tidak wenang
secara hukum untuk membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak, dan di sisi yang lain barang yang menjadi obyek perjanjian bukan lagi “hal tertentu” yang boleh
diperdagangkan, dan sekaligus dapat dinyatakan bahwa terhadap perjanjian jual beli yang dibuatnya tersebut tidak lagi memiliki kausa yang halal.
Sehingga dengan demikian terhadap kondisi dan realita tersebut, perjanjian jual beli bahan bakar minyak yang telah berjalan dapat dinyatakan batal demi hukum,
yakni suatu keadaan yang dapat digambarkan sebagai berikut :
244
Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para
pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.
Keadaan batal demi hukum tersebut pada kelanjutannya memberikan konswekuensi
tertentu berupa
gugurnya kewajiban
para pihak untuk
melakukan prestasinya, dan kepada para pihak yang telah melakukan prestasinya dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan, dan sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 1359 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, pembayaran yang demikian tersebut wajib untuk dikembalikan.
245
Ketentuan di dalam Pasal 1359 di atas tentunya hanya memberikan “perlindungan” terhadap prestasi yang terlanjur diberikan yang berupa prestasi pokok
244
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta : Penerbit Nasional Legal Reform Program, 2010, hlm. 6
245
Ibid, hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
121
pembayaran harga barang dan penyerahan barang. Bukan termasuk misalnya kerugian pihak pembeli berupa beralihnya para customer potensial dari PT. Buma
Niaga Perkasa kepada perusahaan kompetitor karena kesinambungan suplai bahan bakar minyak terhadap para customer tersebut gagal dipertahankan, atau bahkan
kerugian yang berupa sanksi pembayaran denda oleh PT. Buma Niaga Perkasa karena keterlambatan penyerahan bahan bakar minyak kepada pihak ketiga, yang
kesemuanya adalah sebagai akibat dari batalnya perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan PT. Prayasa Indomitra Sarana.
Terhadap kerugian-kerugian tersebut dengan sendirinya akan menjadi tanggungan PT. Buma Niaga Perkasa, tak ada alas hak yang bersandar pada norma-
norma perjanjian yang dapat dipergunakan untuk menuntut ganti kerugian kepada PT. Prayasa Indomitra Sarana. Pihak pembeli tak dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian yang
dikarenakan tindakan wanprestasi mengingat tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian
tersebut terpenuhi,
246
Sehingga dengan demikian tujuan dari gugatan wanprestasi tersebut tak akan mungkin dapat diwujudkan mengingat terhadap perjanjian tersebut
telah dinyatakan batal demi hukum. Pada sudut pandang kepentingan pihak pembeli, keadaan ini tentunya tidak
cukup memberikan rasa keadilan. Seharusnya jika memang perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum, maka keadaan pihak pembeli benar-benar dalam
246
Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009, hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
122
keadaan yang sama ketika perjanjian tersebut belum dilahirkan, padahal realita yang terjadi justru sebaliknya, pihak pembeli menderita
beberapa kerugian yang seharusnya tidak timbul jika perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut dapat
dituntaskan dengan sempurna. Keadaan yang menjadi keinginan pihak pembeli yang dipandang cukup adil
adalah tidak ada satupun kerugian yang harus ditanggung, atau paling tidak apabila terdapat kerugian seharusnya menjadi tanggung jawab pihak penjual untuk
menggantinya, karena keadaan tersebut diatas bukan disebabkan oleh keadaan overmacht ataupun kesalahan pihak pembeli, akan tetapi semata-mata adalah karena
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh pihak penjual. Seharusnya posisi pihak pembeli ditempatkan pada keadaan semula ketika
pihak pembeli belum terikat perjanjian jual beli, suatu keadaan mana serupa dengan tujuan dari gugatan onrechtmatige daad yakni untuk menempatkan posisi penggugat
kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak penjual.
247
Dengan demikian pada dasarnya pihak pembeli masih mempunyai alas hak untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak penjual atas kerugian yang diderita oleh pihak
pembeli, alas hak mana disandarkan kepada kewajiban yang lahir dari perbuatan melawan hukum pihak penjual. Namun demikian untuk menempatkan pihak penjual
247
Ibid
Universitas Sumatera Utara
123
sebagai pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum haruslah memenuhi beberapa unsur sebagaimana berikut :
248
i Adanya suatu perbuatan. ii Perbuatan tersebut melawan hukum.
iii Adanya kesalahan dari pihak pelaku. iv Adanya kerugian bagi korban.
v Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Unsur adanya suatu perbuatan memiliki pemahaman bahwa pihak yang bersangkutan melakukan perbuatan tertentu ataupun tidak berbuat sesuatu yang
seharusnya menjadi kewajiban hukum dari pihak tersebut.
249
Sama halnya dengan yang terjadi ketika izin usaha niaga umum minyak dan gas bumi dicabut, adalah
sebagai akibat dari tindak pelanggaran terhadap kewajiban pihak penjual sebagai badan usaha niaga umum bahan bakar minyak, atau dapat juga terjadi pihak penjual
tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Untuk berikutnya adalah terhadap perbuatan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria sebagai perbuatan melawan hukum, dan kriteria-kriteria tersebut
dapat dipaparkan sebagaimana berikut :
250
i Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Selain mengenai kewajiban hukum pihak penjual seperti yang telah ditentukan
di dalam peraturan perundang-undangan, terhadap pelanggaran kewajiban
248
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 10.
249
Ibid
250
A. Mukhsin Asyrof, Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif, http:www.badilag.netdataARTIKELVARIA, 20 Oktober
2012, hlm. 14-17.
Universitas Sumatera Utara
124
hukum oleh pihak penjual haruslah memberikan akibat berupa timbulnya ancaman dan gangguan terhadap kepentingan pihak pembeli, dan
perlindungan dari kaidah peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pihak penjual. Keadaan tersebut pada kenyataannya akan dialami oleh pihak
pembeli ketika pihak penjual melakukan pelanggaran pada kewajiban hukumnya, dan mengenai peraturan perundang-undangan yang dilanggar,
pada prinsipnya memberikan regulasi yang memberikan perlindungan kepada kepentingan masyarakat secara umum dan pihak pembeli secara khusus, yakni
dengan menetapkan standard minimal kapabilitas dan kredibilitas badan usaha yang memperjualbelikan bahan bakar minyak.
ii Perbuatan tersebut melanggar hak subyektif orang lain. Tentunya hak yang terlanggar disini adalah hak dari pihak pembeli, yakni hak-
hak yang dijamin oleh hukum, hak-hak yang lahir sebagai subyek hukum maupun sebagai subyek perjanjian pada khususnya.
iii Perbuatan tersebut melanggar kaidah kesusilaan. Perbuatan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah moral yang diposisikan
sebagai kaidah-kaidah hukum tidak tertulis oleh masyarakat pada umumnya. iv Perbuatan tersebut bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta
kehati-hatian.
Universitas Sumatera Utara
125
Mengenai adanya
kesalahan dari
pihak pelaku
dalam melakukan
perbuatannya, baru akan dapat dimintakan pertanggung jawaban sebagai perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
251
i Ada unsur kesengajaan, atau ii Ada unsur kelalaian negligence, culpa, dan
iii Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf rechtvaardigingsgrond,
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. Untuk selanjutnya, atas perbuatan tersebut haruslah menimbulkan suatu
kerugian bagi pihak pembeli, baik kerugian materiil maupun imateriil, atau dengan kata lain antara kerugian dengan perbuatan wajib memiliki hubungan sebab akibat.
Dalam mencermati hubungan kausal tersebut lazim digunakan Teori Causation in Fact seperti yang menjadi ajaran Von Buri, teori mana yang berprinsip, “setiap
penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian hasilnya tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.
252
Pasal 1365 dan seterusnya dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang pada pokoknya mengatur tentang perbuatan melawan hukum, ternyata tidak
dilengkapi dengan ketentuan mengenai batasan dan besarnya ganti kerugian tersebut di atas, maka dengan demikian terhadap keadaan tersebut para sarjana pada umumnya
menyepakati bahwa, “beberapa ketentuan dalam Bagian keempat, Bab I, Buku III BW – tentang penggantian biaya, rugi, dan bunga – bisa diterapkan secara analogi
251
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Op. Cit. hlm. 12.
252
Ibid, hlm. 13-14
Universitas Sumatera Utara
126
pada tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum”.
253
Sehingga dengan demikian substansi tentang ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum
adalah serupa dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 1246 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Mencermati uraian tersebut di atas, maka pada prinsipnya pertanggung jawaban para pihak dapat pula lahir sebagai akibat hukum dari perjanjian yang
batal demi hukum oleh sebab pencabutan izin usaha niaga umum. Setiap tindakan pencabutan izin selalu dapat dipastikan sebagai konswekuensi dari pelanggaran
kewajiban undang-undang yang dilakukan oleh badan usaha yang bersangkutan, perbuatan mana secara substantif memiliki unsur dan kriteria sebagai perbuatan
melawan hukum, yang pada akhirnya melahirkan kewajiban dari pihak penjual untuk mempertanggungjawabkan segala yang menjadi akibatnya, yakni berupa kerugian
dari pihak pembeli dalam bentuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
F. Pertanggungjawaban Pihak Penjual Terhadap Cacad-cacad Tersembunyi
Pada Barang Yang Dijualnya. Keadaan yang cacad tersembunyi adalah suatu keadaan barang yang
mengakibatkan barang itu tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya pemakaian itu sedemikian rupa, sehingga jika si pembeli
semua tahu keadaan itu, ia tidak akan membeli barang itu atau membelinya dengan harga yang kurang dari harga yang telah dimufakati bersama.
254
253
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurisprudensi, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2012, hlm. 6-7.
254
Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi, Op. Cit, hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
127
Di dalam peristiwa hukum konkritnya, keadaan yang dimaksudkan dalam pengertian tersebut di atas pada umumnya adalah suatu keadaan pada bahan bakar
minyak yang telah tercampur air sebagai akibat dari proses pemuatan dan pengapalan, dan
untuk menghindari keadaan yang demikian tersebut, pihak penjual pada
umumnya akan melakukan “test kadar air” dengan menggunakan pasta stick pada saat bahan bakar minyak selesai dimuat ke atas kapal pengangkut maupun pada saat
barang akan diserah terimakan kepada pembeli. Biasanya jika memang terdapat campuran air pada muatan tersebut, pihak penjual akan melakukan pengurasan air
hingga seluruhnya terkuras habis dari dalam kompartemen kapal pengangkut. Sehingga saat bahan bakar minyak diserahterimakan kepada pihak pembeli, dapat
dipastikan bahwa kualitas minyak solar tersebut adalah sesuai dengan standard yang ditetapkan.
255
Selain karena kontaminasi air ketika proses pengiriman barang, dapat pula terjadi cacad-cacad tersembunyi tersebut muncul karena memang kualitas bahan
bakar minyak tersebut tidak memenuhi standard yang ditetapkan kandungan airnya terlampau tinggi. Karena bentuk dan sifat bahan bakar minyak yang bersifat cair
yang secara natural sulit untuk dipastikan mengenai spesifikasi dan kualitasnya, maka telah menjadi kebiasaan ketika proses serah terima akan dilakukan pembeli akan
melakukan uji sample terhadap bahan bakar minyak tersebut. Jika ternyata hasilnya
255
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 4 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
128
menyatakan bahan bakar minyak tidak sesuai dengan standard yang ditetapkan maka bahan bakar minyak tersebut akan ditolak oleh pihak pembeli.
256
Namun adakalanya, pihak pembeli tidak meminta dilakukan uji sample terhadap bahan bakar minyak yang akan diserahterimakan tersebut, dan terhadap
proses serah terima seperti inilah yang memiliki potensi timbulnya konflik. Jika misalnya terjadi complain terhadap kualitas bahan bakar minyak setelah perjanjian
jual beli ditutup, maka pihak penjual akan kesulitan untuk melepaskan kewajiban untuk menanggung cacad-cacad tersembunyi tersebut, meskipun dengan catatan
pihak pembeli dapat benar-benar membuktikan bahwa bahan bakar minyak yang cacad kualitas tersebut adalah barang yang sama dengan obyek jual beli yang
dimaksudkan.
257
ika merujuk pada ketentuan Pasal 1504, 1505 dan 1506 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, maka norma naturalia menyangkut tanggung jawab pihak penjual
terhadap cacad-cacad tersembunyi tersebut adalah sebagai berikut : a. Penjual berkewajiban untuk menanggung barang yang dijualnya terhadap
cacad-cacad tersembunyi bahkan untuk cacad-cacad yang pihak penjual pun tidak mengetahuinya.
256
Hasil wawancara dengan Ahmad Saebani, Direktur Utama PT. Cahaya Perdana Transsalam Anak Usaha PT. Putra Kelana Makmur Group, pada tanggal 5 Desember 2012.
257
Hasil wawancara dengan Ahmad Saebani, Direktur Utama PT. Cahaya Perdana Transsalam Anak Usaha PT. Putra Kelana Makmur Group, pada tanggal 5 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
129
b. Sebaliknya pihak penjual tidak wajib untuk menjamin barang yang dijualnya tersebut terhadap cacad-cacad yang nampak dan dapat diketahui oleh pihak
pembeli. c. Kewajiban untuk menanggung cacad-cacad tersembunyi tersebut akan gugur
apabila di dalam perjanjian jual beli disepakati bahwa pihak penjual tidak menanggung cacad-cacad tersembunyi tersebut.
Paparan tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa pihak penjual bertanggung jawab secara penuh terhadap kemungkinan peristiwa tercampurnya
bahan bakar minyak yang dijualnya tersebut dengan air, suatu tanggung jawab yang
dalam prakteknya memang dijalankan oleh pihak penjual. Sebagai misal jika pada proses pengurasan air kemudian mengakibatkan berkurangnya volume bahan
bakar minyak yang akan diserah terimakan, maka pada prakteknya pihak penjual akan memotong harga jual atas bahan bakar tersebut secara proporsional sebanding
dengan kekurangan jumlah bahan bakar minyak yang diperjanjikan.
258
Hal yang kurang lebih sama akan dilakukan oleh penjual saat bahan bakar minyak tersebut dinyatakan reject berdasarkan hasil uji sample. Pihak penjual akan
membatalkan proses serah terima barang, dan selanjutnya akan mengirimkan kembali bahan bakar minyak pengganti yang sesuai dengan kualitas dan spesifikasi yang telah
258
Hasil wawancara dengan Ahmad Saebani, Direktur Utama PT. Cahaya Perdana Transsalam Anak Usaha PT. Putra Kelana Makmur Group, pada tanggal 5 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
130
disepakati, dengan
tambahan kompensasi-kompensasi
tertentu kepada
pihak pembeli.
259
Paparan mengenai pelaksanaan pada peristiwa konkrit tersebut memberikan gambaran bahwa cacad tersembunyi pada bahan bakar minyak pada umumnya
memang diupayakan menjadi sesuatu hal yang harus diketahui oleh para pihak saat proses serah terima dijalankan. Sekaligus pertanggung jawaban atas persoalan
tersebut akan dituntaskan dengan sesegera mungkin oleh para pihak khususnya pihak penjual. Sehingga norma undang undang yang menyatakan bahwa, jika pihak penjual
tidak mengetahui mengenai cacad-cacad tersembunyi di dalam barang yang dijualnya maka pihak penjual berkewajiban untuk mengembalikan uang harga pembelian yang
telah diterimanya dan mengganti biaya-biaya untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan barang tersebut,
260
telah dijalankan meskipun sebagaian diwujudkan dalam bentuk yang berbeda.
Pada prinsipnya terhadap peristiwa konkrit di atas, dalam pembahasannya mengarahkan
pada satu
pandangan bahwa
pencantuman klausul
mengenai dibebaskannya
pihak penjual
terhadap kewajiban
menanggung cacad-cacad
tersembunyi pada barang yang dijual tidak lagi menjadi penting, karena keadaan cacad tersembunyi tersebut realitanya menjadi keadaan yang pasti diketahui oleh para
pihak.
259
Hasil wawancara dengan Ahmad Saebani, Direktur Utama PT. Cahaya Perdana Transsalam Anak Usaha PT. Putra Kelana Makmur Group, pada tanggal 5 Desember 2012.
260
Pasal 1509 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
131
Namun demikian khusus terhadap proses serah terima bahan bakar minyak yang dilakukan tanpa mempergunakan uji sample, ketentuan dalam Pasal 1506 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa penjual dapat meminta diperjanjikan bahwa ia tidak wajib menanggung cacad-cacad tersembunyi dari barang
yang dijualnya, tetap relevan dan penting untuk disebutkan dalam perjanjian. Mengingat keadaan cacad tersembunyi tersebut tidak dapat langsung diketahui,
sehingga dengan demikian selalu terdapat kemungkinan keadaan cacad tersembunyi yang ada diketahui setelah perjanjian telah tuntas ditutup.
Mengenai tuntutan pihak ketiga terhadap bahan bakar minyak yang cacad kualitas tersebut, hanya dapat dilakukan kepada pihak pembeli yang sebelumnya
melakukan perjanjian jual beli dengan pihak ketiga tersebut dengan obyeknya adalah bahan bakar minyak yang cacad kualitas tersebut. Artinya kerugian yang diderita oleh
pihak pembeli oleh karena tuntutan pihak ketiga tersebut dapat dianggap sebagai segala biaya, kerugian dan bunga yang dapat dimintakan penggantiannya kepada
pihak penjual.
G. Pertanggungjawaban Para Pihak dan Keadaan Overmacht.
Dari sudut pandang pemahaman kegagalan berprestasi, menilik definisinya, overmacht adalah salah satu keadaan dengan mana debitur dapat mempergunakannya
sebagai alasan yang memiliki kekuatan hukum untuk dapat melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap tidak terpenuhinya prestasi-prestasi tertentu, selain
tangkisan-tangkisan lain yang juga dapat dipergunakan seperti rechtsverwerking dan exceptio non adimpleti contractus.
Universitas Sumatera Utara
132
1. Tentang Pemahaman