Kausa Terlarang Menurut Kesusilaan dan Ketertiban Umum

83 dilakukan oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Herlien Budiono yang menyatakan : “Jika maksud tujuan yang dilarang tidak merupakan maksud tujuan bersama dari para pihak atau jika hanya salah satu pihak yang mempunyai maksud tujuan yang dilarang, perjanjian tersebut dianggap mempunyai kausa yang halal”. 177 Perjanjian tersebut baru memiliki kausa yang terlarang jika di dalamnya mempunyai tujuan untuk memasarkan bahan bakar minyak ke perusahaan-perusahaan tertentu melalui perusahaan pelayaran tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ditambahkan mengenai kesepakatan kerja sama untuk memasarkan bahan bakar minyak tersebut perusahaan-perusahaan pelayaran lainnya berikut pembagian keuntungannya. Ketika kedua belah pihak menyepakati hal terakhir ini maka dengan demikian telah tercapai apa yang dimaksudkan sebagai kausa terlarang yang merupakan tujuan bersama para pihak, dan atas perjanjian yang demikian ini akan dapat dinyatakan batal demi hukum.

3. Kausa Terlarang Menurut Kesusilaan dan Ketertiban Umum

Memahami kesusilaan sebagai pedoman bagi halalnya sebuah kausa selalu menemui kesulitan, karena kesusilaan memiliki makna abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda di masing-masing daerah, dan di samping itu penilaian orang mengenai kesusilaan sangatlah dinamis yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. 178 Bahkan Hoge Raad sendiri pernah berubah-ubah pendiriannya ketika menafsirkan “kesusilaan” terkait pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut di dalam persoalan opzet contract atau kopgeldcontract. 179 177 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 117. 178 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 340 179 Ibid, hlm. 344 Universitas Sumatera Utara 84 Oleh karenanya cukup tepat bila penentuan ada atau tidak adanya kesusilaan yang baik dari suatu perjanjian adalah diserahkan kepada hakim yang dalam keadaan yang bagaimanapun juga untuk tiap kasus harus mencari pandangan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan, 180 dan jika berpatokan pada pengertian kesusilaan sebagai norma-norma yang tidak tertulis, 181 maka cukuplah dapat dinyatakan bahwa sepanjang suatu perjanjian dibuat dengan konsisten terhadap kepatuhan pada norma-norma hukum yang khusus maupun yang bersifat umum, maka perjanjian tersebut telah memiliki apa yang disebut sebagai kausa yang halal. Untuk berikutnya, suatu perjanjian yang memiliki kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah jika substansi dan maksud tujuan ditutupnya perjanjian adalah bertentangan dengan azas-azas pokok dari tatanan masyarakat, 182 yang pada umumnya berkaitan dengan masalah kepentingan umum, seperti keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan lain-lain hal yang menyangkut masalah ketatanegaraan. 183 Mencermati uraian tersebut di atas, serta setelah mengkaji mengenai obyek dan tujuan bersama para pihak dalam perjanjian, maka dapat diyakini bahwa perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut telah memenuhi salah satu syarat keabsahan perjanjian yakni memiliki kausa yang tidak bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. 180 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 120-121. 181 Ibid, hlm. 119. 182 Ibid, hlm. 120-121. 183 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 85

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK TERHADAP KEGAGALAN

PEMENUHAN KEWAJIBAN SECARA KONTRAKTUAL. A. Dasar Keterikatan Kontraktual Pada Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak. Pada perjanjian jual beli bahan bakar minyak yang telah memiliki keabsahan, di dalamnya terdapat dasar keterikatan kontraktual yang lahir dari kesepakatan para pihak sebagaimana yang telah menjadi pemberlakuan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Namun demikian dasar keterikatannya tidak dengan serta merta lahir oleh berlakunya pasal tersebut di atas, janji yang menjadi kesepakatan itulah yang menjadi penekanannya. Memang benar undang undang menentukan apa yang diperjanjikan menjadi berlaku sebagai undang undang bagi yang membuatnya, akan tetapi dalam suatu perjanjian yang paling penting adalah isi dari perjanjian tersebut – yang pada prosesnya ditentukan oleh para pihak – sehingga dengan demikian keterikatan kontraktual yang muncul adalah sebagai akibat dari disepakatinya isi perjanjian tersebut. 184 Selain dari hal tersebut di atas, secara lebih mendasar terdapat pendapat yang menyatakan bahwa landasan kekuatan mengikat kontraktual terdiri dari beberapa pilihan dasar pembenar berikut ini : 185 Menurut ajaran kehendak wilsleer dasar pembenaran dari kekuatan mengikat kontraktual adalah kehendak dari individu. Berbeda dari itu, menurut ajaran pernyataan verklaringsleer adalah pada pernyataan yang harus selaras 184 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Op Cit. hlm. 145-146 185 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit, hlm. 147-148. 85 Universitas Sumatera Utara 86 berjumpa dengan kehendak dan selanjutnya menurut ajaran kepercayaan vertrouwensleer kekuatan mengikat dilandaskan pada kepercayaan yang dimunculkan. Terhadap ketiga ajaran tersebut di atas pada intinya saling bertaut dan menyempurnakan, dalam arti pada ajaran pernyataan dan kepercayaan di dalamnya juga terkandung kehendak dari para pihak, oleh karenanya di dalam praktek lebih cenderung digunakan azas yang namanya de dubbele grondslag. Asas tersebut di atas secara prinsip menyatakan bahwa untuk menentukan kehendak yang muncul secara murni sebagai penawaran ataupun penerimaan yang pada akhirnya menjadi landasan keterikatan kontraktual para pihak, bukan dengan mempersoalkan antara kehendak dan pernyataannya, namun lebih mempertautkan antara kehendak yang dinyatakan dengan kepercayaan terhadap kehendak tersebut, sehingga dengan demikian terhadap hal tersebut lebih menegaskan bahwa kehendak yang dinyatakan secara terbuka dan kepercayaan yang dibangkitkan saling berhubungan dalam suatu hubungan subsidair. 186 Untuk itu yang terpenting sebenarnya adalah mengenai kehendak para pihak yang mendapatkan suatu reaksi berupa kepercayaan terhadapnya, dengan kata lain yang pokok disini adalah bukan kehendak pihak yang menyatakannya, dan bukan pula pernyataan kehendaknya, akan tetapi keyakinan yang ditimbulkan atas gambaran yang muncul pada pihak lain menurut ukuran kebiasaan yang berlaku, yakni tentang apa yang dikehendaki oleh lawan janjinya. 187 186 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 162 187 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 166-167 Universitas Sumatera Utara 87 Terkait dengan norma-norma dalam perjanjian, secara substansial dapat dijelaskan pula bahwa daya mengikat suatu perjanjian sebetulnya tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan ataupun undang-undang, yakni sebagaimana yang telah menjadi ketentuan di dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 188 Artinya jika kemudian perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak tersebut dituntut untuk mampu menunjukkan keterikatan kontraktual yang lebih kompleks, yakni keterikatan yang bukan hanya sekedar “menyerahkan barang dengan menerima imbalan sebagai harga barang tersebut”, maka sebenarnya oleh sifat perjanjiannya keberadaan keterikatan kontraktual tersebut dapat diargumentasikan lebih mendalam dengan melalui kepatutan, kebiasaan yang berlaku, dan undang-undang yang terkait.

B. Norma Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak

Merujuk kepada peristiwa hukum konkritnya, pada saat perjanjian jual beli disepakati oleh para pihak yang terkait, norma-norma dalam perjanjian tentang jual beli tersebut di atas dipergunakan sebagai sandaran dalam menunaikan hak dan kewajiban para pihak. Selain dasar keterikatan kontraktual tersebut di atas, maka pokok-pokok norma dalam perjanjian berikut dapat mulai diposisikan sebagai 188 Ibid, hlm. 128-129. Universitas Sumatera Utara 88 parameter dalam mengukur ada atau tidak adanya alas hak untuk menuntut suatu prestasi, termasuk parameter yang berupa norma-norma hukum yang memiliki keterkaitan dengan perjanjian tersebut.

1. Tentang Perbuatan Hukum Jual Beli Bahan Bakar Minyak.