16
Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain
kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar
mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan Sparringa dan Rahayu, 2011a.
3.6 Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan
Menurut Sparringa dan Rahayu 2011b, ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan.
2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan
di provinsi. 3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya
mikrobiologi. 4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau
bahan berbahaya penyebab keracunan pangan. 5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat
metode sampling yang benar. 6. Dana untuk investigasi kurang memadai.
7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan.
8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya. Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi
KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure SOP atau prosedur tetap protap yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya
pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan.
3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan
Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.00.SJ.SE.D.0147 pada tanggal 29
Januari 1999 tentang “Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan”. Surat edaran ini berisi penjelasan singkat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para petugas
terkait puskesmas, dinas kesehatan, kantor wilayah, bupati, dan lai-lain dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, terdapat skema atau diagram yang menjelaskan mekanisme penanganan
KLB keracunan pangan sesuai hierarki kelembagaan atau instansi. Surat edaran ini tidak merinci hal- hal teknis atau prosedur yang seharusnya ada dalam sebuah prosedur tetap. Selain itu, surat edaran
tersebut tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan penanganan KLB keracunan pangan, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan bagi para petugas terkait, seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan
lain-lain. Akan tetapi, pada tahun 2009, BPOM RI telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM RI RI Nomor: HK.00.06.1.54.2797 tentang
“Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian
17
Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan” dan di dalam peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya.
Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan cara-cara epidemiologi untuk mengetahui
penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi tempat, orang, dan waktu Imari, 2002. Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan
pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan
pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktor-faktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan
pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi Sharp dan Reilly, 2000. Menurut Sparringa dan Rahayu 2011a, secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan
bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus,
kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban.
2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi. 3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB.
4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit.
6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang. Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan
sembilan langkah yaitu: 1. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan.
2. Menetapkan formulasi hipotesis awal. 3. Merencanakan investigasi.
4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data.
6. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi. 7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan.
8. Menghitung dampak ekonomi. 9. Membuat laporan.
Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis
pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus
positif yang memiliki konsentrasi ≥ 10
5
per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereus
positif dan memiliki konsentrasi ≥ 10
6
per gram pangan disertai gejala pertama mual muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi
hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar Sparringa dan Rahayu, 2011a.
Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang tuntas mengenai KLB keracunan pangan adalah epidemiologi study yang meliputi pengamatan
atau kajian observasi yang dapat dilakukan dengan kajian deskriptif dan kajian analisis. Dalam kajian deskriptif, faktor yang diamati adalah waktu, tempat, dan korban kasus kejadian. Sedangkan untuk
kajian analisis dilakukan berdasarkan cohort atau case-control studies Sparringa dan Rahayu, 2011a.
18
Menurut Arnold dan Munce 2000 diacu dalam Krisnovitha 2004, epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktor-faktor yang
berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang jenis kelamin, umur, dll.. Tujuan
utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit
yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan Imari, 2002.
Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti Sparringa, 2002.
Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan Rahayu, 2011.
Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktor-faktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah
pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan Sparringa, 2002.
Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: 1 menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, 2 memantau
kecenderungannya, 3 mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, 4 menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu,
5 mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, 6 mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan 7 memberikan informasi untuk menyusun formulasi
kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan BPOM, 2001. Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan
untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi
penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan Rahayu dan Sparringa, 2011.
Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu
kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce
2000 diacu dalam Krisnovitha 2004, keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua
pihak yang terlibat.
3.8 Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan