yang relatif kecil sedangkan mar adalah lahan yang letaknya minimal 1 km dari tempat tinggal dan penggarapannya adalah 2-3 tahun sekali. Hal ini dimaksudkan
untuk pemulihan kembali lahan seperti semula atau hatak yang mengandung humus yang tinggi yang baik untuk pertumbuhan tanaman nantinya.
Gambar 22 Kolun dan mar
Pengolahan lahan untuk bertani pun tidaklah sekedar menanam bibit, memelihara dan memanen hasil tetapi lebih jauh terkait nilai-nilai kultural religius
atau kepercayaannya. Dalam pembukaan lahan dilangsungkan ritual yang dmaksudkan sebagai pemberitahuan kepada leluhur dan perwujudan simbolisme
pendinginan dan tanah dan proses penyuburannya. Dalam kaitannya dengan pemaknaan tersebut, kepercayaan terhadap keberhasilan dari pertanaman dan
pertumbuhan tergantung dari tingkat kesucian. Kesucian akan terwujud jika semua kegiatan dilakukan atas dasar ketaatan terhadap tata cara atau adatnya. Menurut
kepercayaan mereka, konsep pensucian dapat dilakukan dengan darah, api dan air. Darah selain sebagai pensuci juga bermakna pada kesuburan, sedangkan air sebagai
pendingin dan api memiliki karakter panas. Oleh karena itu ada suatu kewajiban pada awal kegiatan bertani harus didahului dengan upacara korban untuk mendapatkan
darah, dan biasanya yang mereka lakukan adalah menyembelih hewan piaraan seperti ayam atau babi. Darah hewan inilah yang digunakan sebagai prasyarat dalam
pensucian bibit. Selanjutnya penggunaan api dalam proses penyiapan lahan akan mengakibatkan tanah menjadi panas sehingga disucikan dan didinginkan dengan air.
Upacara-upacara dan pemaknaan kultural ini pada dasarnya merupakan perwujudan atas rasa kekhawatirannya terhadap ketidakpastian iklim serta besarnya resiko
kegagalan terhadap usaha taninya.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Masyarakat suku Bunaq memiliki hubungan yang erat antara budaya dengan alam lingkungannya dalam hal mengenali dan menggolongkan manfaat tumbuhan di
sekitarnya, yakni sebanyak 257 spesies dari 71 famili kedalam 12 kelompok kegunaan yang meliputi pangan 41 spesies, pakan ternak 43 spesies, obat 69 spesies,
bangunan 33 spesies, kayu bakar 10 spesies, tali, anyaman dan kerajinan 20 spesies, racun 7 spesies, aromatik 18 spesies, pewarna dan tannin 6 spesies, hias 21 spesies,
adat 6 spesies dan kegunaan lain sebanyak 7 spesies. Kecenderungan memanfaatkan tumbuhan tidak hanya terbatas pada
keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan budaya spiritual yang juga diutamakan guna menjaga keseimbangan dengan sumber-sumber daya alam yang ada
di lingkungannya serta dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi masyarakat Bunaq merupakan bukti kearifan yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah
satu kebudayaan Indonesia dan sebagai acuan pengungkapan kebhinekaan suku-suku dalam mengenali dan memanfaatkan sumberdaya lingkungannya sehingga menjadi
dasar pengetahuan yang kokoh dalam membangun sumber daya manusianya.
6.2 Saran 1. Perlu dikembangkan keanekaragaman spesies unggulan lokal yang ada pada
masyarakat Bunaq sesuai kegunaannya, seperti pangan, tumbuhan obat, tali, anyamankerajinan dan lainnya yang berguna bagi peningkatan kemandirian
kesejahteraan masyarakat sehingga menjadi keunggulan dan keunikan dari masyarakat Suku Bunaq.
2. Sangat berpotensi untuk dikembangkannya ekowisata budaya untuk masyarakat sehingga nantinya dapat meningkatkan martabat dan kesejahteraan masyarakat
lokal yang dikelola dan dikembangkan dengan berbasis kearifan lokal serta didukung oleh IPTEK yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, U. R. 2007. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sangkubak [Pycnarrhena cauliflora Miers. Diels.] di Kabupaten Sintang Kalimantan
Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Anonim. 2006. Family Fabaceae. httpwww.freewebsarl_ipb_2006. [7 November 2009].
Arafah, D. 2005. Studi Potensi Tumbuhan Berguna di Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas kehutanan IPB. Bogor Tidak diterbitkan. Cotton, C.M. 1997. Ethnobotany Principles and Application. John Wiley and Sons
Ltd, New York. Dalimartha, Setiawan.2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta : Puspa
Swara. Darnaedi,S.Y. 1998. Sentuhan Etnosains dalam Etnobotani : Kebijakan Masyarakat
Lokal dalam mengelola dan Memanfaatkan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani III.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Departemen Pertanian RI, LIPI. Perpustakaan Nasional RI. Bogor. Hal : 53-55. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Departemen Pertanian RI, LIPI.
Perpustakaan Nasional
RI. Bogor. Hal : 328-334. Friedberg, Claudine. 1990. Le savoir botanique des Bunaq percevoir et classer dans le
Hatu Lamaknen Timor, Indonesie. Paris. Editions Du Museum. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV Terjemahan : de Nuttige
Planten van Indonesie . Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta. Isdijoso, S.H. 1992. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Sandang, Tali Temali, dan
Anyam-Anyaman. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Kartikawati, S. M. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan oleh Masyarakat
Dayak Meratus di Kawasan Hutan Pengunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai tengah. Tesis pada sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak
diterbitkan.
Kartiwa, S. dan Wahyono. 1992. Hubungan Antara Tumbuhan dan Manusia dalam Upacara Adat di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional