Strategi Nafkah dan Akses Sumberdaya Alam

Rumahtangga Bapak AD 62 tahun. Sebelum adanya perluasan TNGHS Bapak AD memiliki pekerjaan sambilan menyadap aren. Sesudah adanya perluasan TNGHS, beliau tetap konsisten dengan kegiatan menyadap aren dan sekarang beliau juga memanfaatkan tenaga orang lain untuk membantu kegiatan pertanian di lahan garapannya. b. Rekayasa sumber nafkah pertanian dan Migrasi Rumahtangga Bapak HR 35 tahun. Bapak HR merupakan rumahtangga yang memanfaatkan tenaga kerja lain untuk menggarap lahan pertaniannya. Selain menjadi petani, pekerjaan beliau adalah menjadi pedagang konveksi di Jakarta. Beliau pergi ke Jakarta secara berkala setiap 3 bulan sekali. Pekerjaan menjadi pedagang ini sudah beliau jalankan selama lebih dari 10 tahun. c. Pola Nafkah Ganda dan Migrasi Rumahtangga bapak UD 26 tahun . Sesudah perluasan TNGHS, rumahtangga Bapak UD melakukan bentuk pola nafkah ganda dan migrasi. Bapak UD memiliki pekerjaan menyadap aren dan kadang juga menjadi tukang ojek. Menyadap aren merupakan aktivitas yang banyak ditemukan di rumahtangga masyarakat Kampung Cimapag. Untuk kegiatan migrasi, biasanya beliau bersama dengan tetangganya bersama-sama menjadi penambang emas di Cibanteng, Lebak, Banten yang dilakukan sekitar seminggu sekali. Aktivitas menambang emas yang dilakukan oleh Bapak UD sifatnya adalah legal karena ada ijin dari Dinas Kehutanan yang terkait. Selain itu, beliau juga menjadi buruh bangunan apabila ada proyek. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan biasanya pada bulan Maret-April. d. Ketiga Bentuk Strategi Nafkah Rumahtangga Bapak DN 45 tahun . Bapak DN dalam menggarap lahannya memanfaatkan tenaga orang lain, karena lahan garapan beliau cukup luas. Selain menjadi petani, beliau juga memiliki pekerjaan berdagang ikan di Kampung Cimapag. Ketika menunggu musim panen, beliau bekerja menjadi buruh bangunan di Banten apabila memang ada proyek.

6.5 Strategi Nafkah dan Akses Sumberdaya Alam

Bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga masyarakat kasepuhan pada umumnya sebagai tambahan penghasilan selain sektor pertanian. Bentuk-bentuk strategi nafkah khususnya pola nafkah ganda dan migrasi dilakukan pada kondisi tertentu serta tergantung dengan peluang yang ada. Apabila dikaitkan dengan adanya perluasan kawasan TNGHS yang membatasi akses masyarakat kasepuhan, pada dasarnya masyarakat sudah sejak lama bertumpu pada sektor pertanian. Meskipun akses dan kontrol yang terbatas, masyarakat kasepuhan masih sangat konsisten dengan kegiatan pertanian. Logikanya, ketika akses sumberdaya alam sebagai sumber nafkah utama terbatas, maka terjadi ketidakpastian nafkah atau ada rasa ketidakamanan dalam mencari nafkah. Hal tersebut bisa menyebabkan rumahtangga beralih dari mata pencaharian sebelumnya dan mencari mata pencaharian lain. Namun, hal ini justru berbeda dengan masyarakat kasepuhan yang mana dari sebelum adanya perluasan TNGHS sampai dengan sesudah adanya perluasan TNGHS masyarakat masih konsisten dengan kegiatan pertanian dan bentuk- bentuk strategi nafkah yang dilakukan tidak menunjukkan perubahan. Hal ini membuktikan bahwa perubahan akses sumberdaya alam yang terbatas tidak mendorong masyarakat untuk beralih dari sektor pertanian. Meskipun, secara fakta di lapangan, baik sebelum maupun sesudah perluasan TNGHS masyarakat memiliki aktivitas nafkah di luar pertanian seperti menjadi buruh tani, menyadap aren, buruh bangunan, penambang emas, dan lain sebagainya tetapi aktivitas tersebut hanya dilakukan sebagai nafkah tambahan. Salah satu warga Kampung Cimapag yaitu Bapak SP 47 tahun mengungkapkan bahwa : “sebelum ada taman nasional, masyarakat sini dari dulu banyak yang punya pekerjaan sampingan neng. Pekerjaan sampingan cuma untuk tambahan penghasilan. Jadi mau itu taman nasional diperluas atau nggak, kami tetap akan terus dengan kegiatan pertanian. Kalau sampai kami beralih dari pertanian, bagaimana dengan anak cucu kami? Siapa yang akan meneruskan kegiatan pertanian yang sudah jadi tradisi leluhur kami?” Bapak UD 26 tahun salah satu warga Kampung Cimapag juga mengungkapkan bahwa : “Sekecil-kecilnya lahan garapan yang dimiliki, masyarakat kasepuhan tetap konsisten dengan pertanian. Pekerjaan sambilan banyak dilakukan warga sini, tapi itu bukan jadi penghasilan utama. Kalaupun sekarang sesudah perluasan, dari TNGHS ada aturan-aturan yang membatasi kami menggarap lahan, kami mah tetap mengikuti aturan adat yang berlaku. Untuk beralih dari pertanian, rasanya tidak mungkin, karena kalau nggak dari pertanian, masyarakat disini nggak bisa hidup. Pertanian kan juga warisan leluhur, kami sebagai penerus wajib untuk melanjutkan tradisi ini.“ Tidak adanya perubahan strategi nafkah dikarenakan masyarakat kasepuhan tetap memegang teguh tradisi leluhur yaitu sistem pertanian yang mereka jalani dari dahulu sampai sekarang. Pertanian bagi masyarakat kasepuhan sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sesuai dengan filosofi masyarakat kasepuhan yaitu “Ibu Bumi, Bapak Langit, Guru Mangsa” yang mana dalam kehidupannya, masyarakat harus menjaga keutuhan bumi beserta segala isinya sehingga keseimbangan alam pun tetap terjaga. Sistem pertanian ini tidak sekedar kegiatan pertanian yang secara umum menuju pada produktivitas, namun sistem pertanian di masyarakat kasepuhan sudah mengikat pada kehidupan masyarakat dan lebih berorientasi pada suatu interaksi yang kuat antar masyarakat dengan Tuhan, masyarakat dengan masyarakat serta masyarakat dengan alam dengan aturan adat yang sudah melekat di setiap sendi kehidupan masyarakat.

6.6 Ikhtisar