Aturan-aturan Adat Kasepuhan Sinar Resmi

tahun, dahulu letak SMP sangat jauh karena dulu tidak ada gedung SMP di wilayah tersebut. Namun, saat ini akses masyarakat untuk meneruskan pendidikan di tingkat SMP sudah mudah meskipun sampai saat ini belum terdapat SMA. Dalam menerima pengaruh dari luar, masyarakat kasepuhan cukup terbuka asalkan pengaruh tersebut tidak bertentangan dengan aturan adat yang berlaku dan sesuai dengan ijin Abah. Masyarakat kasepuhan saat ini sudah mengenal teknologi seperti handphone dan televisi. Sehingga masyarakat mudah mendapatkan informasi. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat kasepuhan sehari-hari adalah bahasa Sunda. Namun, rata-rata masyarakat kasepuhan bisa berbahasa Indonesia khususnya masyarakat kasepuhan yang berusia muda. Pemukiman masyarakat kasepuhan terlihat padat dan mengumpul, dimana antara rumah yang satu dengan rumah yang lain jaraknya saling berdekatan. Atap rumah masyarakat terbuat dari daun rumbia dengan bangunan sebagian besar adalah kayu dan bambu. Tiap rumahtangga masyarakat kasepuhan, memiliki leuit yaitu lumbung padi yang biasanya berdekatan dengan rumah mereka. Tiap rumah, juga memiliki tungku api hawu dengan bahan bakar kayu yang digunakan untuk memasak nasi.

4.2.3 Aturan-aturan Adat Kasepuhan Sinar Resmi

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi tidak pernah terlepas dari filosofi-filosofi hidup yang sudah menjadi satu jiwa pada diri masyarakat kasepuhan sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, basis dari hukum adat kasepuhan adalah filosofi hidup, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh ”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”. Tata nilai ini mengandung pengertian bahwa hidup hanya dapat berlangsung dengan baik dan tenteram bila dipenuhi tiga syarat, yaitu 1 tekad, ucap dan lampah, niat atau pemikiran, ucapan dan tindakan harus selaras dan dapat dipertanggung jawabkan kepada incu-putu keturunan warga kasepuhan dan sesepuh para orang tua dan nenek moyang; 2 jiwa, raga dan perilaku, harus selaras dan berahlak; dan 3 kepercayaan adat sara, nagara , dan mokaha harus selaras, harmonis dan tidak bertentangan satu dengan lainnya. Kehidupan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi tidak terlepas dari adanya berbagai aturan adat yang menyertainya. Misalnya, apabila ada masyarakat yang ingin membangun rumah, harus meminta ijin kepada Abah terlebih dahulu. Arsitektur rumah masyarakat kasepuhan juga memiliki aturan tersendiri yaitu : 1. Rumah penduduk merupakan rumah panggung dengan tujuan untuk menghindari dingin. Rumah panggung juga dipercaya oleh masyarakat bahwa mereka sudah melaksanakan prinsip tilu sapanulu, yang mana siku penyangga ruman berbentuk segitiga. 2. Waktu untuk pemilihan kayu yang dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang baik hal ini dikarenakan pada tanggal 1 Bulan Safar sampai 15 Bulan Maulid merupakan waktu yang dilarang untuk mengambil kayu. 3. Menghitung permukaan pintu keluar dan pintu masuk didasarkan pada hari lahir. 4. Atap rumah masyarakat kasepuhan berbentuk bulat dan segitiga yang terbuat dari ijuk. Arti dari segitiga merupakan kesatuan dari agama, negara, dan adat yang harus sejalan, sedangkan bulat merupakan tanda bahwa manusia itu berasal dari lubang tanah dan akan kembali ke dalam lubang tanah. Atap rumah yang terbuat dari rumbia dan ditambah ijuk di atasnya tidak menunjukkan bahwa pemilik rumah merupakan seseorang yang derajatnya lebih tinggi atau rendah, tetapi lebih pada kemampuan pemilik rumah dalam membangun rumahnya. 5. Dalam aturan adat dinding rumah terbuat dari bilik bambu. Hal ini bertujuan, apabila ingin pindah rumah, masyarakat tidak perlu membangun rumah kembali. Selain itu, melihat sejarah masyarakat kasepuhan yang hidupnya juga berpindah-pindah. Selain aturan dalam membangun rumah, masyarakat kasepuhan juga memiliki tata cara berpakaian sendiri, khususnya ketika ada kegiatan-kegiatan adat. Untuk laki-laki biasanya memakai baju koko dan ikat kepala yang terbuat dari kain batik. Sedangkan untuk perempuan biasanya memakai baju kebaya dan kain sarung. Semua aturan adat harus dijalankan oleh masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa bila ada pelanggaran dari aturan adat ini maka akan terjadi sesuatu yang buruk atau disebut dengan kabendon. Kabendon bisa seperti penyakit yang susah disembuhkan secara medis atau bisa saja tersesat di hutan. Seseorang bisa lepas dari kabendon apabila ingat akan kesalahannya dan minta maaf kepada Abah selaku ketua adat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

4.2.4 Struktur Kelembagaan