Scoones dalam Ependi 2004 membagi strategi nafkah petani ke dalam tiga golongan besar, yaitu :
1. Rekayasa sumber nafkah pertanian, merupakan usaha pemanfaatan sektor
pertanian agar lebih efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi intensifikasi maupun
memperluas lahan garapan pertanian ekstensifikasi. 2.
Pola nafkah ganda, merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan lain selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan
diversifikasi pekerjaan. 3.
Rekayasa spasial, merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi atau perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkuler
migrasi. Menurut Sconnes dalam Masithoh 2005, dalam melakukan strategi
nafkah, rumahtangga petani bisa menerapkan salah satu kegiatan atau melakukan kombinasi dari ketiga bentuk strategi nafkah untuk memperoleh strategi yang
paling efektif agar bisa bertahan hidup baik saat krisis maupun saat kondisi normal.
2.1.5 Pengelolaan Kolaboratif
Isu-isu mengenai konflik sumberdaya alam semakin hari semakin berkembang. Konflik ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang berkepentingan
seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam meminimalisir konflik diperlukan solusi yaitu melalui
kolaboratif. Kolaboratif diartikan oleh Cifor sebagai bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembag atau pihak-pihak
yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat
5
. Nilai-nilai yang mendasari sebuah kolaborasi adalah tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat,
kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat. Pengelolaan kolaboratif menurut Tadjudin yaitu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap
bekerjasama cooperative dan assertive yang tinggi dengan tujuan mencapai
5
Diakses dari www.ecopedia.wordpress.com20060112pengelolaan-kolaboratif-collaborative- management pada tanggal 20 September 2010
sebuah “win-win solution”, dimana beberapa atau semua pihak pada sebuah kawasan hutan konservasi terlibat dalam aktivitas pengelolaannya
6
. Pendekatan kolaboratif menurut Straus dalam Suporahardjo 2005 dikenal sebagai salah satu
pendekatan yang bukan bersifat permusuhan untuk penyelesaian problem dan penyelesaian konflik. Menurut Bingham dalam Suporahardjo 2005 strategi
kolaboratif dalam isu-isu lingkungan diidentifikasi oleh Bingham dalam enam kategori luas yang mana jalan keluar secara kolaboratif untuk sengketa telah
diupayakan yaitu : land use tata guna lahan, natural resource management land public use
pengelolaan sumberdaya alam dan tata guna lahan public, water resource
sumberdaya air, energy energi, air quality kualitas udara dan toxics racun.
Sedangkan menurut Borrini-Feyebend dalam Suroprahardjo 2005 istilah pengelolaan kolaboratif dari kawasan lindung merujuk pada satu kemitraan
dimana berbagai stakeholder menyetujui untuk berbagi diantara mereka mengenai fungsi, hak, dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan atau
sekumpulan sumberdaya dengan status dilindungi. Pendekatan ini secara umum dikenal dengan co-management. Menurut IUCN 1996 dalam Indra dan Sabarudi
2009 pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah, dan
kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah
spesifik atau sumberdaya alam. Pengelolaan kolaboratif juga telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 yaitu pelaksanaan suatu
kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara lebih jelasnya, beberapa hal yang seringkali disentuh dalam sebuah konsep pengelolaan kolaboratif menurut Tadjudin yaitu
7
: 1.
Batas dan teritori sebuah kawasan hutan.
6
Diakses dari www.kolaboratif.orgcomponentoption,com_pengelolaan pada tanggal 20 September 2010
7
Ibid, hlm 14
2. Batasan fungsi dan keberlanjutan penggunaan.
3. Identifikasi para pihak yang terlibat.
4. Fungsi dan tanggungjawab para pihak sebagaimana yang diasumsikan oleh
masing-masing pihak. 5.
Keuntungan dan hak yang diperoleh oleh masing-masing pihak. 6.
Kesepakatan terhadap prioritas dan rencana pengelolaan kawasan. 7.
Prosedur untuk menghadapi konflik dan melakukan negosiasi yang menghasilkan keputusan bersama mengenai hal tersebut diatas.
8. Prosedur untuk mendorong implementasi keputusan tersebut.
9. Memperjelas aturan untuk monitoring, evaluasi dan peninjauan
kesepakatan kerjasama dan rencana pengelolaan jika dibutuhkan.
2.2 Kerangka Pemikiran