Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Nyambut merupakan pertanda dimulainya masa untuk membajak sawah dan mempersiapkan lahan untuk ditanami padi kembali. 8. Seren Taun, upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen pada tahun tersebut dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai dengan musyawarah terlebih dahulu dengan melibatkan seluruh incu putu pengikut untuk menentukan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Setelah musyawarah selesai, dilakukan serah ponggokan. Para kokolot lembur kepala kampungdusun dan kepala ranggeyan berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun yang diserahkan kepada Abah. Setelah serah ponggokan, Abah melakukan ziarah ke karamat astana leluhurnya mulai dari Abah Udjat, makam Abah Ardjo, Uyut Rusdi, Uyut Jasiun, makam yang di Tegal Lumbu, makam yang di Pasir Talaga, Makam yang di Lebak Binong, Makam yang di Lebak Larang, hingga makam leluhurnya di Cipatat, Bogor.

4.3 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah 100-1000 m dpl yang didominasi oleh Zona Colin 500- 1000 m dpl, hutan hujan pegunungan bawah 1000-1500 m dpl, dan hutan hujan pegunungan tengah 1500-1929 m dpl. Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat Jabar . Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan PHPA Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam. Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi 40.000 ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan hutan primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992 tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun TNGH di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP. Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsi menjadi hutan konservasi. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175Kpts-II2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Berikut riwayat pendirian dan penetapan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak : Tabel 5. Riwayat Pendirian dan Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode Tahun Keterangan 1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941 ha 1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia Djawatan Kehutanan Jawa Barat 1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat 1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III 2003 Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357 ha merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya Sumber : Taman Nasional Gunung Halimun Salak 2007 Secara geografis TNGHS terletak pada 106 12’58’’ BT-106 45’50’’BT dan 06 32’14’’LS-06 55’12’’ LS. Secara administratif wilayah TNGHS termasuk dalam tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Hasil survei GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 menyebutkan bahwa di dalam kawasan terdapat 314 kampung dan 29 kampung lainnya berada di sekitar perbatasan kawasan Supriyanto dan Ekariyono, 2007. Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Selain keberadaan masyarakat, wilayah TNGHS juga beroperasi perusahaan pertambangan, perkebunan, industri makanan minuman, dan lain sebagainya. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.51990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS pun memiliki aturan zonasi yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026 : 1. Zona Inti dan Zona Rimba Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan. 3. Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona Khusus Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS. 5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makan di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. 6. Zona Lainnya Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak. Pada dasarnya penetapan zonasi oleh TNGHS juga dilakukan oleh masyarakat kasepuhan, yang mana masyarakat kasepuhan juga memiliki zonasi adat dalam kawasan TNGHS. Zonasi adat ini adalah : 1. Leuweung Kolot Leuweung Tutupan, wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Wilayah ini dipercaya dijaga oleh roh-roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan kabendon. 2. Leuweung Titipan, suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur kasepuhan kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk kabendon. Pemerintah juga harus ikut serta menjaga kelestarian kawasan ini sampai tiba waktunya kawasan ini dibuka atas seijin leluhur. 3. Leuweung Sampalan, kawasan hutan yang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat untuk huma, sawah, dan kebun. Kawasan TNGHS terbagi habis dalam wilayah administratif pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang mana pada tingkat ini secara de jure kawasan TNGHS mestinya bebas dari pemukiman penduduk. Keberadaan masyarakat sendiri di TNGHS diatur oleh regulasi pemerintah daerah. Masyarakat di dalam kawasan memperoleh pengakuan legal berupa KTP sedangkan masyarakat kasepuhan memiliki hak yang berdasarkan adat, namun secara hukum keberadaan masyarakat adat belum diakui 9 . Kondisi ini menggambarkan terjadinya perbedaan pandangan antara pihak TNGHS dan masyarakat khususnya masyarakat adat. Masyarakat kasepuhan sudah sejak dahulu sebelum jaman pra kemerdekaan menetap di kawasan TNGHS dengan pengelolaan sumberdaya alam yang diturunkan oleh para pendahulunya dan segala aturan adat yang sampai saat ini masih diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Keberadaan masyarakat kasepuhan bisa menjadi hambatan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya alam oleh TNGHS, apalagi pola hidup masyarakat kasepuhan yang berpindah-pindah yang mengikuti “wangsit” yang diterima oleh ketua adat Adimiharja dalam TNGHS 2007. Bahkan ada dua kasepuhan yakni Ciptagelar dan Citorek yang memiliki lahan cadangan di kawasan TNGHS yang mana pada suatu saat mereka akan pindah ke lahan cadangan tersebut. Hal tersebut memang merupakan sebuah permasalahan yang harus segera ditemukan 9 Dikutip dari Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026 penyelesaiannya. Data menunjukkan bahwa rendahnya ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar TNGHS dapat menyebabkan degradasi ekosistem hutan. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat bergantung hidupnya pada kawasan TNGHS sedangkan TNGHS pun harus merealisasikan visinya yakni untuk konservasi alam.

4.4 Ikhtisar