Luas Pengelolaan Lahan Garapan

Tabel 9 di atas menunjukkan pada tanaman palawija seperti jagung, singkong, dan ubi, sebagian besar masyarakat kasepuhan rata-rata dalam satu kali panen sekitar 50 kg. Tanaman singkong, hasilnya lebih sering dibagi dua untuk dijual dan dikonsumsi. Sedangkan tanaman pisang, atau yang biasa disebut cau, sebagian besar ditanam masyarakat kasepuhan. Hal ini dikarenakan pisang sesuai dengan kondisi cuaca dan tanah, sehingga hasil yang diperoleh cukup banyak. Tanaman sayuran, ada yang ditanam di kebun ataupun di sawah lahan di sawah yang kering atau tidak ada air. Sayuran yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan, hasilnya juga tidak begitu banyak, mereka cenderung mengonsumsi meskipun ada juga yang dijual ke tengkulak. Pada tanaman kapulaga atau kapol, mayoritas masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag menanam tanaman tersebut. Kapol digunakan sebagai bahan obat-obatan, hasil dari kapol ini sangat menguntungkan bagi masyarakat. Kapol dijual ke tengkulak sekitar Rp. 5.000 per kg, dan dalam dua bulan sekali kapol panen. Apabila hasilnya banyak, kapol bisa panen satu kali dalam satu bulan. Tanaman talun seperti pohon kayu yang biasanya dimanfaatkan masyarakat kasepuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah dan untuk dijual. Sebagai contoh tanaman jeunjing dan manglid, untuk jeunjing waktu yang diperlukan sampai panen sekitar 5-6 tahun sedangkan manglid sekitar 10 tahun. Tanaman ini dijual dalam satuan kubik, dan biasanya per kubik dihargai Rp. 400.000,-.

6.2 Luas Pengelolaan Lahan Garapan

Lahan garapan menjadi salah satu aset berharga yang dimanfaatkan oleh masyarakat kasepuhan. Lahan garapan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Cimapag ada dua jenis yaitu ada yang menggarap lahan dengan status lahan SPPT Surat Peringatan Pajak Terhutang dan lahan dengan status lahan kehutanan taman nasional. Status lahan SPPT merupakan lahan milik negara yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menggarap asalkan masyarakat membayar pajak atas tanah itu. Rumahtangga yang memiliki lahan dengan status SPPT diwajibkan membayar pajak atas lahan tersebut. Biaya untuk membayar SPPT dibagi menjadi 2 kelas antara lain kelas pertama Rp. 25.000 per 10.000 m 2 dan kelas kedua adalah Rp. 15.000 per 10.000 m 2 . Sedangkan lahan TNGHS bagi masyarakat kasepuhan merupakan lahan komunal sehingga masyarakat memiliki hak atas lahan garapan meskipun dalam aturan TNGHS lahan tersebut merupakan milik negara dan termasuk dalam pengelolaan TNGHS. Secara umum rumahtangga petani masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag tidak memiliki lahan dengan status hak milik pribadi atau bersertifikat. Masyarakat kasepuhan yang tidak memiliki lahan garapan, bisa menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil maro atau kesepakatan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Berikut tabel yang menggambarkan luas lahan garapan masyarakat kasepuhan di Kampung Cimapag dari 30 rumahtangga: Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga di Kampung Cimapag Menurut Luas Lahan Garapan No Luas Lahan Garapan Jumlah Rumahtangga Persentase 1. Tinggi 1 hektar 1 3,33 2. Sedang 0,5 hektar-1 hektar 2 6,66 3. Rendah 0,5 hektar 27 90 Jumlah 30 100 Sumber: Data Primer, 2010 Berdasarkan Tabel 10. luas lahan garapan digolongkan menjadi tiga kategori yakni tinggi, sedang, dan rendah. Pada kategori tinggi, dari 30 rumahtangga hanya 3,33 yang menggarap lebih dari satu hektar. Pada kategori sedang, sebesar 6,66 dan pada kategori rendah sebesar 90. Persentase ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan di Kampung Cimapag tergolong rendah. Lahan garapan masyarakat ini sudah termasuk dengan lahan garapan yang digunakan untuk huma, sawah, dan kebun yang berstatus lahan SPPT dan lahan taman nasional.

6.3 Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Masyarakat Adat Kasepuhan