Akses Sumberdaya AKSES MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI

BAB V AKSES MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI

TERHADAP SUMBERDAYA ALAM

5.1 Akses Sumberdaya

Alam Sebelum Perluasan TNGHS Masyarakat kasepuhan merupakan komunitas adat Sunda yang diyakini sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kasepuhan Sinar Resmi sebagai salah satu bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul merupakan salah satu kasepuhan yang sampai saat ini masih mendiami wilayah di dalam dan sekitar TNGHS. Masyarakat kasepuhan masih memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kawasan ini, baik sumberdaya air, sumberdaya hutan dan juga lahan garapan. Lahan garapan Leuweng Sampalan inilah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat kasepuhan dengan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian huma, sawah, dan kebun. Sebelum perluasan TNGHS, kawasan Halimun merupakan kawasan TNGH Taman Nasional Gunung Halimun, yang sudah terbuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman masyarakat. Menurut penuturan Bapak US 64 tahun salah satu tokoh adat kasepuhan, dulunya kawasan Halimun merupakan kawasan yang pernah dikuasai oleh Belanda. Masyarakat kasepuhan sudah menjadi bagian dari kawasan Halimun. Ketika tahun 1902, muncul sistem tanam paksa yang diciptakan Belanda. Masyarakat dipaksa untuk menanam tanaman monokultur, karena sistem pertanian pokok mereka adalah pertanian lahan kering, masyarakat kasepuhan pun menolak. Pemaksaan inilah yang membuat masyarakat membuka hutan hutan alam. Hutan yang sampai sekarang ini diidentifikasi sebagai hutan yang dulunya didiami oleh para leluhur masyarakat kasepuhan antara lain terletak di Desa Sinar Galih, Blok Cicemet yang sekarang adalah Kasepuhan Cipta Gelar, Desa Sirna Resmi, Desa Cicadas dan ada juga di daerah Lebak Nangka. Melalui pembukaan hutan inilah, masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, menerapkan sistem pertanian huma yang merupakan warisan leluhur mereka, serta membangun areal pemukiman dan melaksanakan segala kegiatan adatnya hingga saat ini. Masyarakat masih bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk keperluan hidup mereka seperti pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan lainnya. Segala kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam tidak terlepas dari aturan adat yang ada. Masyarakat kasepuhan masih memegang teguh aturan adat dari leluhur mereka, mulai dari pengambilan serta pemakaian sumberdaya alam seperti tidak boleh mengambil kayu atau lainnya untuk pembangunan rumah di Bulan Maulud dan Safar. Masyarakat kasepuhan tidak boleh sekalipun masuk dalam area Leuweng Tutupan maupun Leuweng Titipan tanpa seijin sesepuh girang atau ketua adat. Dalam menjaga keamanan Leuweng Tutupan maupun Leuweng Titipan, masyarakat kasepuhan juga melakukan kontrol seperti mencegah orang luar masuk. Ijin untuk memasuki kawasan tersebut hanya bisa diberikan oleh sesepuh girang atau ketua adat, yang nantinya akan diadakan ritual adat yang berbekal kemenyan dan pembacaan doa. Masyarakat kasepuhan juga hanya bisa memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun papan dan tidak diijinkan untuk melakukan komersialisasi atas sumberdaya alam yang ada di area hutan lindung. Masyarakat kasepuhan masih menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhurnya kurang lebih 400 tahun lamanya hingga saat ini. Kearifan lokal inilah yang menjadikan hutan tetap utuh dan jauh dari segala kerusakan, karena masyarakat adat juga ikut menghargai alam. Pada tahun 1978 kawasan Halimun ditetapkan menjadi Cagar Alam Halimun, dan dikelola oleh Perum Perhutani. Kawasan yang dikelola oleh Perum Perhutani dimanfaatkan pula oleh masyarakat kasepuhan yang ada di dalam dan sekitarnya baik untuk lahan pertanian dan pemukiman termasuk masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, Perum Perhutani melakukan kesepakatan dengan masyarakat kasepuhan mengenai pancang. Pancang inilah yang menjadi batas, antara mana lahan yang boleh digarap dan mana lahan yang tidak boleh digarap. Mekanisme aturan pancang adalah bahwa area yang berada di dalam pancang diperbolehkan bagi masyarakat untuk menanam, menggarap, memelihara, memanfaatkan, dan bermukim di area tersebut. Masyarakat kasepuhan sendiri dengan ketua adat memiliki kesepakatan dimana mereka sudah menunjuk lokasi-lokasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kasepuhan misalnya untuk ladang penggembalaan, sumber mata air, dan lain sebagainya asalkan lokasi tersebut masih berada di dalam pancang. Perum Perhutani sendiri membuka hutan produksi dan menanam tanaman seperti pinus, sungkek, mahoni, damar, raksamana, dan lain-lain, yang mana hutan alam ini dibabat dan diambil kayunya. Dalam menanam tanaman-tanaman kehutanan, masyarakat kasepuhan dilibatkan dan diijinkan menanam di lahan tersebut dengan sistem tumpang sari. Kerjasama antara Perum Perhutani dan masyarakat kasepuhan ini dikenal dengan istilah malu yang diartikan mantri dan lurah. Dalam menanam, ada aturan yang harus dijalankan antara masyarakat kasepuhan dan Perum Perhutani. Misalnya, saat menanam harus ada jarak, ketika tanaman sudah besar ada istilah penjarangan ukurannya sekitar 2 m x 1 m, penjarangan berarti penebangan kayu yang tidak semuanya ditebang. Ketika masa panen, masyarakat dikenai pajak sekitar 10 untuk diserahkan kepada Perum Perhutani. Sebagai contoh, masyarakat mendapatkan keuntungan sekitar 100 ikat, maka 10 ikat diberikan untuk Perum Perhutani dan 90 ikat untuk masyarakat. Aturan mengenai pemberian pajak kepada Perum Perhutani, oleh masyarakat kasepuhan dirasa tidak memberatkan. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi bahwa : “meskipun ada aturan dalam menggarap lahan dari Perum, warga Abah sudah merasa puas dan senang bisa ikut dilibatkan dalam penanaman tanaman Perum. Karena kegiatan ini kan sifatnya kerjasama, Perum untung warga Abah juga ikut untung. Yang penting mah warga Abah masih bisa menggarap lahan.” Penuturan di atas menggambarkan bahwa masyarakat kasepuhan tidak bisa lepas dari ketersediaan lahan garapan. Meskipun kawasan yang mereka tinggali sudah ditetapkan menjadi kawasan konservasi, tetapi masyarakat masih menggantungkan hidupnya untuk menggarap lahan. Hal ini dikarenakan, sebelum adanya Cagar Alam pun masyarakat sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan tersebut dengan pemukiman, lahan garapan, dan sarana lainnya. Sehingga ketika kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi. masyarakat kasepuhan masih tetap konsisten dengan kegiatan menggarap lahan karena kegiatan ini juga bagian dari budaya dan tradisi leluhur yang harus dijaga dan dipelihara.

5.2 Akses Sumberdaya Alam Sesudah Perluasan TNGHS