Akses Sumberdaya Alam Sesudah Perluasan TNGHS

5.2 Akses Sumberdaya Alam Sesudah Perluasan TNGHS

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175Kpts-II2003 kawasan yang dulunya bernama TNGH dengan luas wilayah 40.000 ha, diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS dengan perluasan yang ada di Gunung Salak, Gunung Endut, dan hutan produksi di sekitarnya. Penetapan kawasan TNGHS ini dengan mengalihfungsikan kawasan yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai TNGHS di bawah Departemen Kehutanan. Perluasan kawasan TNGHS mengundang sejumlah kontroversi dari berbagai kalangan baik masyarakat kasepuhan sendiri, LSM, maupun pihak lainnya. Adanya keputusan perluasan ini, tentu berpengaruh pada kehidupan masyarakat kasepuhan. Bapak US 64 tahun salah satu tokoh adat kasepuhan juga mengungkapkan kekecewaannya mengenai kebijakan perluasan kawasan TNGHS: “Adanya UU No. 41 tidak pernah tertulis adanya ruang bagi masyarakat yang dari dulu sudah terlanjur ada. Pembagian zonasi dalam kawasan TNGHS tidak disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada di dalam kawasan. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam penetapan zonasi TNGHS, padahal dari dulu masyarakat kasepuhan punya zonasi sendiri yang sudah ada dari para leluhur. Kawasan yang terkena perluasan yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani sebagian besar merupakan lahan garapan masyarakat kasepuhan khususnya di Kampung Cimapag. Melihat penetapan TNGHS ini, kami sebagai masyarakat adat merasa seperti menjadi tamu di tanah leluhur kami sendiri”. Pernyataan yang serupa juga dijelaskan oleh Bapak AB 62 tahun, beliau mengungkapkan bahwa tanah yang ada di dalam maupun sekitar TNGHS sifatnya merupakan lahan komunal common property, karena di Kabupaten Sukabumi terdapat tiga kasepuhan yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar yang masih dalam satu keturunan. Lahan komunal sendiri, yang berada di Kampung Cimapag sebagian besar termasuk di dalam kawasan TNGHS dan merupakan lahan garapan masyarakat kasepuhan yang menurut zonasi adat masuk dalam Leuweng Sampalan hutan garapan. Bapak AB juga mengungkapkan bahwa : “kami masyarakat kasepuhan sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk mendukung kelestarian lingkungan, tapi terkadang visi TNGHS kurang memperhatikan kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya.” Adanya perluasan ini mengakibatkan akses masyarakat atas lahan garapan dibatasi, karena aturan TNGHS menegaskan bahwa kawasan yang sudah menjadi kawasan konservasi tidak seharusnya dijadikan lahan garapan. Hal ini menyebabkan ada perbedaan akses ketika kawasan yang dulu dikelola oleh Perum Perhutani dengan kawasan yang sekarang dikelola secara penuh oleh TNGHS. Dulu ketika dikelola Perum Perhutani, ada aturan pancang yang menjadi pedoman bagi masyarakat kasepuhan dan Perum Perhutani dalam mengelola lahan garapan. Sejak tahun 1992 ketika TNGH pengelolaannya dibawah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aturan pancang sedikit demi sedikit semakin hilang. Bahkan ketika SK Menteri Kehutanan mengenai perluasan TNGHS diturunkan, aturan pancang benar-benar sudah dibubarkan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat kasepuhan dan tiba-tiba masyarakat sudah tidak boleh mengakses lagi. Apabila melihat kebijakan mengenai kawasan konservasi, masyarakat sama sekali sudah tidak diperbolehkan untuk menyentuh kawasan TNGHS meskipun masyarakat menyatakan bahwa lahan di kawasan tersebut merupakan lahan leluhur mereka. Larangan mengenai adanya lahan garapan di dalam kawasan bisa dalam bentuk pengusiran terhadap lahan-lahan tersebut, karena lahan-lahan tersebut merupakan lahan milik negara menurut UU Undang- undang tertulis dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Apabila melihat fakta di lapangan, lahan garapan masyarakat kasepuhan yang ada di dalam kawasan memang sangat luas apalagi lahan ini ada juga yang tidak hanya diakui oleh masyarakat kasepuhan yang ada di Kabupaten Sukabumi, tetapi juga masyarakat kasepuhan di lokasi lain dan bahkan masyarakat non kasepuhan. Banyaknya lahan garapan masyarakat menjadi suatu pertimbangan bagi TNGHS. Kondisi kawasan yang menjadi lahan garapan masyarakat memerlukan kontrol penuh dari pihak TNGHS. Akan tetapi, sejauh masyarakat tidak merambah dan menebang hutan, kegiatan menggarap lahan masih bisa dilakukan. Apabila melihat aturan yang ditetapkan oleh TNGHS, lokasi yang memang boleh diakses dan diakui oleh pihak TNGHS adalah Kasepuhan Cipta Gelar saja yang masuk dalam zona khusus. Kasepuhan ini berada di dalam kawasan TNGHS baik area pemukiman, fasilitas publik, lahan garapan, area pemakaman, dan lain sebagainya yang merupakan zona khusus tradisional. Sedangkan, pada Kampung Cimapag yang sebagian besar adalah masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi lahan garapan masyarakat menurut TNGHS termasuk dalam zona rehabilitasi yang harus diwaspadai keberlanjutan ekologinya sehingga perlu ada upaya baik dari TNGHS dan masyarakat untuk melestarikannya kembali. Banyaknya lahan garapan di dalam kawasan TNGHS dikarenakan lahan- lahan ini sudah terlanjur ada sebelum ditetapkannya TNGHS. Masyarakat kasepuhan masih boleh menggarap lahan dengan syarat melalui kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini dilakukan oleh personal masyarakat sendiri dengan pihak balai TNGHS, bukan mengatasnamakan lembaga kasepuhan. Masyarakat masih bisa menggarap lahan baik huma, sawah, dan kebun tetapi tidak boleh menebang kayu baik itu untuk kebutuhan seperti pembangunan rumah. Masyarakat kasepuhan sendiri hanya bisa menanam tanaman kebun kayu atau talun seperti jeunjing, manii, manglid, tisuk, jabon, dan lain-lain tetapi hasilnya tidak boleh ditebang. Hal ini diungkapkan oleh Bapak AH 45 tahun warga Kampung Cimapag, beliau mengungkapkan bahwa: “lahan bapak kan memang di dalam kehutanan,, orang taman nasional suka nyuruh orang-orang sini buat nanem pohon-pohon biar hutan nggak rusak. Bapak ikut nanem pohon-pohon juga, cuman sama taman nasional nggak boleh ditebang. Padahal mah, bapak juga yang nanem pohon-pohonnya. Tapi buat ditebang mah nggak boleh, padahal kan kita juga butuh kayu bakar.” Penuturan Bapak AB 62 tahun menyatakan bahwa menurut aturan TNGHS masyarakat sama sekali tidak boleh mengakses, dan akan dikenai sanksi bagi yang melanggarnya, beliau mengungkapkan bahwa: “seharusnya TNGHS itu mengelola sumberdaya alam yang memang kawasannya masih utuh dan bukan merupakan lahan yang digarap masyarakat. Padahal, hutan-hutan di Kalimantan banyak yang rusak, tapi kenapa kawasan kami yang harus kena perluasan? TNGHS sekarang malah dihuni oleh banyak perusahaan pertambangan atau perkebunan yang jelas-jelas bisa merusak hutan. Menurut undang-undang, keberadaan masyarakat adat kan diakui oleh negara kalau memang di jaman sekarang ini masih adat. Tetapi kenapa kami yang sudah lebih dulu tinggal disini, menggarap lahan disini, tetapi hak-hak kami justru dibatasi?” Aturan talun atau kebun kayu juga dirasa memberatkan masyarakat, karena talun dimanfaatkan masyarakat untuk dijual, membangun, ataupun memperbaiki rumah mereka yang notabene terbuat dari kayu dan bambu. Waktu yang diperbolehkan untuk mengakses secara aturan TNGHS tidak diperbolehkan sepanjang tahun, meskipun dalam aturan adat melarang masyarakat kasepuhan untuk tidak mengambil kayu dan membangun rumah hanya di Bulan Maulud dan Safar. Namun, menurut salah satu warga Kampung Cimapag Bapak UD 26 tahun dalam kenyataannya masyarakat sampai saat ini masih mengikuti aturan adat yang berlaku. Bapak UD pun mengungkapkan bahwa: “kami ini menggarap lahan punya leluhur kami. Dari jaman sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Sampai kapanpun lahan garapan yang sekarang kami garap akan tetap diperjuangkan. Aturan adat juga jelas-jelas tidak membuat hutan jadi rusak. Saya garap lahan di kehutanan, aturan taman nasional nyuruh nanem tanaman-tanaman hutan. Dari dulu kita juga nanem tanaman hutan biar lahan nggak rusak dan itu ada di aturan adat. Cuman yang beda adalah taman nasional nyuruh kita nanem tapi nggak boleh ditebang. Itu lahan punya adat, kita juga yang nanem masak nggak boleh dimanfaatin buat kita?” Ketua adat pun menjelaskan bahwa kebijakan TNGHS mengenai konservasi sangat didukung oleh masyarakat kasepuhan. Masyarakat kasepuhan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada hanya untuk dikonsumsi dan kebutuhan rumah. Untuk lahan yang memang ada di hutan memang dilarang untuk dirambah, Abah pun mengungkapkan bahwa: “Kalau melihat aturan sekarang, perluasan kawasan TNGHS menyebabkan warga Abah menjadi dibatasi hak-haknya. Kalau memang TNGHS khawatir adanya kerusakan hutan, sebenarnya incu putu Abah pun sudah mengerti bahwa aturannya yang penting adalah sumberdaya alam yang ada yang statusnya hak ulayat, jangan untuk diperjual belikan dan kami pun mengelola lahan dengan kearifan lokal yang sudah turun-temurun dari leluhur kami. Dulu pun sebelum ada TNGHS, hutan aman-aman saja, tapi sekarang justru banyak komersialisasi. Kalaupun disuruh memilih, masyarakat disini mungkin lebih senang dengan aturan yang dulu ditetapkan oleh Perum. Abah juga menyadari sebagai masyarakat adat, aturan adat yang berlaku memang hanya lisan dan tidak tertulis. Disinilah posisi kami yang masih lemah. Sedangkan pemerintah kan ingin ada aturan yang tertulis. Tetapi Abah sangat yakin, kalau aturan-aturan adat yang berlaku sampai sekarang, memang benar-benar ada.” Melihat kenyataan di lapangan, aturan TNGHS memang membawa ancaman bagi masyarakat kasepuhan. Meskipun sampai saat ini, masyarakat kasepuhan masih menggarap lahan di dalam kawasan TNGHS tetapi secara psikis masyarakat merasa takut atau khawatir apabila suatu hari mereka benar-benar diusir dari lahan garapan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu warga Kampung Cimapag yakni Bapak PD 50 tahun, bahwa: “sebenarnya bapak sampai sekarang masih menggarap lahan, walaupun lahan itu masuk kehutanan. Padahal mah dari dulu, bapak nanem padi, nanem pisang, nanem singkong, semuanya di lahan kehutanan. Tapi kadang ada perasaan takut neng, kalau nanti bapak nggak boleh lagi garap lahan disitu. Cuman bapak mah tetep aja garap lahan di hutan, karna bagaimanapun lahan ini kan juga lahan punya leluhur karena Bapak udah garap dari dulu.” Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Bapak SP 47 tahun warga Kampung Cimapag yang menyatakan bahwa: “waktu taman nasional masuk, lahan kan ditutup, terus kita mah nggak boleh nanem apa-apa. Tapi namanya juga masyarakat, mereka maksa terus, kan masyarakat nggak mau tanahnya tapi cuma ingin garap lahannya aja. Kalau ada yang sampai menebang di hutan, biasanya langsung ditangkap sama orang taman nasioanl. Kalau untuk nebang kayu, bapak mah nggak berani, bapak mah garap lahan kayak sawah sama kebon aja. Bapak WS 31 tahun, salah satu pengelola TNGHS, mengungkapkan pendapatnya mengenai pengaruh perluasan TNGHS terhadap keberadaan masyarakat kasepuhan di kawasan TNGHS: “dalam visi dan misi TNGHS terlihat jelas bahwa ada hak-hak masyarakat yang harus dihargai dan dipahami. Oleh karena itu, TNGHS sendiri mengupayakan agar bagaimana masyarakat khususnya masyarakat kasepuhan tidak merasa dirugikan atas penetapan perluasan kawasan TNGHS. Karena, kami menyadari betul bahwa masyarakat kasepuhan juga berpengaruh terhadap kelestarian hutan dengan segala kearifan lokal yang dimiliki oleh kasepuhan.” Kebijakan konservasi sebenarnya melarang keras adanya kegiatan pertanian seperti menggarap lahan di kawasan yang sudah ditetapkan menjadi kawasan konservasi khususnya merambah dan menebang hutan. Melihat fakta di lapangan, masyarakat kasepuhan merupakan masyarakat yang sudah bertahun-tahun lamanya menempati kawasan TNGHS dengan bertumpu pada sektor pertanian. Kondisi tersebut menyebabkan TNGHS mempertimbangkan keberadaan masyarakat kasepuhan dengan lahan garapannya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 bahwa kawasan yang sudah terlanjur ada sebelum TNGHS, diakomodasikan dalam zona khusus. Masyarakat kasepuhan masih bisa menggarap lahan seperti huma, sawah, dan kebun. Sedangkan untuk aturan mengenai kebun kayu atau talun. masyarakat diijinkan menanam tetapi tidak boleh menebang meskipun tujuannya termasuk membangun dan memperbaiki rumah. Salah satu tokoh adat kasepuhan yaitu Bapak AB 62 tahun mengungkapkan bahwa akses masyarakat terhadap lahan garapan memang berubah dan tidak sebebas ketika sebelum TNGHS diperluas. Sebelumnya, kawasan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani asalkan masyarakat kasepuhan juga ikut serta menanam tanaman-tanaman kehutanan. Salah satu polisi hutan TNGHS, Bapak IN 45 tahun mengungkapkan bahwa: “Sebenarnya TNGHS sendiri sudah memberikan ruang bagi masyarakat kasepuhan untuk tetap bisa menggarap lahan meskipun masuk dalam kawasan. Karena, untuk mengusir masyarakat dari lahan garapan rasanya itu tindakan yang tidak mungkin, karena pasti akan timbul gejolak. TNGHS sendiri memberikan tanggung jawab kepada masyarakat kasepuhan yang menggarap lahan di dalam kawasan untuk ikut menanam tanaman-tanaman pokok seperti rasamala, puspa, dan lainnya. Hal itu dilakukan agar masyarakat juga ikut peduli terhadap kelestarian hutan, sehingga dari upaya pemulihan tersebut lahan yang telah dibuka juga bisa menjadi hutan alam kembali.” Lahan-lahan garapan yang masuk dalam kawasan TNGHS pada dasarnya sudah dilakukan kontrol oleh TNGHS sendiri. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan yang dinilai eksplotatif terhadap keberlangsungan sumberdaya alam di kawasan TNGHS. Dikarenakan jumlah SDM Sumber Daya Manusia TNGHS yang terbatas, sehingga membutuhkan kontrol penuh terhadap kawasan TNGHS itu sendiri. Oleh karena itu, TNGHS membuat kesepakatan dengan masyarakat kasepuhan mengenai pelarangan penebangan hutan dan masyarakat masih bisa menggarap lahan di dalam kawasan. Dalam lahan garapan masyarakat terlihat jelas papan peringatan yang melarang masyarakat untuk memperluas lahan dan menebang hutan. Berdasarkan penuturan Bapak WS 31 tahun selaku pengelola TNGHS, kesepakatan ini adalah bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak, dan masyarakat masih bisa menggarap lahan dalam kawasan sampai batas waktu tertentu dibawah monitoring pihak TNGHS.

5.3 Ikhtisar