Aspek Perkembangan Remaja REMAJA
Remaja terlibat di dalam berbagai spekulasi mengenai
karakteristik-karakteristik ideal, yaitu kualitas yang mereka inginkan terdapat pada diri maupun orang lain. Cara berpikir
tersebut sering kali menggiring remaja untuk membandingkan dirinya dengan orang lain menurut standar ideal tersebut. Selain
itu, pemikiran mereka juga sering kali berisi fantasi mengenai kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
Selain berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga berpikir logis. Remaja cenderung memecahkan masalah melalui trial and
error . Remaja membuat rencana untuk memecahkan masalah dan
secara sistematis menguji solusi. Dalam pemecahan masalah, dibutuhkan penalaran hipotetis deduktif yang mencakup penciptaan
sebuah hipotesis dan melakukan deduksi terhadap implikasinya, yang memungkinkan untuk menguji hipotesis. Dengan demikian,
remaja mengembangkan hipotesis mengenai cara memecahkan masalah dan secara sistematis melakukan deduksi terhadap langkah
terbaik yang harus diikuti untuk memecahkan masalah. Perubahan kognisi lain yang juga terjadi pada masa remaja
adalah munculnya egosentrisme remaja Santrock, 2011. Elkind 1967 mengemukan bahwa egosentrisme pada remaja ini muncul
ketika remaja telah mampu mengenali pikiran orang lain, tetapi gagal untuk membedakan objek yang menjadi pemikiran orang lain
dan fokusnya terhadap diri sendiri. Sebagai akibatnya, remaja
berasumsi bahwa orang lain terobsesi dengan penampilan dan perilaku mereka, sebegaimana mereka juga terobsesi dengan diri
mereka sendiri. Keyakinan remaja bahwa orang lain terobsesi dengan penampilan dan perilaku mereka ini disebut sebagai
imaginary audience .
Selanjutnya, ketika remaja percaya bahwa ia penting bagi orang lain
– imaginary audience, ia mulai memandang dirinya sendiri, terutama perasaannya sebagai sesuatu yang unik dan
spesial. Misalnya, remaja berpikir bahwa hanya dia yang dapat merasakan penderitaan batin yang amat menyakitkan, tidak ada
orang lain yang dapat memahami perasaannya, dan pada tingkat tertentu remaja merasa tidak akan terkalahkan, sehingga apa yang
terjadi pada orang lain tidak akan terjadi pada dirinya, misalnya kehamilan di luar nikah dan kematian. Keyakinan remaja tentang
keabadiannya atau kekebalan dan keunikan perasaannya ini disebut sebagai personal fable.
c. Aspek Sosioemosi Selama masa remaja, Sullivan 1953, dalam Santrock, 2011
berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan
bahwa kebutuhan intimasi meningkat di masa remaja awal dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat.
Percakapan di antara remaja sering kali didominasi oleh bergosip tentang teman sebaya Buhrmester Chong, 2009 dalam
Santrock, 2011. Kebanyakan gosip tersebut dicirikan dengan komentar negatif tentang remaja lain, seperti membicarakan
remaja yang minum hingga mabuk minggu lalu, penampilan seseorang di sekolah kemarin, atau bagaiman seseorang berani
melakukan apa yang dikatakannya. Dalam beberapa hal, gosip negatif dapat berupa agresi relasi, yaitu menyebarkan rumor untuk
melecehkan seseorang. Meskipun demikian, tidak semua gosip di antara teman bersifat negatif. Beberapa gosip dapat melibatkan
konstruksi kolaboratif yang berkontribusi untuk perkembangan perspektif terhadap intimasi dan relasi yang akrab. Sahabat juga
dapat menunjukkan rasa percaya mereka dengan mengutarakan pendapat yang berisiko.
Selain kebutuhan akan intimasi, perubahan dalam aspek sosioemosi yang terjadi selama masa remaja juga terkait dengan
harga diri self esteem Santrock, 2011. Harga diri merujuk pada evaluasi global mengenai diri; harga diri juga disebut sebagai
martabat diri self worth atau citra diri self image. Penghargaan diri dapat mencerminkan persepsi yang tidak
selalu sesuai dengan realitasnya Krueger, Vohs, Baumeister, 2008. Penghargaan diri remaja dapat mengindikasikan persepsi
tentang apakah remaja tersebut pintar dan menarik, tetapi persepsi
tersebut mungkin tidak akurat. Dengan demikian, penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang akurat mengenai
nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian seseorang, tetapi juga dapat mengindikasikan kesombongan dan
rasa superior dari orang lain. Dengan cara yang sama, penghargaan diri yang rendah mengindikasikan persepsi mengenai kekurangan
atau penyimpangan seseorang atau bahkan rasa inferior dan ketidakamanan patologis.
Penghargaan diri yang tinggi berkaitan erat dengan narsisme. Narsisme ini mengacu pada pendekatan terhadap orang lain yang
berpusat pada diri self-centered dan memikirkan diri sendiri self concerned
. Biasanya, pelaku narsisme tidak menyadari keadaan aktual diri sendiri dan bagaimana orang lain memandangnya.
Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya, selalu menekankan bahwa dirinya sempurna self congratulatory, serta memandang
keinginan dan harapannya adalah hal terpenting Santrock, 2011. Selain itu, tugas perkembangan yang harus dilewati selama
masa remaja adalah pencarian identitas diri. Identitas diri adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup
identitas pekerjaan atau karier, identitas politik, identitas spiritual, identitas relai, indentitas prestasi atau intelektual, identitas seksual,
identitas etnik, minat, kepribadian, dan identitas fisik.
Erik Erikson adalah tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas untuk
memahami perkembangan remaja. Berdasarkan teori yang dikemukakan Erikson, tahap yang dialami individu di masa remaja,
yaitu tahap indentitas versus kebingungan identitas Santrock, 2011. Menurut Erikson, pada masa ini, remaja harus memutuskan
siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan tujuan apa yang hendak diraihnya.
Pencarian identitas yang berlangsung pada masa remaja ini disertai oleh berlangsungnya moratorium psikososial psychosocial
moratorium , yaitu kesenjangan antara keamanan kanak-kanak dan
otonomi orang dewasa Santrock, 2011. Selama periode ini, masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung
jawab dan
bebas mencoba
berbagai identitas.
Remaja bereksperimen
dengan berbagai
peran dan
kepribadian. Eksperimen ini merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja
oleh remaja agar dapat menemukan keseuaian mereka di dunia. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan
tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis
identitas akan mengalami kebingungan identitas. Kebingunan ini dapat berupa mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga atau
melebur dalam dunia teman sebaya dan kehilangan identitasnya di tengah crowd-nya.