Grafik 3 Distribusi frekuensi intensitas penggunaan SJS
Berdasarkan grafik distribusi frekuensi intensitas penggunaan SJS, didapatkan bahwa sebanyak 36,3 sample memiliki skor
intensitas penggunaan SJS yang lebih tinggi dibandingkan rerata intensitas penggunaan SJS subjek penelitian. Sebaliknya, 63,7
sample memiliki skor intensitas penggunaan SJS yang lebih rendah
dibandingkan rerata intensitas penggunaan SJS subjek penelitian.
d. Frekuensi Waktu Penggunaan SJS Dari perhitungan data deskriptif, didapatkan juga frekuensi waktu
penggunaan SJS oleh siswai. Frekuensi waktu penggunaan SJS ini adalah jumlah jawaban yang muncul terkait waktu atau jam
penggunaan SJS.
Dari perhitungan tersebut, didapatkan bahwa waktu atau jam penggunaan SJS yang paling banyak muncul adalah pada jam 19.00-
20.00, dengan persentase jawaban yang muncul sebesar 38. Hal ini berarti kebanyakan siswai mengakses SJS pada atau selama rentang
jam 19.00-20.00. Selanjutnya secara berurutan, jam penggunaan SJS yang muncul adalah pada jam 14.00-15.00 37,55, 18.00-19.00
37,55, 22.00-23.00 37,10, 06.00-07.00 35,74, dan 21.00- 22.00 35,74. Sebaliknya, jam pengunaan SJS yang paling sedikit
muncul adalah pada jam 03.00-04.00. Hal ini berarti bahwa kebanyakan siswai jarang paling jarang mengakses SJS pada jam
03.00-04.00. Selain itu, dapat dilihat juga terdapat siswai yang masih
mengakses SJS pada jam atau waktu kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, yaitu dari jam 07.00
– 13.00. Secara lebih detail, frekuensi waktu penggunaan SJS subjek penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Grafik 4 Distribusi frekuensi waktu penggunaan SJS
D. PEMBAHASAN
Pengujian hipotesis mengunakan teknik analisis korelasi spearman rho menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dan intenstitas penggunaan SJS
memiliki hubungan yang negatif secara signifikan p 0.05. Dengan kata lain, hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis penelitian terbukti, yaitu
terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan SJS dan kecerdasan emosi pada remaja.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas penggunaan SJS yang dimiliki remaja, maka semakin rendah tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja. Sebaliknya, semakin rendah intensitas penggunaan SJS yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi tingkat
5 10
15 20
25 30
35 40
06-07 07-08
08-09 09-10
10-11 11-12
12-13 13-14
14-15 15-16
16-17 17-18
18-19 19-20
20-21 21-22
22-23 23-00
00-01 01-02
02-03 03-04
04-05 05-06
Persentase Jumlah Jawaban Waktu Penggunaan SJS Waktu
PE n
g g
u n
aan S
JS
Waktu penggunaan SJS
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja. Begitu juga, ketika semakin rendah tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja, maka semakin rendah intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yaitu eksperimen yang
dilakukan oleh Uhls et al. 2014 yang menemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktu tanpa media digital, seperti telepon seluler lebih mampu
membaca dengan tepat ekspresi wajah dibandingkan anak-anak yang menghabiskan waktu dengan media digital seperti biasanya. Dalam hal ini,
membaca dengan tepat ekspresi wajah merupakan salah satu kemampuan dalam kecerdasan emosi yang berada dalam area pertama kecerdasan emosi.
Kesesuaian penelitian ini dan penelitian Uhls et al. 2014 ini dapat terjadi karena seperti yang dikemukan Salovey dan Mayer dalam Mayer dan Salovey,
1997 bahwa keempat area kecerdasan emosi saling berhubungan satu sama lain, yaitu seiring tumbuhnya keterampilan-keterampilan dalam satu area,
maka keterampilan-keterampilan dalam area lainnya juga akan tumbuh. Seperti yang disampaikan oleh Cocking dan Metthews 2000 bahwa
interaksi virtual, dalam hal ini interaksi melalui SJS tidak memiliki fitur-fitur layaknya interaksi tatap muka, seperti kompleksitas intonasi suara dalam
berbicara, gesture tubuh, dan ekspresi wajah. Sejalan dengan itu, Bosacki dan Astington dalam Uhls et al, 2014 mengemukakan bahwa interaksi tatap
muka penting sebagai proses yang mengarah pada pemahaman tentang emosi
orang lain yang merupakan salah satu kemampuan dalam area kecerdasan emosi. Sejalan dengan itu, Giedd 2012 menyatakan bahwa kompleksitas
yang ada dalam interaksi tatap muka merupakan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dan ketertampilan sosial penting lainnya.
Dengan demikian, ketika remaja menghabiskan banyak waktu dengan SJS, kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dan keterampilan sosial
penting lainnya menjadi berkurang. Hal ini dapat terjadi karena fitur-fitur SJS tidak dapat memfasilitasi penggunanya untuk mengembangkan kecerdasan
emosi secara optimal layaknya interaksi tatap muka. Oleh karena itu, hasil pengolahan data memperlihatkan ketika intensitas penggunaan SJS cenderung
tinggi, tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja cenderung rendah. Sebaliknya, ketika intensitas penggunaan SJS cenderung rendah, tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja cenderung tinggi. Meski demikian, berdasarkan koefisien korelasi r = -0,254 dan
scatterplot bdk. Lampiran 9 10 yang dimiliki oleh kedua variabel, terlihat
bahwa hubungan negatif antara intensitas penggunaan SJS dan kecerdasan emosi termasuk dalam kategorisasi hubungan yang cenderung lemah Cohen,
1988; Siregar, 2013. Dengan kata lain, data yang didapat dalam penelitian ini tidak seluruhnya menunjukkan bahwa ketika intensitas penggunaan SJS tinggi
maka tingkat kecerdasan emosi rendah, atau sebaliknya ketika tingkat kecerdasan emosi rendah maka tingkat intensitas penggunaan SJS tinggi.
Beberapa interpretasi untuk menjelaskan lemahnya hubungan negatif yang ada, yaitu pertama, koefisien korelasi yang didapat memang merupakan
gambaran kenyataan yang sebenarnya. Gambaran tersebut dapat terlihat secara lebih detail melalui scatterplot bdk. Lampiran 10. Ada remaja yang
menghabiskan banyak waktu mengakses SJS memiliki skor kecerdasan emosi yang sama dengan remaja yang menghabiskan lebih sedikit waktu mengakses
SJS ataupun sebaliknya. Keadaan lainnya, ada remaja yang menghabiskan banyak waktu mengakses SJS memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan remaja yang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengakses SJS bdk. Lampiran 10. Kedua keadaan tersebut tentunya bertolak belakang
dengan argumen bahwa SJS tidak dapat memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosi.
Kedua keadaan tersebut dapat terjadi karena adanya peran dari variabel asing extranous variable yang berkontribusi terhadap hubungan kedua
variabel penelitian. Hal ini berarti bahwa variabel atau faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kecerdasan emosi tidak hanya berasal dari
intensitas penggunaan SJS. Misalnya, meski remaja menghabiskan banyak waktu untuk mengakses SJS, tetapi hal ini diimbangi dengan banyaknya
waktu yang juga dihabiskan untuk melakukan kegiatan lain yang dapat memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosi, seperti interaksi tatap muka.
Dalam penelitian ini, kegiatan lain yang dapat memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosi inilah yang disebut sebagai variabel asing extranous
variable . Variabel asing adalah variabel yang bukan merupakan fokus
penelitian, tetapi dapat mempengaruhi hasil penelitian Myers Hansen, 2002.
Berdasarkan data deskriptif bdk. Lampiran 8, dapat dilihat bahwa rerata waktu yang dihabiskan responden untuk mengakses SJS adalah 120
menit. Ketika remaja menghabiskan waktu rata-rata 120 menit dalam sehari untuk mengakses SJS, sangat mungkin jika waktu lainnya remaja habiskan
dengan melakukan kegiatan lain yang dapat memfasilitasi perkembanagan kecerdasan emosi, salah satunya interaksi tatap muka dengan individu lain.
Oleh karena itu, dapat dilihat juga pada scatterplot bdk. Lampiran 10 terdapat 14 data memiliki skor kecerdasan emosi yang sama dengan 14 data
lainnya yang memiliki intensitas penggunaan SJS yang berbeda-beda. Misalnya, dua responden yang masing-masing menghabiskan waktu 25 menit
dan 365 menit untuk mengakses SJS memiliki skor kecerdasan emosi yang
sama, yaitu 88 bdk. Lampiran 10.
Kedua, terkait variabel atau faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap hubungan kedua variabel, yaitu latar belakang lingkungan keluarga
atau gaya pengasuhan orangtua. Seperti yang dijabarkan Goleman 1995 bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu,
yaitu internal dan eksternal. Salah satu contoh dari faktor eksternal adalah interaksi langsung dengan orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh dan
interaksi dengan orangtua. Kemampuan-kemampuan dalam kecerdasan emosi dipelajari sejak individu masih anak-anak. Anak belajar tentang informasi
emosi dari lingkungan sekitarnya, yaitu pertama-tama dari orangtua hingga seiring bertambahnya usia dan pergaulan anak.