Remaja dan Situs Jejaring Sosial

mengintegrasi individu ke dalam kehidupan sosial modern, termasuk di dalamnya menulis atau membaca emosi-emosi yang dirasakan dan dimaknai oleh diri sendiri. Dengan demikian, argumen pendekatan naratif, secara tidak langsung juga menyatakan bahwa SJS mungkin dapat membantu atau memfasilitasi remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosi yang mereka miliki melalui kegiatan menulis dan membaca. Meskipun demikian, fitur-fitur SJS seperti profil, komentar, posting status, foto, atau video yang banyak melibatkan aktivitas menulis dan membaca ini sangat mudah dimanipulasi. Dalam signaling theory yang dikemukan oleh Donath 2007, fitur-fitur SJS ini termasuk dalam conventional signals – tanda-tanda cues yang mudah dimanipulasi sesuai keinginan individu. Hal ini sesuai dengan argumen yang disampaikan Cocking dan Matthews 2001 bahwa individu dapat bebas memilih dan mengontrol “tampilan” dirinya pada orang lain melalui dunia virtual, khususnya dalam penelitian ini adalah SJS. Cocking Matthews 2001 mengemukakan bahwa interaksi virtual, yaitu melalui SJS tidak memiliki fitur-fitur layaknya interaksi non-virtual interaksi tatap muka, seperti kompleksitas intonasi dalam berbicara, gesture tubuh, ekspresi wajah, dsb. Fitur-fitur tersebut termasuk dalam tanda-tanda cues non-voluntary yang cenderung lebih sulit untuk dimanipulasi. Ketiadaan fitur-fitur yang kompleks dalam interaksi virtual tersebut membuat apa yang didapat dalam interaksi non-virtual tidak didapatkan dalam interaksi virtual. Salah satunya adalah kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dan keterampilan sosial penting lainnya melalui kompleksitas yang ada dalam interaksi non-virtual Giedd, 2012. Argumen tersebut juga semakin diperkuat oleh argumen yang diungkapkan oleh Uhls dkk. 2014 bahwa interaksi non-virtual dapat mengembangkan pemahaman yang akurat tentang tanda-tanda emosi emotion cues non-verbal. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kegiatan SJS tidak dapat memfasilitasi area pertama dan ketiga kecerdasan emosi, yaitu merasakan emosi dan memahami dan menganalisa emosi. Pada akhirnya, remaja yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengakses SJS akan mengalami hambatan dalam perkembangan kecerdasan emosi yang mereka miliki.

F. DINAMIKA HUBUNGAN INTENSITAS PENGGUNAAN SJS DAN

KECERDASAN EMOSI REMAJA Dari jumlah pengguna telepon seluler yang ada di Indonesia, aktivitas yang paling sering dilakukan melalui telepon seluler adalah mengakses media sosial Mobile Activities, 2015. Menggunakan media sosial, khususnya dalam penelitian ini SJS merupakan aktivitas paling umum yang dilakukan anak-anak dan remaja saat ini. O’Keefee dan Pearson 2011 juga menyatakan bahwa perkembangan emosi dan sosial sebagian generasi muda saat ini tidak lepas dari kontribusi internet dan telepon seluler. Perkembangan emosi dan sosial sebagian generasi muda saat ini yang tidak lepas dari internet dan telepon seluler sudah pernah dicetuskan oleh Kandell. Kandell 1998, dalam Spraggins, 2009 menyatakan bahwa remaja merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penggunaan SJS yang bermasalah atau berlebihan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu karakteristik perkembangan dan psikologis remaja, akses terhadap internet, dan ekspektasi terhadap remaja untuk dapat menggunakan komputer atau akses internet. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa teknologi berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam membaca tanda-tanda emosi yang bersifat nonverbal. Membaca tanda-tanda emosi nonverbal merupakan kemampuan yang terdapat dalam aspek pertama kecerdasan emosi, yaitu mempersepsi emosi Mayer Salovey, 1997. Dalam eksperimen lapangan yang dilakukan Uhls et al. 2014 ditemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktu untuk berkemah tanpa media digital, seperti telepon seluler atau komputer lebih mampu membaca dengan tepat emosi ekspresi wajah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan kemah dan menghabiskan waktu dengan media digital seperti biasanya. Sejalan dengan argumen yang dikemukan oleh Kandell 1998 dan O’Keefee Pearson 2011, dalam penelitiannya, Uhls et al. mengumpulkan partisipan sebanyak 105 remaja berusia 12 tahun.