ketidaksenangan yang dialami individu dalam suatu keadaan, atau dalam suatu interaksi yang mereka alami. Emosi juga dapat lebih spesifik dan
terlihat dalam wujud kebahagiaan, ketakutan, kemarahan, dst. –
tergantung pada bagaimana interaksi yang ada mempengaruhi individu. Misalnya, interaksi yang mengancam, interaksi yang membuat frustasi,
interaksi yang melegakan, sesuatu yang harus ditolak, sesuatu yang tak terduga, dst. Sementara itu, Papalia 2007 mendefinisikan bahwa emosi
adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang diasosiasikan dengan perubahan fisik dan perilaku.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan definisi emosi dalam penelitian ini. Emosi adalah reaksi subjektif terhadap
pengalaman dalam bentuk perasaan atau afek yang melibatkan perubahan fisik dan perilaku atau yang mengarah pada kecenderungan bertindak.
3. Definisi Kecerdasan Emosi
Untuk dapat memahami konsep kecerdasan emosi, pertama-tama kita perlu mengeksplorasi dua istilah terlebih dahulu, yaitu kecerdasan dan
emosi. Kedua hal tersebut telah peneliti jabarkan sebelumnya. Mayer dan Salovey dalam Salovey, Mayer, dan Caruso, 2004
mengemukakan kecerdasan emosi sebagai konsep harus mengarah pada heightened emotional
atau kemampuan mental. Oleh karena itu, keduanya mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk merasa
secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk
mengakses dan membangkitkan emosi agar membantu pikiran, kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan terkait emosi, dan
kemampuan meregulasi emosi untuk meningkatkan perkembangan emosi dan intelektual. Definisi tersebut menggabungkan ide bahwa emosi dapat
membuat pikiran menjadi semakin cerdas dan seseorang yang berpikir dengan cerdas tentang emosi. Kedua-duanya menghubungkan inteligensi
dan emosi. Namun, pada tahun 2008, Mayer, Roberts, dan Barsade merumuskan sebuah definisi kecerdasan emosi yang lebih sederhana, yaitu
kemampuan bernalar tentang emosi secara akurat dan kemampuan untuk menggunakan emosi dan pengetahuan emosi untuk meningkatkan pikiran.
Patton 1998 mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun
hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Sementara Goleman 2007 melihat bahwa kecerdasan emosi meliputi beberapa kemampuan, seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga
agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan berpikir. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan definisi
kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara
efektif untuk meningkatkan pikiran dan mencapai suatu tujuan. Jika dibandingkan dengan teori kecerdasan dan emosi yang telah
peneliti jabarkan, kecerdasan emosi merupakan konsep yang berbeda
dengan konsep emosi, konsep kecerdasan menurut beberapa ahli, terutama konsep faktor umum dan faktor khusus dari Spearman. Menurut Salovey
dan Mayer 1993, kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan umum g. Argumen tersebut tercipta karena tidak seperti kecerdasan umum,
kecerdasan emosi melibatkan manipulasi emosi dan isi emosional emotional content. Oleh karena itu, kecerdasan emosi memiliki validitas
diskriminan terhadap kecerdasan umum. Hal ini berarti kecerdasan emosi memiliki kosntruk yang berbeda dari kecerdasan umum. Secara statistik,
validitas diskriminan tercapai ketika dua konstruk memiliki hubungan yang positif, tetapi tidak signifikan atau memiliki hubungan yang negatif
dan signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua konstruk yang diuji korelasi terbukti berbeda secara valid Supratiknya, 2014.
Sebaliknya, Salovey dalam Goleman, 1995 sepakat dengan konsep kecerdasan majemuk yang dicetuskan oleh Gardner
– bahwa kecerdasan tidak hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang
sempit. Salovey percaya bahwa kecerdasan memiliki cakupan yang lebih luas. Setelah itu, jalur penelitian menuntun para ahli kembali pada
pemahamana betapa pentingnya kecerdasan personal atau kecerdasan emosional. Terkait hal tersebut, Salovey dalam Goleman, 1995 pun
menempatkan kecerdasan personal Gregory, 2011 dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya.
4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi
Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman 1995 dalam bukunya Emotional Intelligence, pada dasarnya, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi seseorang, yaitu 1 Faktor internal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari
dalam diri individu, yaitu aktivitas otak emosional emotional brain meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala.
Beberapa bagian otak yang penting untuk kehidupan emosional adalah bagian yang paling lambat matang. Ketika area sensorik matang
selama masa kanak-kanak awal dan sistem limbik matang saat pubertas, lobus frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon
artistik masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan 18 tahun.
2 Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu seperti kebiasaan dan interaksi langsung dengan
orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh orangtua dan lingkungan sosial individu. Anak terus belajar berbagai informasi tentang emosi
dari lingkungannya, yaitu orangtua hingga seiring bertambah usia dan pergaulan anak masuk ke sekolah, bertemu teman, dst.
5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Berdasarkan definisi kecerdasan emosi yang dirumuskan oleh Salovey dan Mayer dalam Mayer Salovey, 1997; Salovey dan Grewal,