4.6.2. Pengetahuan Informan
Hasil indepth interview menunjukkan bahwa pada umumnya informan memahami arti kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi
hanyalah sebagai suatu pengetahuan mengenai cara penyelamatan diri saat terjadi gempa dan menyiapkan peralatan yang sangat diperlukan untuk mempercepat proses
penyelamatan diri tersebut. Sedangkan mengenai peralatan dan perlengkapan yang seharusnya disiapkan di rumah untuk menghadapi gempa sebelum terjadinya gempa,
pada umumnya informan kurang mengetahui. Informan berpendapat bahwa hanya kendaraanlah perlengkapan yang perlu disiapkan, seperti ungkapan salah satu
informan berikut:
“Siapsiaga itu artinya kita tahu melakukan apa saat terjadi gempa” “Cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa”
“Artinya siap menghadapi gempa” “Peralatan apa maksudnya….? kalau saya hanya menyiapkan sepeda motor saja, supaya cepat
untuk lari, jadi minyak saja yang saya kontrol selalu, saya isi penuh selalu. Yang lainnya kain saja 2 buah, kalau ada uang ya dibawa uang juga atau barang berharga lainnya…..”
“Ya kendaraanlah, agar cepat untuk lari, itu saja, yang lain tidak ada…” “Sepeda motor saja, lain tidak ada…”
“Kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya sepeda motor saja…”
“Yang paling penting ya kendaraan…”
Hasil indepth interview mengenai pengetahuan informan tentang tindakan penyelamatan diri saat terjadi gempa, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan
informan mengenai cara penyelamatan diri juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan pada umumnya informan segera berlari meninggalkan lokasi tempat
tinggal, setelah keluar dari rumah saat terjadi gempa, dengan alasan bahwa lokasi
Universitas Sumatera Utara
tempat tinggal berada di wilayah pesisir, sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelamatkan diri jika terjadi tsunami, seperti ungkapan informan berikut:
“…kalau gempa saya dan keluarga langsung keluar rumah, tidak mungkin tetap didalam rumah, karena rumah ini tidak kuat. Kami berdiri di tempat yang tidak ada pohon, tiang
listrik, atau bangunan, takut tertimpa kalau roboh…” “….begitu gempa sedikit reda, saya langsung menghidupkan sepeda motor, lari dengan
sepeda motor. Makanya kendaraan selalu harus siap, sepeda motor selalu saya isi minyak penuh. Pokoknya setiap terjadi gempa, saya tetap lari ke luar desa, nanti kalau kira-kira
sudah aman, baru balik lagi ke rumah” “…kalau kira-kira sudah bisa lari, ya langsung lari keluar dari desa ini, karena kan sangat
dekat dengan laut”
Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai sebagian kecil informan yang tetap bertahan di lokasi tempat tinggal
sebelum memastikan ada atau tidaknya tanda-tanda tsunami dengan melihat kondisi air laut. Jika air laut kering sampai kira-kira 200 m dari pantai setelah terjadi
goncangan gempa yang kuat, maka gempa berpotansi tsunami, karena dapat diperkirakan sekitar 20 menit kemudian akan terjadinya gelombang besar tsunami
dan meruntuhkan semua yang dilaluinya, seperti ungkapan informan berikut:
“….kalau gempa, saya dan keluarga langsung ke luar rumah, duduk di depan rumah, lihat air laut, kalau tidak kering, saya tidak lari. Tapi orang-orang banyak juga yang langsung lari”.
“Kalau gempa, saya tidak langsung lari, berdzikir saja, apalagi kalau gempanya tidak terlalu kencang, cukup ke luar rumah saja, tidak sanggup lari, saya sudah tua, badan tidak kuat
lagi. Biasanya kami lihat air laut dulu, kalau tidak kering berarti kan tidak terjadi tsunami, untuk apa lari, kalau gempa itu kan dimana-mana juga gempa”
Hasil indepth interview menunjukkan bahwa meskipun tindakan yang dilakukan setelah terjadi gempa sedikit reda berbeda, namun semua informan
mengatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman masing- masing informan saat terjadi gempa bumi dan tsunami 2004. Berikut adalah kutipan
Universitas Sumatera Utara
wawancara dengan sebagian informan yang tidak langsung berlari setelah gempa sedikit reda:
“Dari pengalaman 2004. Setelah gempa kuat itu, tidak langsung naik air laut, ada kira-kira 20 menit setelah gempa baru naik air laut. Sebelum air laut itu naik, saya sempat lihat laut
itu kering 200 meter dari pantai, baru kemudian ombaknya sangat besar dan naik ke darat, habis semuanya. Saya bersama anak yang kedua waktu itu di laut, seperti biasa memasang
jaring ikan. Saya lihat sendiri kejadian itu, tapi saya sudah tahu, waktu lihat air laut kering, saya dan anak langsung mengayuh perahu ke tengah laut, sedangkan perahu-perahu yang
berada agak ke tepi, semua digulung ombak. Jadi kalau gempa-gempa lagi sekarang, saya tidak langsung lari, tapi lihat air laut dulu”
“Ingat kejadian gempa dan tsunami 2004, air laut itu naik kan kalau gempanya sangat kuat, dan tidak langsung naik juga, ada selang waktu beberapa menit. Makanya kalau gempa-
gempa lagi, saya ke simpang jalan saja, untuk jaga-jaga. Saya sempat digulung ombak juga waktu itu, semua keluarga meninggal, ini keluarga kedua”.
Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai sebagian informan lain yang mengatakan langsung berlari jika gempa
sudah sedikit reda, hal ini juga berdasarkan pengalaman dan kondisi emosi perasaan takuttrauma akibat gempa dan tsunami tahun 2004, seperti kutipan wawancara
berikut dengan salah seorang informan tersebut:
“Dari pengalaman gempa dan tsunami 2004, saya digulung ombak karena tidak tahu sama sekali air laut naik, makanya sekarang kalau gempa, begitu bisa lari…ya kami lari saja
terus, takut, teringat tsunami 2004…”
4.6.3. Sikap Informan