wawancara dengan sebagian informan yang tidak langsung berlari setelah gempa sedikit reda:
“Dari pengalaman 2004. Setelah gempa kuat itu, tidak langsung naik air laut, ada kira-kira 20 menit setelah gempa baru naik air laut. Sebelum air laut itu naik, saya sempat lihat laut
itu kering 200 meter dari pantai, baru kemudian ombaknya sangat besar dan naik ke darat, habis semuanya. Saya bersama anak yang kedua waktu itu di laut, seperti biasa memasang
jaring ikan. Saya lihat sendiri kejadian itu, tapi saya sudah tahu, waktu lihat air laut kering, saya dan anak langsung mengayuh perahu ke tengah laut, sedangkan perahu-perahu yang
berada agak ke tepi, semua digulung ombak. Jadi kalau gempa-gempa lagi sekarang, saya tidak langsung lari, tapi lihat air laut dulu”
“Ingat kejadian gempa dan tsunami 2004, air laut itu naik kan kalau gempanya sangat kuat, dan tidak langsung naik juga, ada selang waktu beberapa menit. Makanya kalau gempa-
gempa lagi, saya ke simpang jalan saja, untuk jaga-jaga. Saya sempat digulung ombak juga waktu itu, semua keluarga meninggal, ini keluarga kedua”.
Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai sebagian informan lain yang mengatakan langsung berlari jika gempa
sudah sedikit reda, hal ini juga berdasarkan pengalaman dan kondisi emosi perasaan takuttrauma akibat gempa dan tsunami tahun 2004, seperti kutipan wawancara
berikut dengan salah seorang informan tersebut:
“Dari pengalaman gempa dan tsunami 2004, saya digulung ombak karena tidak tahu sama sekali air laut naik, makanya sekarang kalau gempa, begitu bisa lari…ya kami lari saja
terus, takut, teringat tsunami 2004…”
4.6.3. Sikap Informan
Berdasarkan hasil indepth interview, diperoleh informasi bahwa menurut semua informan peralatan yang paling penting disiapkan untuk menghadapi gempa
bumi sebelum terjadi gempa adalah kendaraan, dengan alasan bahwa kendaraan merupakan satu-satunya alat yang dapat mempercepat penyelamatan diri, seperti
ungkapan informan berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya sepeda motor saja…”
“Yang paling penting ya kendaraan…” “Tidak ada, ya paling kalau anak saya ya sepeda motor saja”
Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga berasumsi bahwa sikap informan yang kurang setuju tersebut juga dapat disebabkan oleh anggapan informan
yang pada umumnya mengganggap gempa bumi adalah musibah dari ALLah SWT takdir Allah SWT, seperti ungkapan informan berikut:
“Gempa bumi adalah musibah yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk menyadari perbuatannya, itu takdir dari Allah SWT,….kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak
ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya kendaraan saja…”
Berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa alasan informan yang pada umumnya tidak setuju menyediakan peralatan untuk pertolongan pertama pada
kecelakaan seperti kotak P3K dan tidak menyediakan baterai cadangan, adalah karena pendapatan keluarga yang tidak mencukupi untuk menyediakan peralatan khusus
menghadapi kondisi darurat, sehingga informan hanya menyediakan peralatan- peralatan yang benar-benar dibutuhkan saja dalam kondisi apapun, seperti ungkapan
informan berikut:
“Tidak ada persediaan apa-apa untuk obat-obat, kotak P3K juga tidak ada, kalau sakit-sakit baru berobat ke puskesmas atau ya beli saja di warung secukupnya”
“Obat-obat ringan sedikit saja yang ada, lain tidak ada….pendapatan saya pas-pasan, jadi yang dibeli, ya yang penting-penting saja….”
“… kalau baterai cadangan tidak ada karena kami pakai lampu cas, ya…saya pikir sudah cukuplah berhubung pendapatan juga pas-pasan”
“Hanya lampu cas saja yang ada di rumah, karena sekalian untuk keperluan belajar anak saya,…kalau senter dan baterai tidak ada…”
Peneliti juga memperoleh informasi mengenai sikap informan yang kurang setuju untuk menyimpan nomor telepon penting nomor telepon PMI, RS, polisi,
Universitas Sumatera Utara
pemadam kebakaran, PLN yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat, berdasarkan hasil indepth interview peneliti menyimpulkan bahwa alasan informan kurang setuju
yakni karena merasa tidak terlalu membutuhkan nomor-nomor tersebut, karena informan tidak begitu yakin dalam kondisi darurat pihak-pihak tersebut akan dapat
memberikan pertolongan secara cepat, keyakinan informan ini berdasarkan pengalamannya ketika tejadi gempa dan tsunami tahun 2004, seperti ungkapan
informan berikut:
“Tidak ada nomor-nomor telepon itu, hanya nomor saudara saja, nomor keponakan dan abang istri saya itu ada juga, yang saya katakan tadi, kalau ngungsi mungkin kami ke situ…, ya
tidak tahu juga ya, tapi belum tentu juga mereka angkat Hp kalau ditelepon, pastilah sibuk menyelamatkan diri dan keluarga sendiri…, apalagi seperti gempa dan tsunami 2004 itu…”
Hasil indepth interview juga menunjukkan bahwa pada umumnya informan menunjukkan sikap tidak setuju jika seharusnya mendengarkan informasi terlebih
dahulu tentang kondisi air laut berpotensi tsunami atau tidak, sebelum berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal setelah terjadi gempa. Adapun alasan informan
adalah pada umumnya mereka masih trauma dengan kejadian gempa dan tsunami tahun 2004, seperti ungkapan informan berikut:
“Ah tidak, saya tidak setuju…masih trauma…,karena pengalaman gempa dan tsunami 2004 dulu, saya digulung ombak sebab tidak tahu sama sekali air laut naik, makanya sekarang
kalau gempa, begitu bisa lari…ya kami lari saja terus, takut, teringat tsunami 2004…”
Peneliti juga memperoleh informasi lain mengenai sistem peringatan bencana local, berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa perangkat desa tidak
pernah memberikan pengumuman melalui pengeras suara setelah terjadi gempa bumi. Oleh karena itu, sebagai tanda peringatan bencana warga berpedoman pada air laut,
Universitas Sumatera Utara
warga sudah memahami bahwa salah satu tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa, yakni apabila air laut kering, dan tsunami tidak langsung datang, kira-kira 20
menit setelah terjadi gempa yang kuat. Informasi inilah yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh sesama warga, sebagai sistem peringatan dini bencana gempa bumi dan
tsunami, seperti kutipan wawancara berukut:
“Tidak ada apa-apa dari pemimpin desa. Untuk peringatannya, saya memang lihat sendiri air laut, kemudian saya sampaikan ke warga yang lain”
“Tidak ada apa-apa dari perangkat desa, seringnya dari sesama warga saja. Kadang-kadang informasinya dari warga yang lihat air laut setelah gempa, itulah yang disampaikan ke
warga yang lain. Tapi untuk keputusan lari atau tidak, itu tergantung pada pribadi masing- masing, yang takut-takut ya lari, ada juga yang berani, tidak lari…”
Peneliti juga memperoleh informasi senada berdasarkan hasil indepth interview
dengan informan yang mewakili perangkat desa kepala desa. Kepala desa mengakui bahwa pihaknya tidak pernah memberikan pengumuman melalui pengeras
suara kepada warga setelah terjadi gempa, dengan alasan situasi tidak memungkinkan karena kondisi darurat, sehingga semua orang lebih memfokuskan pada tindakan
penyelamatan diri masing-masing keluarga. Selain itu, informan juga yakin bahwa setiap warga telah memahami kondisi darurat ini, warga sudah tahu bahwa salah satu
tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa adalah dengan berpedoman pada air laut, seperti kutipan wawancara berikut:
“Kami memang tidak memberikan tanda peringatan apapun setelah gempa, karena tidak sempat lagi, paling ya informasi dari mulut ke mulut saja. Saya yakin warga sudah tahu
melakukan apa karena sudah pengalaman saat gempa dan tsunami 2004”
Universitas Sumatera Utara
4.6.4. Dukungan Anggota Keluarga
Hasil indepth interview mengenai dukungan anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi, yakni sebagian
besar informan mengatakan bahwa persediaan peralatan dan perlengkapan rumah tangga disediakan oleh kepala keluarga, demikian juga pemberian informasi dan
bimbingan kepada anak mengenai gempa jarang dilakukan, seperti kutipan wawancara dengan informan kepala keluarga berikut ini:
“Tidak ada, apa yang menurut saya bisa saya kerjakan, ya saya kerjakan sendiri saja…” “Jarang, anggota keluarga hanya kadang-kadang memberikan informasi tentang bencana,
kalau persediaan peralatan untuk di rumah, apa yang saya rasa perlu ya saya saja yang beli...”
“Hmmm…tidak ada sepertinya, diskusi pun jarang, paling hanya bicara sekali saja ya sudah, informasi-informasi dari anggota keluarga kadang-kadang ada…, persediaan peralatan di
rumah juga saya beli sendiri, istri ya terima saja apa yang saya bawa, tapi kadang-kadang kalau ada yang kurang dibeli juga sama istri saya di warung….kalau mengingatkan,
seringnya hanya mengingatkan Hp selalu aktif, itu saja…”
“Kalau mengenai peralatan-peralatan tadi, ya memang tidak ada, baik istri maupun anak-anak tidak pernah menyiapkan rutin, ya kadang-kadang saja kalau perlu istri saya beli di
warung,…tapi kalau lampu memang saya yang siapkan sendiri, paling istri mengingatkan saja kalau baterainya habis…”
Berdasarkan hasil indepth interview peneliti menyimpulkan bahwa alasan utama kurangnya dukungan atau keterlibatan anggota keluarga dalam menyediakan
peralatan dan perlengkapan untuk menghadapi kondisi darurat bencana gempa bumi yaitu pendapatan keluarga yang tidak mencukupi. Suami sebagai kepala keluarga
adalah satu-satunya pencari nafkah untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga, sedangkan istri semua ibu rumah tangga. Sehingga segala kebutuhan rumah tangga
pada umumnya disediakan oleh kepala keluarga sesuai dengan pendapatannya dan
Universitas Sumatera Utara
tingkat kebutuhan keluarga, seperti kutipan wawancara dengan informan yang mewakili anggota keluarga istri:
“Ya …memang suami saya yang sediakan semua, karena beliau yang kerja, jadi apa-apa yang perlu ya beliau beli langsung saja, saya paling hanya mengingatkan Hp saja selalu aktif,
kalau ada apa-apa agar mudah dihubungi…..”
Begitu pula dengan alasan utama kurangnya dukungan anggota keluarga dalam menyisihkan uang sebagai tabungan, yakni pendapatan kepala keluarga yang tidak
mencukupi, seperti ungkapan salah satu informan berikut:
“Kalau tabungan jarang, kadang-kadang kalau ada lebih uang ya ada, tapi kalau tidak lebih, apa yang disimpan…, kalau dikatakan perlu ya perlu juga, tapi kalau memang ada yang
lebih perlu ya tidak bisa disimpan juga…” “Kadang-kadang saya menyimpan uang, istri juga jarang, karena pendapatan saya pas-
pasan…”
Berdasarkan hasil indepth interview juga diketahui bahwa kurangnya dukungan anggota keluarga dalam memberikan informasi dan bimbingan kepada
anak tentang gempa, disebabkan anggapan dari anggota keluarga bahwa setiap orang sudah mengetahui cara menyelamatkan diri bila terjadi gempa, karena semua sudah
memiliki pengalaman gempa dan tsunami tahun 2004. Sedangkan untuk anak-anak yang kecil, anggota keluarga ibu khawatir anak akan semakin takut bila
diberitahukan tentang gempa, sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu tidak berani membicarakan masalah gempa bumi kepada anak, karena ibu masih memiliki rasa
trauma terhadap peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004, dan ibu juga meyakini bahwa anak juga akan merasa takut apabila hal tersebut dibicarakan, seperti kutipan
wawancara berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Diskusi atau bimbingan dalam keluarga secara khusus tidak ada, semua kan sudah tahu, saya, suami dan adik semua sudah merasakan tsunami 2004, jadi ya sudah tahulah….Sama
anak-anak juga saya tidak mengatakan apa-apa, kalau gempa anak-anak nangis”
Begitu pula menurut informan kepala keluarga, berikut kutipan wawancaranya:
“…Anak yang besar sudah tahu sendiri, kalau untuk anak yang kecil, saya tidak mengatakan apa-apa, karena dia selalu bersama saya, kalau saya kerja dia saya titip sama kakak saya di
Lambuk. Saya takut juga nanti kalau saya katakan dia pasti lebih takut lagi, karena kalau gempa dia selalu nangis, berartikan dia sangat takut”
“Istri dan anak-anak jarang juga diskusi tentang gempa, kadang-kadang sih ada, saya pikir masing-masing sudah tahu lah..”
4.6.5. Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Bencana Gempa Bumi