BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam
Menghadapi Bencana Gempa Bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh
Pengetahuan kepala keluarga mengenai kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi berdasarkan hasil penelitian terhadap 71
responden, diketahui bahwa persentase terbesar berada pada kategori cukup, yaitu sebanyak 62 KK 87,3, selebihnya berada pada kategori baik sebanyak 9 KK
12,7. Hasil analisis Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan kepala keluarga dengan kesiapsiagaan rumah tangga
dalam menghadapi bencana gempa bumi p=0,0110,05. Hasil analisis Regresi Linear Berganda menunjukkan bahwa secara statistik variabel pengetahuan
berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh p=0,0180,05. Notoatmodjo 2007 menyatakan pengetahuan adalah informasi yang
diketahui atau disadari oleh seseorang yang muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum
pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman biasanya mudah terlupakan. Pada penelitian ini, semua kepala keluarga
yang menjadi responden penelitian adalah penduduk asli Desa Deyah Raya yang telah
100
Universitas Sumatera Utara
merasakan dahsyatnya bencana gempa dan tsunami tahun 2004, sehingga pada umumnya pengetahuan responden mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana
gempa bumi kemungkinan dapat dipengaruhi oleh pengalaman dari masing-masing responden menghadapi bencana tersebut.
Tingkat pendidikan kepala keluarga berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar kepala keluarga berpendidikan SLTP 43,7 dan SLTA
28,2, sehingga secara umum terlihat hampir seluruh kepala keluarga berpendidikan menengah. Sejalan dengan hasil penelitian, tingkat pendidikan
menengah kemungkinan dapat mengakibatkan pengetahuan kepala keluarga hanya berada pada kategori cukup.
Menurut Notoatmodjo 2003, pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian serta kemampuan di dalam dan di luar sekolah, serta
berlangsung seumur hidup. Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi
yang diperoleh, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi
akan semakin luas pula pengetahuannya. Hasil penelitian LIPI-UNESCOISDR 2006 tentang kesiapsiagaan
masyarakat pedesaan Aceh menghadapi bencana, menunjukkan bahwa pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan menghadapi bencana pada masyarakat pedesaan Aceh. Selanjutnya LIPI-UNESCOISDR 2006, menjelaskan
bahwa pengetahuan merupakan faktor utama kunci kesiapsiagaan. Pengalaman bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh, Nias dan Yogyakarta serta berbagai
bencana yang terjadi diberbagai daerah lainnya memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan mengenai bencana alam.
Marpaung 2009 dalam penelitiannya tentang Sosial Ekonomi Bencana Debris Sungai Jeneberang, juga mengungkapkan hal senada, yakni adanya korelasi
antara pengetahuan dengan tindakan. Pada penelitian ini, hasil analisis Chi Square juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi p=0,0110,05. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian
masyarakat untuk siap dan siaga dalam menghadapi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.
Berdasarkan hasil indepth interview, diketahui bahwa pada umumnya informan memahami arti kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa
bumi hanyalah sebagai suatu pengetahuan mengenai cara penyelamatan diri saat terjadi gempa dan menyiapkan peralatan yang sangat diperlukan untuk mempercepat
proses penyelamatan diri tersebut. Sedangkan mengenai peralatan dan perlengkapan yang seharusnya disiapkan di rumah untuk menghadapi gempa sebelum terjadinya
gempa, semua informan berpendapat bahwa hanya kendaraanlah perlengkapan yang
Universitas Sumatera Utara
paling perlu disiapkan. Alasan informan berpendapat demikian karena didasarkan pada pengalaman gempa dan tsunami tahun 2004.
Menurut LIPIUNESCO-ISDR 2006, salah satu parameter untuk mengukur kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi, selain keluarga
mengetahui mengenai tindakan penyelamatan diri, kepala keluarga juga harus memiliki pengetahuan mengenai peralatan dan perlengkapan yang harus disiapkan
untuk menghadapi bencana sebelum terjadi bencana. Adapun peralatan tersebut adalah peralatan untuk pertolongan pertama kotak P3K dan obat-obatan ringan yang
biasa digunakan keluarga, peralatan untuk kebutuhan dasar makanan praktis dan air minum dalam botol, alat untuk penerangan alternatif lampusenter dan baterai
cadangan, menyimpan nomor telepon penting PMI, RS, polisi, pemadam kebakaran, PLN, kerabatsaudara yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat, menyisihkan
uang sebagai tabungan, dan mengikuti pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kepala keluarga berada
pada kategori cukup, dapat disebabkan karena pada umumnya kepala keluarga hanya mengetahui mengenai cara penyelamatan diri menghadapi gempa, bukan mengenai
peralatan yang seharusnya disiapkan sebelum terjadi gempa. Berdasarkan indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai
pengetahuan informan tentang tindakan penyelamatan diri saat terjadi gempa. Dari hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan informan mengenai cara
penyelamatan diri juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
informan segera berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal, setelah keluar dari rumah saat terjadi gempa, dengan alasan bahwa lokasi tempat tinggal berada di
wilayah pesisir, sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelamatkan diri jika terjadi tsunami. Meskipun demikian, ada pula sebagian kecil informan yang tetap
bertahan di lokasi tempat tinggal sebelum memastikan ada atau tidaknya tanda-tanda tsunami dengan melihat kondisi air laut. Jika air laut kering sampai kira-kira 200 m
dari pantai setelah terjadi goncangan gempa yang kuat, maka gempa berpotansi tsunami, karena dapat diperkirakan sekitar 20 menit kemudian akan terjadinya
gelombang besar tsunami dan meruntuhkan semua yang dilaluinya. Pengetahuan ini diperoleh informan berdasarkan pengalamannya masing-masing saat terjadi gempa
dan tsunami tahun 2004. Menurut Departeman Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik
2008, saat terjadi gempa bumi di dalam ruangan yang harus dilakukan adalah jangan berlari keluar rumah ketika bangunan rumah sedang digoyang gempa, sebab
bisa tertimpa reruntuhan atau tekena lemparan benda, tetaplah dalam ruangan sampai goncangan berhenti, atau keluarlah bila goncangan gempa tidak terlalu kuat.
Kemudian carilah daerah atau lokasi yang terbuka, jangan mendekati tembok berkaca dan bangunan tinggi, pohon, tiang listrik, lampu jalan, papan reklame, dan
sejenisnya, tetap merunduk, duduktengkurap sampai getaran gempa berhenti, jika di daerah pantai, usahakan posisi merunduk, berlindung, dan memegang kepala sambil
mencari informasi mengenai gempa berpotensi tsunami atau tidak. Segera bangkit
Universitas Sumatera Utara
dan lari menuju tempat yang lebih tinggi untuk menghindari bahaya tsunami jika gempa berpotensi tsunami.
Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan mengenai waktu berlari didasarkan pada kondisi emosi masing-masing informan dan
pengalamannya saat terjadinya gempa bumi dan tsunami 2004. Sesuai dengan pendapat Pieter dan Lumongga 2010, perubahan perilaku manusia juga dapat timbul
akibat kondisi emosi. Emosi adalah reaksi kompleks yang berhubungan dengan kegiatan atau perbuatan-perbuatan secara mendalam dan hasil pengalaman dari
rangsangan eksternal dan keadaan fisiologis. Bentuk-bentuk emosi dapat berupa rasa marah, gembira, bahagia, sedih, cemas, takut dan sebagainya.
Menurut Keith dan Newston 1993, pengalaman dan nilai-nilai pada diri seseorang dalam kerangka yang terorganisasi merupakan salah satu faktor dalam
mempersepsikan lingkungannya. Nasution 1999 menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan individu antara lain sosial ekonomi, kultur,
pendidikan, dan pengalaman. Green et al 1989 menyatakan pengetahuan merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya perilaku. Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti menyimpulkan bahwa pengalaman informan mengenai gempa dan tsunami tahun
2004 merupakan faktor yang sangat menentukan pengetahuannya terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi, karena seluruh
responden dan informan dalam penelitian ini adalah penduduk asli Desa Deyah Raya
Universitas Sumatera Utara
yang telah memiliki pengalaman mengenai bencana tersebut. Berdasarkan pengalaman tersebut, semua informan berpendapat bahwa hanya kendaraanlah yang
sangat perlu disiapkan untuk menghadapi bencana gempa bumi, dengan tujuan untuk mempercepat proses penyelamatan diri. Hal inilah yang menyebabkan hasil analisis
Regresi Linear Berganda menunjukkan bahwa secara statistik pengetahuan berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga
dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
5.2. Pengaruh Sikap terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam