Persentase Penggunaan Obat Rasional POR di Sarana

P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 1 42 swamedikasi oleh masyarakat maka mutu pelayanan kesehatan yang optimal dapat tercapai. Data yang diperlukan untuk mengukur keberhasilan program penggunaan obat di seluruh Indonesia adalah dengan menggunakan indikator. Penetapan persentase Penggunaan Obat Rasional di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah dilakukan melalui pemantauan indikator peresepan untuk 3 Diagnosis penyakit yaitu ISPA Non-Pneumonia, Diare Non-Spesifik dan Myalgia. Dasar pemilihan ketiga Diagnosis tersebut adalah : 1 Termasuk 10 penyakit terbanyak; 2 Diagnosis dapat ditegakkan oleh petugas tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang; 3 Pedoman terapi untuk ketiga Diagnosis jelas; 4 Tidak memerlukan antibiotikainjeksi; 5 Selama ini ketiganya dianggap potensial untuk diterapi secara tidak rasional. Adapun Pemantauan indikator peresepan terhadap 3 Diagnosis tersebut dilihat dari: 1 Penggunaan Antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia 2 Penggunaan Antibiotik pada Diare Non-Spesifik 3 Penggunaan Injeksi pada Myalgia 4 Rerata item obat per lembar resep Sesuai dengan Indikator Renstra Kemenkes 2010-2014, Presentase Penggunaan Obat Rasional POR di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah mempunyai target sebesar 40 di tahun 2011. Realisasi dari capaian indikator tersebut adalah 15,15 P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 1 43 atau sebanyak 448 Puskesmas dari 2957 Puskesmas Perawatan seluruh Indonesia. Gambar 18. Penggunaan Obat Rasional di sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah Pelaksanaan Kebijakan POR didaerah memerlukan pengorganisasian, penggerakan, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Selain itu keberhasilan pelaksanaan kebijakan POR sangat tergantung pada moral, etika, dedikasi, kompetensi, integritas, ketekunan, dan kerja keras segenap pemangku kepentingan di bidang obat. WHO menyebutkan bahwa lebih dari 50 obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif dan tidak efisien. Sementara masyarakat kesulitan mendapatkan akses untuk memperoleh obat esensial. Dari data yang diperoleh, maka penggunaan obat di Indonesia masih belum rasional, terutama penggunaan antibiotika pada penyakit ISPA NP, Diare NS, dan suntikan Myalgia dan seluruh provinsi di Indonesia masih belum rasional dalam memberikan obat 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 2010 2011 30,00 40,00 42,00 66,12 Target Realisasi P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 1 44 kepada pasien masyarakat, terlihat jelas dari data yang diperoleh pada tahun 2011 pada 3 penyakit. Oleh karena itu Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dalam mendukung penggunaan obat rasional di seluruh lapisan masyarakat, terus melaksanakan program POR, yang bertujuan demi tercapainya penggunaan obat secara rasional di seluruh institute pelayanan kesehatan termasuk swamedikasi oleh masyarakat.

D. Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan

Alat Kesehatan mempunyai peranan penting dalam menunjang diagnose penyakit atau penentuan status kesehatan seseorang. PKRT adalah alat, bahan atau campuran untuk pemeliharaan dan perawatan kesehatan untuk manusia, hewan peliharaan, rumah tangga dan tempat-tempat umum. Alat Kesehatan dan PKRT tersebut harus terjamin keamanan, mutu dan manfaatnya sehingga pada proses produksinya harus memenuhi Pedoman Cara Produksi Alat Kesehatan Yang Baik CPAKB dan Pedoman Cara Pembuatan PKRT yang Baik CPPKRTB. Kedua pedoman tersebut disesuaikan dengan standar mutu international yaitu ISO 9001 tahun 2000 yaitu Quality Mangement Sysitem Requirments dan ISO 13485 tahun 2003 yaitu Quality Management System for Medical Devices. Alat kesehatan merupakan komiditi yang menarik dan mempunyai nilai jual yang besar dan hal ini menyebabkan daya tarik bagi pelaku bisnis. Peluang ini juga menjadi daya tarik bagi pebisnis yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan peredaran alat kesehatan illegal atau substandar. Alat kesehatan palsu jarang ditemukan untuk alat kesehatan yang bertekhnologi tinggi. Umumnya dilakukan pada produk produk P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 1 45 seperti kondom, Intra Occular Lense dan IVD . Tetapi yang banyak ditemukan di negara berkembang adalah alat kesehatan yang sub standar atau kurang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik seperti sarung tangan dan masker yang dijual dengan harga murah. Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000.000 jiwa merupakan pasar yang sangat menarik bagi pelaku bisnis alat kesehatan luar maupun dalam negeri karena berbagai alasan. Di antara alas a ‐alasa terse ut adalah: jumlah penduduk yang besar yang menjadi potential buyer dari produk yang dihasilkan; 2 tersedianya angkatan kerja yang produktivitasnya masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan; 3 tersedianya sumber daya yang dapat diolah dan merupakan kebutuhan masayarakat kawasan atau dunia; 4 terpeliharanya stabilisasi di bidang politik dan semakin terbukanya ruang bagi bekerjanya mekanisme pasar; dan 5 semakin turunnya biaya yang tak terkait langsung dengan kegiatan produksi dan distribusi clean government atau good corporate governance Permasalahan lain adalah kurang optimalnya pasar yang besar dimanfaatkan oleh industri dalam negeri. Dari data yang ada di kementerian kesehatan maka alat kesehatan impor jauh lebih besar dari alat kesehatan dalam negeri. Umumnya industri alat kesehatan dalam negeri saat ini menghasilkan produk alat kesehatan yang menggunakan teknologi sederhana sampai dengan sedang anatara lain, tempat tidur pasien, tensimeter, sthetoskop, kursi roda, inkubator bayi, dental unit. Sampai saat ini kebutuhan alat kesehatan di Indonesia masih tergantung dari produk alat kesehatan import dari total penjualan alat kesehatan sebesar Rp. 6,732 Milyar, hanya sebesar Rp 260