Budaya Feodalisme Dalam Struktur Birokrasi di PTPN II

informasi dan pengetahuan mereka dari hal di luar perkebunan dan pemikiran sempit tersebut. Padahal pada dunia yang semakin mengglobal ini rasanya sangat sulit bagi satu budaya untuk tetap terus berdiri dan dipertahankan tanpa ada dipengaruhi oleh budaya lainnya. Karena dukungan dari kemajuan teknologi yang ikut berperan dalam mengubah cara pandang seseorang. Maka bukan tidak mungkin tidak akan ada lagi budaya yang murni pada daerah setempat.

4.4.2 Budaya Feodalisme Dalam Struktur Birokrasi di PTPN II

Di dalam masyarakat perkebunan terdapat kecenderungan untuk saling tergantung antara atasan dengan bawahannya ataupun sebaliknya untuk menjalankan peran dan fungsinya di PTPN II dengan sebaik-baiknya. Karena ketergantungan inilah yang membentuk suatu sistem di tataran para karyawan di PTPN II dan supaya tidak bukan merusak keseimbangan dari sistem yang telah terstruktur maka dibuatlah aturan yang mengatur berjalannya proses produksi di perkebunan. Seperti yang dikemukakan Merton Poloma, 2000:46 tentang adanya hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Di wilayah perkebunan budaya feodalisme yang telah dilestarikan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan karyawan baik di wilayah kantor maupun di lingkungan perkebunan sehari-hari. Sedangkan ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan budaya, nilai dan norma yang berlaku maka orang tersebut dikatakan berperilaku anomi. Posisi mereka dalam struktur menyebabkan beberapa orang tidak mampu bertindak menurut norma-norma Universitas Sumatera Utara yang normatif. Dimana kebudayaan menginginkan adanya beberapa jenis perilaku yang dihindari oleh struktur sosial. Apabila dikaitkan dengan kondisi karyawan yang juga sebagai masyarakat perkebunan dikarenakan bertempat tinggal di areal Perumahan PTPN dalam menyikapi budaya feodalisme yang telah tercipta adalah adanya keteraturan maka ada pula ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status didalamnya tetapi kaitannya dalam peran. Dari penjelasan para informan, dapat dikatakan bahwa kehidupan para karyawan sama-sama memiliki sifat yang ingin dianggap lebih dalam hal status sosialnya di mata orang lain. Status sosial merupakan posisi yang cenderung relatif seseorang dalam perkebunan berdasarkan penghargaan sosial yang berkaitan dengan rasa hormat, hak istimewa dan prestise sosial. Sehingga ada penetapan atau membedakan karyawan berdasarkan golongan yang ditetapkan berdasarkan masa kerja, pendidikan terakhir dan pengabdiannya selama ini. Walaupun di perkebunan Tandem Hilir dapat ditemukan karyawan dengan pendidikan terakhir SMA bahkan SMP masih dipekerjakan. Padahal jika dilihat dari pandangan Davis dan Moore Horton dan Hunt, 1992: 27-28 yang menyatakan bahwa suatu jenis pekerjaan hendaknya diberi imbalan yang lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan kepentingannya, sehingga memerlukan bakat dan pendidikan yang lebih hebat pula. Di sini membenarkan bahwa hal tersebut tidak berlaku pada masyarakat yang tidak bersifat kompetitif di mana kebanyakan jabatan pekerjaan merupakan sesuatu yang diwariskan, bukannya Universitas Sumatera Utara sesuatu yang diperoleh melalui usaha. Walaupun imbalan mencakup prestise dan pengakuan masyarakat, namun uang merupakan imbalan yang paling utama sehingga diperlukan ketidaksamarataan penghasilan agar semua jenis pekerjaan dapat diduduki oleh orang-orang yang kemampuannya cocok untuk jenis pekerjaan tersebut. Manager yang menempati posisi istimewa berhak mendapatkan hadiah atau imbalan untuk contoh teladan bagi karyawan-karyawan di perusahaan yang ia pimpin. Walaupun kemudian ada pula yang mengatakan ada kecenderungan menimbulkan kesenjangan sosial yang akan membawa dampak buruk seperti memunculkan kesempatan untuk korupsi. Fenomena korupsi di Indonesia memang dapat dikatakan telah membudaya, menjadi semacam way of life yang melibatkan banyak aktor, dan berlangsung dalam jaring-jaring korupsi yang kompleks. Namun, ini tidak berarti bahwa korupsi sudah tidak dapat ditanggulangi. Dengan perkataan lain perlu ditanamkan kepada warga Negara suatu pengertian untuk tidak menyerah dalam memberantas korupsi, dan bahwa seolah-olah korupsi sesuatu yang sudah melekat dan tidak dapat diutak-atik lagi. Untuk itu perlu dibutuhkan suatu tekad yang kuat, komitmen, dan keseriusan untuk menanggulangi korupsi. Dengan tekad dan keseriusan semacam ini, tidaklah mustahil bahwa di masa yang akan datang, Indonesia benar-benar bisa menjadi negara yang bersih dari korupsi.Winarno, 2008: 71

4.4.3 Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Menyebabkan Mobilitas Sosial