Status Keberlanjutan Multidimensi Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang
176
Samudera Hindia. Selain itu, bahwa penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan dikhawatirkan akan merusak atau berdampak negatif
terhadap kelimpahan Madidihang menjadi terabaikan. Nelayan tradisional seperti nelayan kapal sekoci, justru rumpon tersebut baik untuk digunakan,
dengan syarat teknologi yang digunakan terus dipertahankan atau ditingkatkan ke arah yang lebih efisien dan efektif, sehingga keberlanjutan dimensi ekonomi
terus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Namun demikian, tingginya nilai manfaat dari ekstraksi sumberdaya ikan
tersebut, berdasarkan dimensi sosial dan kelembagaannya masih kurang berkelanjutan. Adapun nilai indeks yang dihasilkan adalah 49.44 dan 49.57.
Apabila atribut-atribut yang memberikan sensitifitas tinggi dan berpengaruh negatif terhadap masing-masing dimensi sosial dan kelembagaan tersebut
diperbaiki, yang baik dipertahankan atau ditingkatkan, maka kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut akan semakin berkelanjutan.
Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna
dimensi lainnya harus dilakukan dan tingkatkan, sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Nilai indeks dari ke lima
dimensi yang dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang dilakukan oleh nelayan
sekoci disajikan pada Gambar 48.
Gambar 48 Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi.
177
Pada Gambar 48, dapat dilihat bahwa masih terjadi ketimpangan diantara lima dimensi yang dapat mempengaruhi status keberlanjutan dari pemanfaatan
ikan tuna di perairan ZEEI selatan Jawa, khususnya Jawa Timur. Apabila nilai indeks dari kelima dimensi tersebut dilakukan rataan, maka dihasilkan
nilaikegiatan pemanfaatan seumberdaya Madidihang oleh nelayan sekoci. rataan indeks sebesar 57.41. Artinya secara umum kegiatan penangkapan
sumberdaya ikan tuna yang dilakukan dengan menggunakan alat bantu rumpon yang disebar di perairan ZEEI selatan Jawa Timur apabila diekstraksi dengan
menggunakan kapal sekoci masih cukup keberlanjutan. Untuk menjustifikasi apakah ke lima dimensi tersebut tetap berkelanjutan atau tidak, menurut
Budiharsono 2002 tidak bisa dilihat dengan melakukan rataan dari ke lima dimensi tersebut, akan tetapi harus dilakukan uji pair wise comparison yang
diperoleh dari penilaian pakar di bidang sumberdaya ikan tuna tersebut. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dilakukan penilaian untuk kelima
dimensi tersebut yang dilakukan oleh 3 orang pakar need assessment, yaitu: 1 Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S., 2 Prof. Dr. Ir. Daniel Monintja, M.S.,
dan 3 Ir. KiAgus Azis, M.Sc. Lampiran 9. Dengan demikian, maka masing- masing indeks tersebut diferifikasi oleh dewan pakar, sehingga diperoleh skor
tertimbang. Hasil dari pembobotan tersebut disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi pemanfatan Madidihang.
No Aspek
Keberlanjutan Bobot Gabungan
Bobot Nilai Aspek
Jumlah MDS
Tertimbang Penilaian Pakar
n=3 Tertimbang
Keberlanjutan MDS
1 Ekologi
0.3484 0.3762
78.78 29.63
2 Ekonomi
0.2995 0.3234
72.60 23.48
3 Teknologi
0.1238 0.1337
72.56 9.70
4 Sosial
0.1016 0.1097
39.44 4.32
5 Kelembagaan
0.0529 0.0572
39.57 2.26
Rataan 287.09
69.39
Pada Tabel 33, dapat dilihat bahwa setelah tertimbang oleh pakar di bidang sumberdaya ikan tuna dan penangkapan, maka nilai indeks
keberlanjutan multidimensi diperoleh nilai sebesar, yaitu 69.39. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemanfaatan seumberdaya ikan tuna dengan menggunakan
kapal sekoci dan alat bantu rumpon yang di dipasang di perairan di ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur, menurut para pakar masih cukup
178
berkelanjutan. Namun demikian, agar diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang semakin baik, maka diperlukan penataan terhadap atribut-atribut yang
memiliki sensitifitas tinggi pada semua dimensi. Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 menunjukkan
nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya Madidihang di perairan ZEEI tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rapfish. Hal ini berarti bahwa
kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data
yang dilakukan secara berulang-ulang dalam keadaan stabil dan kesalahan dalam memasukan data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks
keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo
No
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Keberlanjutan perbedaan
MDS Monte Carlo
1 Ekologi
78.78 67.61
11.77 2
Ekonomi 72.60
70.70 1.90
3 Teknologi
72.56 70.98
1.58 4
Sosial 39.44
40.36 0.92
5 Kelembagaan
39.57 40.71
1.14
Hasil analisis Rapfish menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya Madidihang cukup
akurat. Hal ini dapat dilihat dari nilai stress yang berkisar antara 13.-15 dengan nilai derajat koefisien determinasi R
2
yang relatif besar, yaitu 0.94- 0.95. Dari nilai tersebut dapat diperoleh gambaran, bahwa atribut-atribut
yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan dari masing-masing dimensi, adalah cukup memadai, karena nilai stressnya masih lebih kecil dari
25 Tabel 34. Dengan demikian, perbaikan yang dilakukan terhadap atribut- atribut yang memiliki sensitif besar dan pengaruhnya negatif terhadap nilai
stastus keberlanjutan dan atribut-atibut yang memiliki nilai sensitifitas yang memberikan pengaruh positif tetap dipertahankan, maka pengembangan
pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan
179
Jawa dengan menggunakan rumpon bisa berkelanjutan, apabila digunakan armada tangkap kapal sekoci.
Tabel 34 Hasil analisis Rapfish nilai stress dan koefisien determinasi
No
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Indeks
Kategori Stress
R
2
1 Ekologi
78.7796 Cukup Berkelanjutan
0.13 0.95
2 Ekonomi
72.6006 Cukup Berkelanjutan
0.13 0.95
3 Teknologi
72.5583 Cukup Berkelanjutan
0.13 0.95
4 Sosial
39.4402 Kurang Berkelanjutan
0.15 0.95
5 Kelembagaan
39.5672 Kurang Berkelanjutan
0.14 0.95
5.
ARAHAN STRATEGI DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN UNTUK
PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP MADIDIHANG
Thunnus albacares BERBASIS MULTI DIMENSI KEBERKELANJUTAN
Pembangunan sektor perikanan tangkap pada saat ini dijadikan prioritas utama dalam pengembangan perekonomian wilayah selatan Kabupaten Malang.
Peranan sektor perikanan tangkap mulai diperhatikan oleh pemerintah Kabupaten Malang setelah berkembangnya perikanan tuna, khususnya Madidihang yang
ditangkap oleh nelayan sekoci di wilayah perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur.
Pengembangan tersebut menjadi sangat realistis mengingat Kabupaten Malang memiliki PPP Pondokdadap yang merupakan pelabuhan perikanan terbaik ke dua
setelah PPN Cilacap di Jawa Tengah di selatan Jawa. PPP Pondokdadap merupakan tempat yang aman untuk bertambat dan berlabuh kapal perikanan karena letaknya
terlindungi oleh Pulau Sempu sehingga aman dari hempasan gelombang sepanjang tahun. Keberadaan pulau Sempu membentuk selat sepanjang 4 km, lebar 600-1 500 m
dan kedalaman perairan 18-50 m sehingga menjadi tempat yang cukup ideal untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan. Lokasi PPP Pondokdadap cukup mudah diakses
melalui jalan hotmix dari kota Malang 70 km dan Surabaya 157 km dan berhadapan dengan Samudera Hindia yang memiliki potensi ikan pelagis besar yang
tinggi. Pada tahun 2010 produksi ikan hasil tangkapan nelayan Sendang Biru sekitar 4 618 754 kg dengan nilai Rp 54 016 937 195.
Dari total produksi tersebut sebagian besar merupakan ikan pelagis besar 98, terutama dari jenis ikan seperti, Madidihang Thunnus albacores, Cakalang
Katsuwonus pelamis, Bigeye tuna Thunnus obesus, Marlin Tetrapturus angustirostris
, Tompek dan Bigeye tuna Thunnus obesus, dengan proporsi masing- masing adalah 36.71, 31.45, 19.57, 9.66 dan 2.6 yang merupakan komoditas
ekspor bernilai tinggi. Dengan demikian, PPP Pondokdadap merupakan salah satu sentra tuna rakyat terbesar di Jawa Timur. Produksi tersebut dihasilkan dari hasil
tangkapan nelayan sekoci, payang, sampan pakisan, jukung, dan perahu kunting. Jumlah nelayan yang ada pada tahun 2010 adalah sejumlah 1 663 jiwa. Tingginya
kegiatan perikanan tangkap tuna tersebut, selain dapat dijadikan penggerak
pertumbuhan ekonomi regional pro-growth, penyerapan tenaga kerja pro-job, juga dapat meningkatkan penapatan masyarakat pro-poor.
Besarnya dampak positip dari pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut seringkali diikuti dengan dampak yang merugikan atau memiliki dampak negatif,
sehingga dapat menimbulkan permasalahan terhadap kelestarian dari sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa. Dengan
demikian, maka pengembangan perikanan tuna tersebut, memerlukan strategi dan perencanaan yang baik. Strategi yang diperlukan adalah interfensi kebijakan
terhadap permasalahan yang ada pada saat ini di Sendang Biru. Kebijakan harus mengacu kepada sumber masalah yang timbul akibat kegiatan perikanan tuna
tersebut dan mengacu pada aturan yang sudah ditetapkan dalam bentuk undang- undang, keputusan atau peraturan dari pemerintah provinsi atau pemerintah pusat.
Hal ini diperlukan, mengingat Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang distribusinya berada di perairan tropis dan subtropis di hampir semua negara
Collette and Nauen 1983. Di Samudera Hindia Madidihang merupakan species utama yang menjadi tangkapan banyak negara Somvanshi 2002. Artinya dalam
membuat strategi pengelolaan harus mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat internasional di samping ketentuan yang bersifat nasional ataupun
regional. Acuan yang dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan tuna adalah kebijakan yang dapat mendorong kegiatan perikanan tangkap dengan
memperhatikan aspek-aspek ekologis lingkungan, bersifat ramah lingkungan friendly fishing method, sebagaimana yang disyaratkan dalam Code of Conduct
for Responsible Fisheries CCRF dalam ketentuan FAO 1999.
Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya ikan tuna harus dilakukan atas partisipasi nelayan sebagai pelaku, disamping stakeholders lainnya
yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kelestarian dan kelimpahan ikan tuna. Konsep keberlanjutan paling tidak mengandung dua
dimensi: Pertama, adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kedua, adalah dimensi
interaksi antara sistem ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan Heal 1998 dalam
Fauzi 2004. Dalam menyusun strategi kebijakan tersebut, agar diperoleh hasil yang optimal harus memperhatikan kompleksitas dalam pengelolaannya.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat
bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Dalam kaitannya dengan aktivitas pembangunan perikanan dan konsep keberlanjutan, menurut Bengen 2004
bahwa terdapat tiga opsi yakni: 1 aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif sama sekali terhadap lingkungan, 2 aktivitas yang hanya sedikit dampak
negatifnya dan 3 aktivitas yang menimbulkan perubahan besar terhadap lingkungan. Dengan demikian, agar dalam pembangunan terus berkelanjutan,
maka dimensi ekonomi perlu diperhatikan. Pembangunan tersebut dilakukan, pada hakekatnya adalah mengekstrasi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi.
Ekstraksi sumberdaya tersebut membutuhkan teknologi dan peraturan, sehingga selain dimensi ekologi dan ekonomi perlu di kaji dimensi lainnya, yaitu dimensi
teknologi, kelembagaan dan sosial. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka untuk memudahkan pembuatan
kebijakan yang dapat mendorong pengembangan dalam pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang bekelanjutan, maka diperlukan strategi pengelolaan yang
memperhatikan aspek-aspek atau atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan tersebut. Strategi kebijakan pengembangan perikanan
Madidihang yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru, dapat dimulai dengan mengurut prioritas dimensi dan atribut prioritas dalam setiap dimensi yang perlu
diungkit atau diperbaiki. Untuk mengetahui prioritas yang perlu diperbaiki atau diungkit, maka dilakukan penentuan prioritas dimensi dengan melakukan
pengurutan nilai dari indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, kemudian dimensi yang memiliki nilai indeks lebih rendah dianggap sebagai dimensi yang
harus dikelola atau diperbaiki. Berdasarkan urutan dari indeks dimensi keberlanjutan kegiatan perikanan
tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci Sendang Biru dalam penelitian ini diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang harus diprioritaskan, berdasarkan
urutan dimensinya, yaitu:1 sosial, 2 kelembagaan, 3 ekologi, 4 teknologi dan ekonomi Tabel 35.
Tabel 35 Urutan prioritas dimensi hasil analisis Rapfish untuk nilai stress dan koefisien determinasi
No Prioritas
Nilai Indeks Kategori
1 Sosial
39.4402 Kurang Berkelanjutan
2 Kelembagaan
39.5672 Kurang Berkelanjutan
3 Ekologi
78.7793 Sangat Berkelanjutan
4 Teknologi
72.5583 Cukup Berkelanjutan
5 Ekonomi
72.6006 Cukup Berkelanjutan
Dari Tabel 35 menunjukkan bahwa dimensi sosial memiliki nilai indeks yang paling rendah, disusul dengan dimensi kelembagaan. Dengan demikian,
atribut-atribut yang memiliki sensitifitas tinggi dan mempengaruhi status keberlanjutan ke arah yang kurang baik diprioritaskan untuk diperbaiki, terutama
yang memungkinkan untuk dilakukan perbaikan atau interfensi. Interfensi dilakukan dengan pertimbangan:1 rasional, 2 tersedia sumberdaya manusianya,
3 kemampuan keuangan, dan 4 secara teknis bisa diimplementasikan. Namun demikian, selain dari dua dimensi tersebut atribut dari dimensi ekologi, ekonomi
dan teknologi yang memberikan nilai sensitifitas besar dan mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan tetap diprioritaskan untuk diperbaiki. Sedangkan atribut-
atribut yang memiliki sensitifitas rendah dan berparuh positif terhadap nilai indeks status keberlanjutan dipertahankan dan dilakukan peningkatan apabila
dimungkinkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka atribut-atribut dari ke lima
dimensi selanjutnya disusun berdasarkan urutan prioritas dengan indikator nilai RMS. Prioritas urutan di mulai dari atribut yang memiliki nilai RMS yang paling
besar. Selanjutanya strategi yang dilakukan adalah interfensi terhadap masing- masing atribut yang disusun dalam tindakan berdasarkan prioritas jangka waktu,
yaitu jangka pendek dan menengah. Penentuan rentang waktu tersebut, untuk jangka pendek dan menengah adalah 1-5 tahun dan 5-10 tahun. Pertimbangan
tersebut didasarkan kepada lamanya kepemimpinan dari kepala pemerintah daerah. Ketentuan perubahan atribut adalah untuk atribut yang diinterfensi sebagai
prioritas jangka pendek, skor dari atribut yang diinterfensi meningkat satu skala dan 2 skala atau maksimal untuk prioritas jangka menengah. Interfensi atau
perbaikan tersebut merupakan strategi yang akan dilakukan dalam bentuk kebijakan operasional yang mungkin bisa dilakukan dan disesuaikan dengan
pertimbangan rasionalitas, ketersediaan biaya, ketersediaan SDM dan dapat dengan mudah untuk dilakukan. Bentuk interfensi dan perubahan skala dari
atribut-atribut pada masing-masing dimensi di sajikan pada Tabel 36. Dari hasil skoring dan penentuan jangka waktu pelaksanaan, selanjutnya
dilakukan sekenario kebijakkan operasional dalam bentuk program jangka pendek dan menengah. Selanjutnya untuk masing-masing skenario tersebut dievaluasi
perubahan indeks multidimensinya dengan menggunakan analisis Rapfish, seperti tersaji pada Tabel 36.
Tabel 36 Prioritas atribut yang diinterfensi pada masing-masing dimensi
No Dimensi
Atribut Nilai
RMS Skor
awal PerbaikanInterfensi
Skor akhir
Keterangan 1
Sosial 1. Pendidikan
formal 6.82
Pelatihan penangkapan ikan 1
Jangka pendek 2. Keterlibatan
nelayan 4.43
1 Pelibatan nelayan
2 Jangka pendek
3. Status konflik
3.92 Resolusi Konflik
1 Jangka pendek
4. Pengalaman nelayan
3.71 1
Pelatihan Keselamatan Melaut
1 Jangka pendek
2 Kelemba-
gaan 1. Kondisi dan
Kapasitas PPP
Pondokdadap 6.74
1. Perluasan dermaga 2
Jangka menengah 2. Pengadaan konveyor
2 Jangka Menengah
3. Perbaikan fasilitas TPI 1
Jangka pendek 4. Pengadaan fasilitas transit
sheed 2
Jangka menengah 5. Pengadaan Lab. Mutu
1 Jangka menengah
6. Penempatan Care master 1
Jangka pendek 7. Penyedian air
1 Jangka pendek
8. Penyedian es 1
Jangka pendek 9. Pengadaan docksleepway
2 Jangka menengah
10. Perbaikan sistem lelang 1
Jangka pendek 11.Pelatihan
manajemen pelabuhan
1 Jangka pendek
12.Pelatihan sistem lelang 1
Jangka pendek 2. Perusahaan
Inti 6.74
Pola kemitraan 2
Jangka Menengah 3. KUD Mina
JayaLEPM 3.22
1 1. Pelatihan Administrasi
Keuangan 2. Pelatihan
sistem pelelangan
3. Pelatihan tentang Koperasi 4. Pelatihan tentang logistik
2 Jangka Pendek
4. Kel.Nelayan Rukun Jaya
3.22 1
Pembentukan Koperasi Perikanan
2 Jangka Menengah
3 Ekologi
Spesies Tangkapan
13.3 2
2 Non-interfensi
4 Ekonomi
Transfer keuntungan
9.55 Pengd. Cold storage
Pabrik es 1
Jangka Menengah 5
Teknologi Proses
Pengawetan 5.74
1 Pelatihan pasca panen
2 Jangka pendek
Pengolahan Pasca tangkap
4 1
Pelatihan pasca panen 2
Jangka pendek
5.1 Skenario dan Strategi Jangka Pendek Kebijakan Operasional Pengembangan Perikanan Madidihang di Sendang Biru
Strategi yang dilakukan adalah membuat skenario dalam bentuk kebijakan operasional yang dapat dilakukan pada jangka pendek. Adapun strategi yang
dilakukan adalah interfensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dari masing-masing
dimensi. Kebijakan operasional yang di lakukan pada dimensi sosial, adalah program yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan soft
skill dari nelayan dan nahkoda kapal yang memiliki tingkat pendidikan formal
rendah dan pengalaman rendah. Program yang diusulkan dalam skenario tersebut adalah pelatihan tentang penangkapan dan keselamatan melaut. Hal ini penting
untuk dilakukan mengingat kapal yang digunakan adalah kapal berukuran kecil panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 dengan bobot 10 GT. Kapal tersebut,
sangat rentan terhadap perubahan cuaca oseanografi di perairan Samudera Hindia yang sangat dipengaruhi oleh angin muson. Sedangkan pelatihan tentang
penangkapan dilakukan untuk memberikan landasan mengenai prilaku tuna yang berada di rumpon dan penyampaian informasi tentang pengaruh hidro-oseanografi
terhadap keberadaan ikan. Sehingga diketahui metode yang tepat, dan alat tangkap yang pas untuk menangkap ikan tuna yang berukuran sesuai dengan kriteria pasar.
Pemecahan masalah adanya konflik sudah dilakukan nelayan Pekalongan dan nelayan Sendang Biru yang dimediasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
Pemprov Jatim dan Jateng, bahkan sudah dituangkan dalam nota kesepahaman bersama. Agar nota kesepahaman tersebut dapat berjalan dengan efektif, maka
diperlukan resolusi ditingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat nasional. Keterlibatan nelayan dalam pembuatan aturan atau kebijakan mengenai kegiatan
tangkap sampai saat ini belum dilibatkan secara maksimal, padahal sebagai pelaku utama seharusnya terlibat langsung. Peningkatan keterlibatan nelayan, akan
memberikan dampak terhadap keberhasilan penyelesaian masalah yang terjadi di area tangkap maupun di daratan, baik permasalahan yang menyangkut konflik
sosial, kelembagaan, dan lingkungan akan mudah di pecahkan apabila para pelaku memahami ketentuan atau aturan yang telah disepakati bersama.
Kebijakan operasional yang dilakukan terhadap dimensi kelembagaan dilakukan kepada atribut yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap status
keberlanjutan, yaitu atribut PPP Pondokdadap dan KUD Mina dan LEPPM3 serta atribut Keberadaan PPP Pondokdadap sangat menentukan tingkat keberhasilan
kegiatan perikanan tuna, karena memiliki fungsi utama dalam hal pendaratan dan pemasaran ikan. Oleh karena ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak,
maka memerlukan penanganan cepat, higienis, aman dari benturan, terhindar dari sengatan sinar matahari dan terhindar dari organisme yang bersifat pathogen,
seperti bakteri salmonella dan e colli. Interfensi yang dilakukan terhadap atribut PPP Pondokdadap, dilakukan dalam upaya mengefektifkan fungsi operasional
dari pelabuhan perikanan pantai, seperti tertuang dalam pasal 22 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 16Men2006. Dalam pasal 22 tertuang
tentang prasyarat dari pelabuhan dengan kualifikasi pelabuhan perikanan pantai, yang meliputi fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Pada saat ini PPP
Pondokdadap sedang dikembangkan, sehingga usulan pada skenario jangka pendek tersebut sangat mungkin untuk dilakukan. Sedangkan untuk kebijakan
operasional yang dilakukan terhadap KUD Mina Jaya, adalah yang berkaitan perbaikan administrasi dan manajemen keuangan, dan logistikperbekalan. Hal ini
penting untuk dilakukan mengingat KUD Mina Jaya memiliki peranan yang sangat strategis, selain penyedia BBM solar, es dan bahan sembako kebutuhan
melaut, peran penting lain dari KUD Mina Jaya adalah bertindak sebagai pelaksana pelelangan ikan di TPI dan pemungut uang restribusi. Pengetahuan
tentang adminitrasi dan keuangan, logistik dan sistem pelelangan mutlak harus dilakukan, mengingat hampir semua SDM yang ada di KUD Mina Jaya masih
berpendidikan rendah. Fungsi utama dari koperasi sering kali tidak berjalan, sehingga diperlukan juga pengetahuan tentang perkoperasian. Kebijakan
operasional dari masing-masing atribut yang harus diperbaiki tersaji dalam Tabel 36.
Adanya interfensi atau tindakan perbaikan pada dimensi sosial dan kelembagaan, pada skenerio ke-1, mengakibatkan dampak positip terhadap atribut
pada dimensi ekologi, yaitu atribut pemahaman nelayan terhadap lingkungan. Hal ini terjadi sebagai akibat peningkatan pemahaman dari nelayan terhadap
sumberdaya dan lingkungan setelah adanya pelatihan dalam interfensi atribut dimensi sosial. Sedangkan perubahan pada atribut Kondisi dan kapasitas PPP
Pondokdadap memiliki keterkaitan dengan atribut-atribut pada dimensi teknologi dan perubahan harga ikan pada dimensi ekonomi.
Perubahan yang terjadi pada atribut proses pengawetan dan penanganan pasca tangkap. Hal ini terjadi atas sikap nelayan, yang menginginkan adanya
perubahan sistem pelelangan dan penambahan fasilitas bertambat, berlabuh, TPI, ketersediaan air, es dan care master untuk menentukan kualitas ikan hasil
tangkapannya. Apabila terjadi perbaikan dalam sistem pelelangan dengan penentuan harga pokok lelang atas dasar kualitas ikan, maka nelayan akan
melakukan penanganan dan pengawetan yang baik di atas kapal. Dengan dilakukannya penanganan di atas kapal, maka akan terjadi perubahan pada atribut
harga dan terjadi peningkatan pendapatan pada dimensi ekonomi Tabel 37. T
abel 37 Perubahan kenaikan atribut dan indikator kebijakan operasioanal pada skenario jangka pendek
No Dimensi
Atribut Perubahan
skor Indikator Keberhasilan
Awal Akhir
1 Ekologi
Pemahaman thd Lingkungan 1
Mengerti akan lingkungan, tidak merubah alat tangkap dari hand line ke purse seine
2 Ekonomi
1. Harga ikan 3
4 Harga jual ikan naik USD 3000 Kg.
2. PDRB 2
Pendapatan dari Restribusi naik PAD Besar 3
Teknologi 1. Penanganan
pasca tangkap
1 2
Melakukan Gutting, viceral 2. Pengawetan
1 2
Adanya palka es curah dry es mutu ikan baik segar, kenyal, insang dan mata merah, bau
amis., mengkilat 70 untuk loin dan steak 4
Sosial 1. Pendidikan
formal Nelayan
1 Ketrampilan menangkap ikan meningkat hasil
tangkapan baik kualitas dan kuantitasnya meningkat
3. Keterlibatan Nelayan dlm membuat kebijakan
1 2
Mengerti dan melaksanakan peraturan 4. Status konflik
1 Tingkat atau kejadian konplik rendah
5. Pengalaman nelayan 1
2 Skill
meningkat tidak kecelakaan menurun 5
Kelembagaan Kondisi PPP Pondokdadap
2 Fasilitas
TPI bersih,
hygienis, tingkat
pencemaran rendah, tersedia air, es dan sistem pelelangan fair, ada care master, ikan tuna di
grade berdasarkan standar mutu
Penerapan kebijakan operasional jangka pendek pada dimensi-dimensi yang memiliki atribut dengan nilai sensitifitas tinggi, apabila kebijakan operasional bisa
berjalan sesuai dengan skenario jangka pendek, maka tingkat status keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersebut mengalami peningkatan yang nyata seperti
nampak pada Gambar 49.
Gambar 49 Diagram layang-layang nilai keberlanjutan setiap dimensi pada penerapan kebijakan operasional jangka pendek.
Pada Gambar 49 menunjukan bahwa indeks status keberlanjutan dimensi yang memiliki indeks status dalam kategori kurang berkelanjutan meningkat
menjadi cukup keberlajutan. Perubahan yang terjadi pada peningkatan indek keberlanjutan pada dimensi sosial dan kelembagaan, berdampak positip terhadap
perubahan nilai indeks status pada dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi, yaitu yang semula memiliki kategori status cukup berkelanjutan, berubah menjadi
sangat berkelanjutan Dengan demikian, terjadinya peningkatan kategori status pada masing-
masing dimensi tersebut, diikuti peningkatan status keberlanjutan secara multidimensi. Nilai indeks keberlanjutan dari multidemensi, setelah diferikasi
oleh pakar pada analisis pairwise comparrison diperoleh nilai indeks sebesar 69.39 dengan kategori cukup berkelanjutan. Namun demikian, setelah dilakukan
perbaikan-perbaikan pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dan berpengaruh secara negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan pada skenerio ke-
1, maka nilai indeks stastusnya menjadi 78.75 dengan kategori sangat berkelanjutan Tabel 38. Hal ini berarti, apabila dilakukan perbaikan sesuai
dengan arahan kebijakan operasional tersebut, kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci dapat diunggulkan sebagai kegiatan perikanan
tuna tradisional artisanal yang berkelanjutan.
Tabel 38 Nilai indeks keberlanjutan pada skenario 1
No. Aspek
Keberlanjutan Bobot
Gabungan Penilaian
Pakar n=3 Bobot
Tertimbang Nilai Aspek
Keberlanjutan Jumlah Nilai
Skenario 1 Monte
Carlo Tanpa
skenerio Skenerio
1 1
Ekologi 0.3484
0.3762 89.35
76.02 29.63
33.61 2
Ekonomi 0.2995
0.3234 75.64
73.56 23.48
24.46 3
Teknologi 0.1238
0.1337 81.41
76.7 9.70
10.88 4
Sosial 0.1016
0.1097 54.56
53.83 4.32
5.98 5
Kelembagaan 0.0529
0.0572 66.72
65.05 2.26
3.81 Jumlah
0.9262 1.0000
367.67 69.39
78.75
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kebijakan pengembangan perikanan Madidihang yang harus dijalankan adalah kebijakan yang bertujuan
untuk mengatasi permasalahan yang bersifat komprehensif yaitu lemahnya perhatian dalam pengelolaan yang mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan
Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur sebagaimana terungkap pada analisis Rapfish dan pairwise comparison. Adapun kebijakan
yang dirumuskan pada program operasional jangka pendek dikelompokkan dan diprioritaskan sebagai berikut:
1 Peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaan pada kegiatan perikanan Madidihang di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang
Biru dimensi kelembagaan. 2 Peningkatan kapasitas nelayan dan penyelesaian konflik dimensi sosial.
3 Peningkatan kualitas ikan hasil tangkapan dimensi teknologi. Kebijakan peningkatan kapasitas diarahkan kepada perbaikan kualitas fasilitas
tempat pelelangan ikan, penyediaan air, es dan pengawas mutu care master dan sistem pelelangan serta perbaikan manajemen KUD Mina Jaya sebagai
penyelenggara lelang dan penyedia kebutuhan melaut serta penyedia modal bagi nelayan. Kebijakan tersebut mempunyai tujuan untuk memperbaiki kualitas ikan
yang dipasarkan, sistem lelang yang fair sehingga diperoleh harga yang wajar dan terciptanya pendapatan hasil penjualan yang tinggi, sehingga sehingga pendapatan
nelayan meningkat. Kebijakan peningkatan kapasitas nelayan dan penyelesaian konflik
mempunyai tujuan yaitu meningkatkan kualitas SDM nelayan sehingga memperkuat sektor penangkapan sebagaimana tersaji pada Tabel 39.
Tabel 39 Strategi dan program implementasi kebijakan pengembangan kapasitas kelembagaan, sosial dan teknologi pada kegiatan perikanan Madidihang
di PPP Pondokdadap pada program jangka pendek No Strategi
Program Pelaksana
1
Peningkatan kapasitas dan
kualitas PPP Pondokdadap
1. Perbaikan lantai TPI dengan pemberian alas dari kayu
2. Pengadaan air bersih dan es DPK Pemprov
Jatim
2 Peningkatan
kualitas SDM Pengelola PPP
Pondokdadap Petugas PPI
dan KUD Mina Jaya
3. Pelatihan manajemen pelabuhan perikanan
4. Pelatihan sistem pelelangan 5. Penyusunan pedoman dan
aturan sistem pelelangan 6. Efektivitas monev di PPP
7. Perbaikan catatan data hasil dan harga ikan di PPP Pondokdadap
8. Penyediaan informasi harga ikan dipasar
DKP Kab. Malang, DPK
Pemprov Jatim, Dinas Koperasi
Kabupaten Malang
3 Standarisasi
ikan berdasarkan
kualitas 9. Penempatan care master
10. Pembuatan Perda tentang sistem dan pelaksanaan lelang
11. Pelaksanaan lelang terbuka 12. Penegakan aturan sistem
pelelangan
DPK Kab Malang dan KUD Mina
Jaya dan Kelompok Nelayan
4 Peningkatan
Kapasitas dan kualitas SDM
KUD Mina Jaya dan LEPM3
13. Peningkatan kualitas SDM melalui 14. Pelatihan tentang adminitrasi dan
keuangan, logistik, koperasi dan sistem lelang
15. Pengembangan dan penguatan Modal pada KUD Mina Jaya dan
LEPM3 16. Peningkatan dan pengalihan
penggunaan Modal di LEPM3 kepada KUB Nelayan
Dinas Koperasi dan DKP
Kabupaten Malang
5 Peningkatan
kapasitas dan kualitas SDM
nelayan sekoci 17. Peningkatan kualitas SDM melalui
pelatihan tentang penangkapan ikan, keselamatan melaut
18. Pelibatan nelayan dalam pembuatan Kebijakan
DKP Kabupaten Malang
6 Penyelesaian
konflik illegal fishing
di rumpon nelayan
sekoci 19. Resolusi konflik antara nelayan
sekoci dengan nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke
serta nelayan long line Benoa. 20. Pembentukan Pokwasmas bersama
21. Perlindungan dan pengaturan rumpon nelayan sekoci
KKP, DPK Pemprov Jatim,
DKP Kab. Malang, Kelompok
Nelayan, TNI AL, POLAIRUD
7 Peningkatan
Mutu Hasil pasca tangkap
22. Pelatihan penanganan pasca tangkap di kapal
23. Pelatihan proses pengawetan ikan 24. Pelatihan dan penguatan pemasaran
DPK Pemprov Jatim, DKP Kab
Malang dan Kel. Nelayan Rukun
Jaya
Meningkatnya keterlibatan nelayan dalam pertemuan formal dan penyusunan pembuatan kebijakan dapat menurunkan frekuensi konflik nelayan
dan pemahaman yang tinggi dari nelayan terhadap kelestarian sumberdaya Madidihang. Sedangkan kebijakan pengembangan teknologi penangkapan
diarahkan kepada proses penanganan dan pengawetan ikan hasil tangkapan di atas kapal, sehingga diperoleh ikan yang bermutu tinggi dan memiliki nilai jual tinggi.
Diharapkan dengan diperolehnya nilai jual ikan yang tinggi, akan berdampak terhadap selektivitas alat tangkap, terkontrolnya penggunaan rumpon, sehingga
penerapan teknologi penangkapan yang dilakukan dapat menjaga kelestarian sumberdaya Madidihang yang berkelanjutan
Untuk mencapai sasaran sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan, maka dirumuskan program
‐
program jangka pendek dalam pengembangan perikanan Madidihang di PPP Pondokdadap Sendang Biru.
Program-program ini dibuat berdasarkan atribut-atribut sensitif yang telah diuraikan dalam analisis Rapfish dan dirasakan sangat diperlukan untuk segera
dilaksanakan dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Program
pengembangan perikanan Madidihang pada jangka pendeknya seperti tersaji pada Tabel 39 di atas apabila dapat dilaksanakan dengan baik, niscaya kegiatan
perikanan tangkap yang dilakukan nelayan sekoci nelayan PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang akan berkelanjutan.
5.2 Skenario dan Strategi Jangka Menengah Kebijakan Operasional Pengembangan Perikanan Madidihang di Sendang Biru
Pada skenario jangka menengah, strategi yang dilakukan adalah menyusun kebijakan yang dapat dioperasionalkan dalam jangka menengah, yaitu dengan
melakukan interfensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi, terutama yang terdapat
dalam dimensi kelembagaan, yaitu atribut perusahaan inti dan PPP Pondokdadap. Kebijakan operasional jangka menengah ini disusun atas dasar pertimbangan:1
tingkat kesulitan, 2 besaran anggaran dan 3 pembangunan dan proses membutuhkan waktu dan ruang. Bentuk interfensi dari masing-masing atribut
pada setiap dimensi perubahannya tersaji pada Tabel 40.
T abel 40 Perubahan kenaikan atribut dan indikator kebijakan operasioanal pada
skenario jangka menengah
No Dimensi
Atribut Perubahan
skor Indikator Keberhasilan
Awl Akh
1 Ekologi
1. Pemahaman thd Lingkungan
1 Mengerti akan lingkungan, tidak merubah alat
tangkap dari hand line menjadi purse seine 2. Ikan belum matang
gonad 1
2 Yang belum matang gonad 10 kg dibawah 10.
Ikan besar 10 kg di atas 90 2
Ekonomi 1. Harga ikan
3 5
Harga ikan tinggi USD 3 000ton 2. PDRB
1 Restribusi naik
3. Transfer keuntungan 1
Berada di Kabupaten Malang 50. 3
Teknologi 1. Penanganan
pasca tangkap
1 2
Melakukan Gutting, visceral, 2. Pengawetan
1 2
Proses pengawetan rantai dingin Chilled, mutu ikan baik 70 kualitas loin
4 Sosial
1. Pendidikan formal 2
Ketrampilan meningkat 2. Keterlibatan
Nelayan dlm membuat kebijakan
1 2
Mengerti dan
melaksanakan peraturan
dan kesepakatan
3. Status konflik 1
sedikit terjadi Konplik 4. Pengalaman nelayan
1 2
Skill meningkat 5
Kelembagaan 1. Kondisi PPP
Pondokdadap 2
Fasilitas TPI bersih, tersedia air, es dan sistem pelelangan fair, ada care master, ikan tuna di grade
berdasarkan standar mutu, tersedia laboratorium, perluasan dermaga, adanya transit sheed, adanya
conveyor , tersedia docksleepway,
2. Perusahaan Inti 2
Kemitraan Inti-plasma dengan nelayan Sendang Biru
3. Kel.Nelyn Rukun Jaya 3.22
2 Pembentukan Koperasi Perikanan
Pada atribut PPP Pondokdadap, kebijakan operasional yang dilakukan adalah berkaitan dengan efektivitas fungsi pelabuhan perikanan sebagaimana
tertuang dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 tahun 2006 tentang pelabuhan perikanan. Pasal 4 dalam peraturan fungsi dari pelabuhan
perikanan dinyatakan bahwa fungsi dari pelabuhan perikanan, yaitu berfungsi untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dukungan yang harus dilakukan
oleh pelabuhan perikanan tersebut, adalah: 1 pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, 2 pelayanan bongkar muat, 3
pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, 4 pemasaran dan distribusi ikan, 5 pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, 6
pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, 7 pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, 8 pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sumber daya ikan, 9 pelaksanaan kesyahbandaran, 10 pelaksanaan fungsi karantina ikan, 11 publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, 12
pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari, dan 13 pengendalian lingkungan kebersihan, keamanan, dan ketertiban K3. Selanjutanya pada pasal 22 ayat 1
disebutkan untuk mendukung dari fungsi di atas, maka pelabuhan harus memiliki fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Paling tidak tersedianya fasilitas yang
wajib ada pada pelabuhan perikanan untuk operasional tersebut pasal 23, diantaranya yaitu:1 penyediaan fasilitas pokok: dermaga, kolam perairan, dan
alur perairan, 2 pengadaan filitas fungsional: kantor, air bersih, listrik, dan fasilitas penanganan ikan.
Berdasarkan fungsi pokok tersebut maka dalam memperbaiki atribut PPP Pondokdadap, kebijakan operasional yang dimasukkan dalam skenario jangka
menengah adalah perbaikan fasilitas pokok, yaitu perluasan dermada dan pengadaan fasilitas penunjang yang berkaitan dengan peningkatan mutu hasil
tangkapan, seperti pengadaan konveyor, transit sheed, laboratorium mutu. Hal ini penting dilakukan, mengingat daya tampung dari dermaga yang ada sudah
melampaui kapasitas tampung. Sedangkan konveyor dan transit sheed dirancang untuk mempercepat proses bongkar muat ikan dari kapal, terutama untuk
Madidihang, yang membutuhkan penanganan khusus, agar terhindar dari benturan fisik dan kontaminasi mikroba pada saat pembongkaran. Sedangkan pengadaan
fasilitas transit sheed, dimaksudkan agar Madidihang terhindar dari kontaminasi, pada saat menjelang dilakukan lelang dan pengukuran kualitas ikan, seperti
ukuran ketebalan lemak, warna daging, dan kandungan dari bakteri e.coli dan salmonella dan TPC, terutama untuk tuna berukuran besar yang ditujukan untuk
pembuatan loin, steak bahkan shasimi. Selanjutnya pengadaan docksleepway, dimaksudkan agar fungsi pelabuhan
dapat efektif dalam hal pengendalian lingkungan kebersihan, keamanan, ketertiban dan pencemaran. Selama ini fungsi pengendalian tersebut belum
berfungsi, sehingga nelayan mengganti oli dan memperbaiki kapal yang rusak dilakukan di tepi pantai, sehingga apabila dibiarkan terus menerus akan terjadi
pencemaran di wilayah pesisir Sendang Biru. Perusahaan inti, dalam atribut kelembagaan menjadi atribut yang sangat
sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dari sistem perikanan tuna yang di lakukan oleh nelayan skala kecil seperti nelayan Sendang Biru. Kehadiran
perusahaan besar yang bergerak dalam pengolahan tuna, pada saat ini diharapkan oleh nelayan Sendang Biru. Perusahaan yang menampung tuna hasil tangkapan
nelayan Sendang Biru, pada umumnya adalah perusahaan yang bergerak dalam pengalengan, seperti PT Aneka Tuna Indonesia di Pasuruan dan PT Avila di
Banyuwangi. Perusahaan pengalengan tersebut, tidak ketat dalam menentukan standar mutu, sehingga kondisi tuna yang ada di Sendang Biru, khususnya
Madidihang sebagian besar terserap oleh perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut mengambil keuntungan dari buruknya kondisi PPP Pondokdadap pada saat ini,
yaitu diperolehnya harga Madidihang yang murah, namun masih masuk pada standar mutu bahan baku pengalengan. Sehingga hampir semua pedagang antara
ikan tuna yang ada di Sendang Biru merupakan agen dari ke dua perusahaan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, terdapat presepsi pada nelayan bahwa
proses lelang dilakukan atas dasar kesepakatan diantara para pedagang antara, sehingga harga ikan pada saat pelelangan menjadi murah. Untuk mengantisipasi
permasalah tersebut, maka diperlukan perusahaan yang bergerak dalam pengolahan ikan tuna dalam bentuk lain, seperti pengolah loin, steak dan shashimi
yang menuntut standar kualitas tinggi. Namun demikian, pada saat ini belum banyak perusahaan yang tergerak untuk mengolah Madidihang hasil tangkapan
Sendang Biru menjadi bahan loin, steak dan shasimi, karena sebagain besar 70 produksi tuna hasil tangkapan nelayan Sendang Biru, masuk kategori
rendah, yaitu hanya sesuai untuk proses pengalengan. Selain alasan tersebut, tidak banyak perusahaan yang mampu bersaing dalam perdagangan tuna dunia, karena
dalam konteks perdagangan dunia, banyak hambatannya, seperti adanya kebijakan tarif dan non-tarif yang dikenakan oleh negara tujuan ekspor Indonesia.
Hambatan non tarif yang diterapkan kepada produksi tuna Indonesia diantaranya adalah penerapan bea tarif masuk untuk tuna loin dan kaleng ke Uni
Erofa UE sebesar 24. Indonesia dikenakan tarif sebesar 12 melalui kuota ekspor yang di treviem setiap 5 tahun sekali. Jepang menerapkan tarif masuk
sebesar 10-15 dan USA sebesar 10-15. Indonesia mendapat fasilitas tarif sebesar 3.5 melalui Generalized system of preference GSM ke UE, sementara
negara-negara ACP Afrika,Caribian dan Pasific dikenakan 0. Hambatan non tarif lainya, adalah diberlakukannya kuota. Indonesia dibatasi dengan kuota,
kuota ekspor Indonesia untuk pasar UE sebesar 11 untuk tuna segar dan 12 untuk tuna olahan. Selain hambatan tarif, tuna Indonesia menghadapi hambatan
non tarif, yaitu: 1 Technical Barrier to trade TBT, yaitu hambatan yang berkaitan dengan regulasi teknis, prosedur konformitas food labeling, quality
requirements for fresh food, packaging dan processed food, product quality, labeling dan eco-labeling, tagging,
2 sanitary and phyto sanitary SPS, yaitu hambatan yang terkait dengan aplikasi regulasi untuk kesehatan manusia, hewan
dan tanaman contaminant on sea food,residues and poisonous substances in sea food, health certificate, viruses free zones, genetical modified of organism, a
higher level of health protection dan 3 issue lainnya yang menyangkut IUU
fishing, compliance issue, subsidi, isu lingkungan dan perdaganan lainnya
Hutagalung 2008. Berdasarkan kompleksitas dari perdagangan tuna, maka agar hasil
tangkapan tuna nelayan Sendang Biru dapat dipasarkan, maka dalam pengembangan lebih lanjut harus ada pola kemitraan antara perusahaan dengan
nelayan yang sinergis dalam bentuk plasma-inti. Perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan multinasional yang sudah terpercaya, ditingkat nasional dan
internasional, memiliki pasar luas dan memiliki kepedulian terhadap nelayan kecil. Dalam kebijakan operasional ini di usulkan adalah PT Kelola Mina Laut,
karena pada saat ini perusahaan tersebut sedang melakukan pola kemitraan dengan nelayan tuna di Lombok Najikh 2010. Agar terjadi pola yang sinergis,
maka kelompok nelayan Sendang Biru diperbaiki dengan cara peningkatan status atau pembentukan koperasi nelayan seperti yang dilakukan oleh nelayan di
Nagasaki Jepang. Berdasarkan kepentingan dan peranan tersebut, maka dalam skenario ke 2,
pola kemitraan dan kelompok nelayan dijadikan atribut pengungkit. Apabila terjadi pola kemitraan, selain nelayan maka fungsi pelabuhan akan terdorong
untuk meningkatkan pelayanan debagai mana disyaratkan dalam peraturan mentri Kelautan dan Perikanan No 16 tahun 2006. Adanya pola kerja sama dan perbaikan
PPP Pondokdadap dalam dimensi kelembagaan, maka diikuti oleh meningkatnya nilai atribut yang ada pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial seperti
pada Tabel 40 di atas.
Penerapan kebijakan operasional jangka menengah pada dimensi-dimensi yang memiliki atribut dengan nilai sensitifitas tinggi tersebut, apabila kebijakan
operasional tersebut bisa berjalan dengan sesuai skenario, maka tingkat status keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersebut mengalami peningkatan yang
nyata Gambar 50. Pada Gambar 50 menunjukan bahwa indeks status keberlanjutan dimensi
yang memiliki indeks status dalam kategori kurang berkelanjutan meningkat menjadi sangat berkeberlajutan. Perubahan yang terjadi pada peningkatan indek
keberlanjutan pada dimensi kelembagaan, berdampak positip terhadap perubahan nilai indeks status pada dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi, yaitu yang
semula memiliki kategori status cukup berkelanjutan, berubah menjadi sangat berkelanjutan.
Gambar 50 Diagram layang-layang nilai keberlanjutan setiap dimensi pada penerapan kebijakan operasional jangka menengah.
Dengan demikian, terjadinya peningkatan kategori status pada masing- masing dimensi tersebut, diikuti peningkatan status keberlanjutan secara
multidimensi Tabel 41. Nilai indeks keberlanjutan dari multidemensi, hasil yang telah diferikasi oleh pakar pada analisis pairwise comparison, sebelum
diinterfensi diperoleh nilai indeks sebesar 69.39 dengan kategori cukup berkelanjutan. Sedangkan setelah diinterfensi pada skenario-1 diperoleh nilai
indeks status keberlanjutan sebesar 78.75 Namun demikian, setelah dilakukan
interfensi pada atribut PPP Pondokdadap dan Perusahaan inti, maka nilai indeks statusnya menjadi 84.27 dengan kategori sangat berkelanjutan Tabel 41. Hal ini
berarti, apabila dilakukan perbaikan sesuai dengan arahan kebijakan operasional tersebut, kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci
dapat diunggulkan sebagai kegiatan perikanan tuna tradisional artisanal yang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan setelah mengalami interfensi pada
masing-masing atribut tersebut tersaji pada Tabel 41. Tabel 41 Nilai indeks keberlanjutan pada skenario Jangka Menengah
No. Aspek
Keberlanjutan Bobot
Gab Penilaian
Pakar n=3
Bobot Tertimbang
Nilai Aspek Keberlanjutan Jumlah Nilai
TS SKN2
Monte Carlo
TSKN SKN1
SKN2 1
Ekologi 0.3484
0.3762 69.35
89.35 76.06
23.67 33.61
33.61 2
Ekonomi 0.2995
0.3234 72.60
86.38 83.92
23.48 24.46
27.93 3
Teknologi 0.1238
0.1337 72.56
81.72 79.54
9.70 10.88
10.92 4
Sosial 0.1016
0.1097 39.44
59.66 59.00
4.32 5.98
6.54 5
Kelembagaan 0.0529
0.0572 39.57
92.04 89.12
2.26 3.81
5.26 Jumlah
0.9262 1.0000
287.09 399.1
69.39 78.75
84.27
Keterangan: TSKN=tanpa skenario, SKN1=skenario 1, SKN2=skenario 2. Dari Tabel 41 dapat dilihat bahwa perbandingan nilai indeks keberlanjutan
multidimensi untuk masing-masing atribut dalam dimensi, apabila dilakukan interfensi, menunjukkan perubahan yang nyata terhadap nilai indeks status
keberlanjutan. Perbaikan melalui kebijakan operasional dengan melakukan pelatihan skenario1 dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan
dari status keberlanjutan. Sedangkan dengan dilakukannya pembangunan fasilitas yang mendukung serta adanya penghela perusahaan inti, maka keterlibatan
nelayan, peran perintah dan lembaga formal lainnya semakin meningkat. Dari hasil evaluasi terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan tuna yang
dilakukan oleh nelayan sekoci Sendang Biru, mengindikasikan masih cukup berkelanjutan. Namun apabila dilakukan interfensi terhadap faktor-faktor yang
memiliki nilai sensitifitas tinggi dan berpengaruh terhadap nilai indek keberlanjutan, maka statusnya menjadi semakin meningkat menjadi sangat
berkelanjutan. Dari atribut-atribut, yang dievaluasi pada masing-masing dimensi atribut PPP Pondokdadap, Pola kemitraan dan KUD Mina Jaya merupakan faktor
penentu dalam pembangunan sektor perikanan di Sendang Biru, khususnya
pengembangan Madidihang sebagai komoditas unggulan Kabupaten Malang. Namun demikian, agar dalam pengembangan sektor perikanan tuna dapat terus
berkelanjutan, maka dalam perencanaannya perlu melibatkan semua stakeholders yaitu pemerintah, pengusaha, masyarakat, perguruan tinggi dan LSM. Sehingga
faktor-faktor yang sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan bisa ditekan sedini mungkin. Sedangkan yang memberikan sensitifitas baik, bisa dipertahankan.
Niscaya apabila kebersaman tersebut bisa dilaksanakan, potensi sumberdaya ikan tuna yang ada di perairan ZEEI WPP 573, tidak terabaikan dan dapat
dioptimalkan untuk peningkatan kemakmuran bersama. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kebijakan pengembangan
perikanan Madidihang pada jangka menengah yang harus dijalankan adalah kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat
komprehensif yaitu lemahnya perhatian dalam pengelolaan yang mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia
Selatan Jawa Timur yang belum dilaksanakan pada kebijakan operasional pada jangka pendek. Dari hasil analisis Rapfish dan pairwise comparison dapat
diperoleh gambaran bahwa kebijakan yang perlu dirumuskan pada program operasional jangka menengah difokuskan pada dimensi kelembagaan dan
ekonomi, namun pelaksanaan dari interfensi dapat dilaksanakan pada jangka menengah. Hasil pengelompokan dan urutan prioritas dari atribut yang sensitif,
maka dirumuskan kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah: 1. Pengembangan kapasitas kelembagaan yang mendukung kegiatan perikanan
tangkap yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang belum dilaksanakan pada program jangka pendek dimensi kelembagaan.
2. Peningkatan kapasitas ekonomi terutama pembangunan sarana dan prasarana industri pengolahan ikan hasil tangkapan dimensi ekonomi.
Strategi yang dilakukan pada jangka menengah berkaitan dengan perumusan kebijakan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan yang diarahkan kepada
pengembangan dan pembangunan serta peningkatan pelayanan PPP Pondokdadap, yang meliputi: 1 perluasan dermaga dan pengadaan konveyor sebagai
implementasi fungsi pokok dan penunjang pelabuhan perikanan pantai dalam pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, serta
pelayanan bongkar muat, 2 pengadaan laboratorium mutu dan kantor pelabuhan sebagai pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, fungsi
karantina, pemasaran, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, publikasi hasil
riset 3 penempatan syahbandar, sebagai pelaksanaan fungsi pelayanan pada kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
sumber daya ikan dan 4 Pembangunan docksleepway, sebagai pelaksaan fungsi pelayanan untuk perbaikan dan perawatan kapal, sebagai upaya pengendalian
lingkungan kebersihan, keamanan, dan ketertiban K3. Pada pengembangan kapasitas kelembagaan, selain perbaikan dan
pembangunan sarana dan prasarana PPP Pondokdadap, juga dilakukan strategi pengembangan pemasaran hasil, pengendalian mutu dan peningkatan dalam
pengendalian sumberdaya Madidihang melalui kebijakan pemberdayaan pola kemitraan antara nelayan sekoci plasma dengan perusahaan inti yang bergerak
dalam pengolahan tuna, seperti yang dilakukan oleh PT. Kelola Mina Laut Gresik dengan Koperasi nelayan tuna di Mataram Najikh, 2010. Dengan demikian,
untuk mendukung program tersebut, maka strategi lebih lanjut adalah dilakukannya piningkatan kapasitas kelompok nelayan Rukun Jaya menjadi
koperasi nelayan yang mandiri. Pola ini penting dilakukan mengingat ikan Madidihang merupakan komoditas ekspor yang rentan terhadap peraturan dalam
perdagangan dunia yang penuh rintangan dan hambatan, seperti adanya hambatan tarif dan non tarif.
Dalam pelaksanaan operasional kerjasama, pihak plasma adalah nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan yang dihimpun dalam wadah koperasi,
sedangkan inti adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak dibidang Kelautan dan Perikanan. Dalam kerjasama ini, pihak inti tentunya perusahaan
swasta nasional yang kredibel dan bankable, karena produk yang dihasilkan adalah Madidihang untuk tujuan ekspor, maka diharapkan perusahaan swasta
nasional yang akan menjadi inti harus mempunyai jaringan pemasaran ekspor yang kuat dan pemasaran dalam negeri yang luas.
Pelaksanaan pola plasma-inti tersebut akan bisa terwujud apabila adanya
kebijakan atas dasar pengetian dan kerjasama yang terintegrasi antara pihak yang
berkaitan dengan pembangunan perikanan tangkap Madidihang yang berkelanjutan. Adapun institusi yang perlu berperan dan memiliki keterkaitan,
yaitu: 1. Kementrian Kelautan dan Perikanan
2. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur 3. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang
4. Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten BAPPEKAB Malang 5. Dinas Koperasi Kabupaten Malang
6. PT. Perhutani 7. Perusahaan Swasta Nasional sebagai Perusahaan Inti
8. Koperasi nelayan sebagai wadah yang anggotanya terdiri dari para plasma.
Kebijakan yang disusun selanjutnya memuat tentang pemberian tugas, wewenang dan hak serta kewajiban dari para institusi yang terkait didalam
pelaksanaan pemberdayaan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang. Adapun tugas dan wewenang dari masing-masing intansi
tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kementrian Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, mempunyai tugas dan wewenang dalam hal melaksanakan : a. Penerbitan Surat Ijin Usaha Perikanan.
b. Pengaturan dan perlindungan terhadap rumpon nelayan sekoci dan resolusi konflik dengan nelayan lainnya.
c. Pembinaan teknis perikanan dan kepelabuhan perikanan d. Membangun sarana dan prasaran PPP Pondokdadap: perluasan dermaga
dan pengadaan konveyor, pengadaan laboratorium mutu dan kantor pelabuhan, pengangkatan dan penempatan syahbandar, pembangunan
docksleepway .
2. Dinas Kelautan dan Perikanan, bersama-sama dengan BAPPEKAB dan PT. Perhutani Kabupaten Malang, serta Dinas Koperasi Kabupaten Malang
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : a. Pengadaan lahan untuk perluasan pelabuhan, pembangunan pabrik es, cold
storage dan pemukiman nelayan plasma.
b. Penambahan daya listrik, air dan pemeliharaan fasilitas umum serta prasarana jalan dan usaha dikawasan pemukiman nelayan plasma.
c. Penyiapan surat perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dengan nelayan plasma.
d. Penyiapan dan pembentukan koperasi nelayan e. Melakukan bimbingan teknis tentang permodalan dan koperasi
f. Melakukan bimbingan teknis pengelolaan lingkungan pemukiman. g. Penyelesaian pengurusan sertifikat hak atas tanah untuk lahan pekarangan
dan pemukiman. h. Pemberian bantuan pengadaan air bersih, dan sarana penerangan di
pemukiman plasma. 3. Perusahaan Inti, mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Penyelesaian status areal bagi lahan untuk fasilitas usaha. b. Membangun fasilitas usaha antara lain cold storage, unit pengolahan, dan
pabrik es. c. Memberikan bimbingan teknis dan penetapan kriteria ikan yang
ditangkap baik ukuran maupun mutu serta penanganan pasca tangkap. d. Membantu dan menyediakan permodalan untuk biaya melaut dan
penyediaan es. e. Menampung dan memasarkan hasil tangkapan plasma dengan ketentuan
harga yang layak berdasarkan hasil musyawarah antara perusahaan inti, pemerintah dan plasma.
f. Pemberian asuransi kepada nelayan plasma. g. Memberikan bantuan pelaksanaan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi
calon plasma. h. Membantu pelaksanaan pengajuan kredit atau bertindak sebagai avalis
bagi nelayan plasma yang mengajukan permodalan kepada pihak bank. i. Mengikut sertakan dan memberi kesempatan kerja kepada keluarga plasma
dan penduduk sekitar dalam proses produksi. 4. Nelayan Plasma, mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan kesepakatan kerjasama antara inti dan plasma.
b. Mengikuti pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Perusahaan Inti.
c. Memelihara kehidupan bermasyarakat antar sesama warga baik penduduk asli maupun pendatang dan masyarakat setempat disekitarnya.
d. Memelihara kapal dan peralatannya sesuai dengan petunjuk teknis dari pemerintahan maupun perusahaan inti.
e. Menjaga rumah, kebersihan dan kesehatan lingkungan serta fasilitas umum yang tersedia.
f. Menjual semua hasil tangkapan kepada perusahaan inti. g. Menandatangani Perjanjian Kerja Bersama antara Plasma, Perusahaan Inti
dan Koperasi Maritim. h. Mengembalikan kredit kapal, modal usaha dan perumahan sesuai
peraturan. Kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut apabila dapat
dilaksanakan sesuai dengan skenario, maka akan berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi regional, khususnya di wilayah pesisir Sendang Biru
Kabupaten Malang. Pendapatan dari hasil kegiatan perikanan akan berada di Kabupaten Malang, apabila tersedia pabrik es dan unit pengolahan lainnya,
sehingga keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut tidak akan ditransfer capital out flow ke daerah lain, seperti yang terjadi pada saat ini. Dengan
demikian, kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan sebagaimana tersebut di atas sesungguhnya tidak akan terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan
kapasitas ekonomi. Untuk mencapai sasaran sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah
ditetapkan, maka dirumuskan program
‐
program jangka menengah, yang dapat mendukung implementasi interfensi pada dimensi kelembagaan yang selanjutnya
akan berdampak terhadap peningkatan indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial. Program-program pada jangka menengah ini,
dibuat berdasarkan atribut-atribut sensitif yang telah diuraikan dalam analisis Rapfish dan pairwise comparison yang dirasakan sangat diperlukan untuk segera
dilaksanakan dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Adapun
program-program pengembangan perikanan Madidihang pada jangka menengah disajikan pada Tabel 42.
Tabel 42 Strategi dan program implementasi kebijakan pengembangan kapasitas kelembagaan
pada kegiatan
perikanan Madidihang
di PPP
Pondokdadap pada program jangka menengah No Strategi
Program Pelaksana
1
Pembangunan kapasitas dan
kualitas PPP Pondokdadap
1.
Perluasan dermaga, p
engadaan konveyor,
pengadaan laboratorium mutu dan kantor pelabuhan,
p embangunan docksleepway.
2. Pengadaan air bersih, peningkatan daya listrik
3. Penyedian lahan untuk perluasan pelabuhan, fasilitas usaha dan
pemukiman KKP, DPK
Pemprov Jatim, DKP Kabupaten
Malang, Bapekap dan
PT. Perhutani Malang
2 Peningkatan
Kapasitas Kel. Nelayan Rukun
Jaya 4. Pembentukan koperasi nelayan
5. Pelatihan sistem perkoperasian, permodalan dan perkreditan
DKP Kabupaten Malang, Dinas
Koperasi Kab. Malang
3 Pemberdayaan
nelayan dengan pola plasma-inti
6. Penentuan perusahaan swasta nasional sebagai inti
7. Penentuan nelayan sebagai plasma 8. Pembuatan perda tentang pola
kerjasama plasma-inti 9. Bimbingan teknis mengenai kriteria
ikan yang ditangkap dan mutu 10. Penandatangan nota kesepahaman
antara perusahaan initi dan nelayan 11. Pelaksanaan pola plasma-inti
12. Pengawasan pelaksanaan program plasma-inti
DPK Kabupaten Malang dan
Perusahaan inti dan Koperasi
nelayan dan perusahaan inti
4 Pengadaan
fasilitas penunjang
13.Pembangunan pabrik es dan cold storage
14. Pembangunan unit pengolahan
Perusahaan inti
5 Pengawasan dan
perlindungan rumpon nelayan
di ZEEI 15. Penyusunan atau revisi tambahan
mengenai peraturan dan perlindungan terhadap rumpon nelayan kecil di
perairan ZEEI 16. Penyelesaian atau resolusi konflik
antara nelayan sekoci dan nelayan purs seine
dan longline
KKP, TNI AL, POLAIRUD,
DPK Pemprov Jatim, DKP
Kabupaten Malang,
Kelompok nelayan
6 Penyelesaian
konflik illegal fishing
di rumpon nelayan
sekoci 17. Resolusi konflik antara nelayan
sekoci dengan nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke
serta nelayan long line Benoa. 18. Efektivitas Pokwasmas bersama antara
nelayan sekoci dengan nelayan Pekalongan , Muara Anke dan Benoa
KKP, DPK Pemprov Jatim,
DKP Kab. Malang,
Kelompok Nelayan, TNI
AL, POLAIRUD