32 dan perubahan kelembaban antara laut, atmosfir dan daratan. Perairan timur laut
Samudera Hindia yang terletak di antara benua Asia dan Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Berubahnya posisi matahari
mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan di kedua benua tersebut, dan pergerakan Equatorial Pressure Trough EPT dan berubahnya arah angin.
Menurut Wyrtki 1961, EPT akan bergerak melewati khatulistiwa sebanyak dua kali dalam setahun. Angin muson yang bertiup di atas perairan barat Sumatera dan
selatan Jawa - Sumbawa dicirikan oleh pembalikan arah angin permukaan secara musiman. Menurut Tchernia 1980, angin muson barat laut terjadi selama bulan
Desember – Februari musim barat dan angin muson tenggara selama bulan Juni
– Agustus musim timur. Pada musim barat, di belahan bumi utara daratan Asia terjadi musim dingin dan di belahan bumi selatan daratan Australia terjadi
musim panas. Pada saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari
daratan Asia menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada saat musim timur.
Pada bulan April – Mei dan Oktober – November, arah angin tidak
menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba awal tahun dan akhir tahun. Menurut Clark et al. 1999, di Samudera Hindia selama musim timur,
angin bertiup dari belahan bumi selatan, akibatnya terjadi akumulasi kelembaban dan presipitasi yang tinggi di daratan Asia, sedangkan pada musim barat, angin
kering bertiup dari daratan Asia Barat yang dingin ke Lautan Selatan yang panas. Perubahan angin muson di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa
memiliki karakteristik yang sama dengan perairan Indonesia lainnya. Perubahan arah dan kekuatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya
perubahan dinamika di dalam perairan tersebut. Menurut Clark et al. 1999, kuatnya angin muson mengakibatkan
meningkatnya transport Ekman, percampuran vertikal, dan tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga mengakibatkan
terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya bila angin menjadi lemah dimana percampuran vertikal massa air akan lemah dan bahang
33 yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Keadaan ini berdampak
terhadap tingginya suhu permukaan perairan.
2.4 Karakteristik Armada dan Skala Usaha Perikanan
Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia, sampai saat ini masih didominasi oleh perikanan tangkap berskala kecil. Hal ini tergambarkan dari
komposisi armada perikanan tangkapnya yang sebagian besar masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97.11, untuk berskala
kecil dan 2.89 berskala besar KKP 2009. Adapun struktur armadanya, terdiri dari perahu motor tempel 233 530 unit 39.17, perahu tanpa motor 205 460
unit 34.46, dan kapal motor 157 240 unit atau 26.37. Dari kapal motor yang ada tersebut, terbagi dalam kategori ukuran berdasarkan bobot tonase, yang
meliputi kapal motor berukuran 5 GT 69.70, 5-10 GT 19.33, dan sisanya berukuran anatara 10 GT sampai di atas 200 GT. Berdasarkan persentase dari
komposisinya, maka disimpulkan bahwa perikanan tangkap Indonesia secara nasional masih rendah atau masih tradional, yang biasanya diikuti dengan kualitas
teknologi dan sumberdaya manusia yang rendah pula. Alat tangkap yang digunakan dalam perikanan berskala kecil tersebut pada
umumnya di masing-masing daerah relatif sama. Sebagai contoh di Manado untuk yang berukuran 5GT menggunakan pancing selar noru dan pancing ulur
hand line, sedangkan yang berukuran 30 GT purse seine Mamuaya 2007. Demikian juga halnya di Pantai Utara Jawa, khsususnya di Jawa Tengah sebagian
besar nelayannya menggunakan alat tangkap gill net, paying atau trammel net untuk kapal berukuran kurang dari 5 GT dan 5 - 10 GT, sedangkan untuk yang
berukuran 10 - 20 GT menggunakan Cantrang, dan di atas 20 GT biasanya menggunakan purse seine dan gillnet Hermawan 2006.
Bobot tonase dan penggunaan mesin dalam kapal, di Indonesia dijadikan indikator untuk membedakan antara kelompok kapal tradisional atau kecil,
menengah dan besar. Padahal menurut Smith 1983 pengelompokan tersebut bisa di lihat dari ukuran kapal, dan berdasarkan wilayah operasinya, sehingga bisa
dikelompokan ke dalam perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau
34 komersial. Hal ini dikuatkan oleh Charles 2001, yang berpendapat bahwa
pengelompokan skala usaha dalam kegiatan perikanan tangkap harus dibedakan atas dasar perbedaan dari ukuran kapal, daerah penangkapan, yaitu jarak dari
pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil
small-scale fisheries dengan perikanan skala besar large-scale fisheries,
walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Asumsi dari Charles 2001 tersebut, selanjutnya
digunakan sebagai acuan oleh Indian Ocean Tuna Commision IOTC 2009 dalam penentuan jenis usaha perikanan tangkap, khsususnya di wilayah Samudera
Hindia. Skala usaha kegiatan perikanan tangkap, khususnya yang beropersi di Samudera Hindia dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu skala kecil, menengah
dan besar, dengan ukuran masing-masing 12 M, 12 - 24 M dan 24 M. Penentuan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia, berbeda dengan
Malaysia yang membedakan antara bobot kapal, tipe alat tangkap, dan area penangkapan. Sedangkan di Hongkong dan Singapura, pengelompokan tersebut
didasarkan kepada wilayah operasi, yaitu inshore dan offshore fisheries, sementara di negara Thailand perbedaannya berdasarkan tipe alat tangkap yang
digunakan Smith 1983.
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk,
perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional. Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang
perikanan bahwa yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan
sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya. Penangkapan
ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di