6 Behrens 1999 menengarai munculnya berbagai definisi. Ragam definisi
tersebut akan mempengaruhi konsep perpustakaan masa depan maupun profesi pustakawan sebagai bagian dari pengelola informasi profesional. Demikian juga
berpengaruh pada pandangan, sikap, dan tuntutan terhadap kelengkapan informasi. Behrens juga menyatakan bahwa pengaruh teknologi informasi ikut menentukan
perkembangan konsep literasi informasi dan teknologi informasi menjadi fitur penting dari literasi informasi.
Pada tahun 1987 American Library Association membentuk komisi tentang literasi informasi dengan tugas mengkaji peran informasi di dunia pendidikan,
bisnis, pemerintahan, dan kehidupan sehari-hari. Komisi tersebut juga ditugaskan untuk merancang model agar literasi informasi dapat mendukung proses belajar
pada seluruh tingkat pembelajaran baik formal maupun informal. Laporan akhir American Library Association 1989, menyatakan bahwa: Seseorang yang
memiliki keterampilan literasi informasi adalah yang telah belajar bagaimana belajar. Mereka mengetahui bagaimana harus belajar karena mereka mengetahui
organisasi
pengetahuan, memahami
cara menemukan
informasi, dan
menggunakan memanfaatkan informasi sedemikian rupa sehingga pihak lain dapat belajar darinya. Mereka adalah orang yang disiapkan untuk belajar
sepanjang hayat karena mereka selalu dapat menemukan informasi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau mengambil keputusan. ALA, 1989.
Laporan ALA tersebut menekankan pentingnya literasi informasi dalam proses belajar, meniti karir, melakukan bisnis, dan menjalani hidup sebagai warga
negara. Selain itu ditunjukkan juga bagaimana literasi informasi berjalan selaras dengan reformasi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan menengah atas. Beberapa saran yang diberikan ALA, 1989 antara lain:
a.
Asosiasi pustakawan hendaknya lebih erat bekerja sama dengan asosiasi profesi lain untuk mempromosikan literasi informasi.
b. Dinas pendidikan di setiap negara bagian di setiap negara bagian memasukkan
literasi informasi dalam kurikulum pendidikan tinggi.
c. Tenaga pendidik harus mengenalkan konsep literasi informasi bagi semua
calon tenaga pendidik.
2.4 Model dan Unsur-Unsur Literasi Informasi
Ada berbagai model literasi informasi yang dikembangkan untuk mengajarkan literasi informasi bagi peserta didik. Model-model literasi informasi
merupakan cara yang terpola dalam mengajarkan peserta didik untuk memiliki kemampuan mencari informasi dengan tepat. Ada beberapa model, diantaranya:
2.4.1 Big 6
Model ini dikembangkan oleh Mike Eisenberg dan Bob Berkowitz pada tahun 1988. Model ini merupakan model yang paling dikenal dan digunakan dalam
mengajarkan keahlian informasi. Sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa Big 6 adalah sebuah strategi dan menggunakan teknologi informasi. Big 6
merupakan sebuah model literasi informasi dan teknologi sekaligus merupakan kurikulum. Ada juga yang mengatakan bahwa Big 6 adalah sebuah stategi dalam
pemecahan masalah sebab dengan menggunakan model ini peserta didik dapat menangani berbagai masalah, pekerjaan rumah, pengambilan keputusan, dan tugas
sekolah. Sekolah Madania yang menjadi benchmark dalam penelitian ini memilih perpaduan model literasi informasi salah satu diantaranya model Big 6 yang akan
dideskripsikan lebih lanjut dalam tulisan ini. 2.4.2
Association for College and Research Libraries ACRL 2000
ACRL adalah asosiasi bagi komunitas akademik dan penelitian. Melalui keanggotaan di ACRL, maka setiap anggota memiliki akses ke beragam manfaat
yang meningkatkan pengetahuan dan keahlian pustakawan. Standar kompetensi literasi informasi yang ditetapkan oleh Association for College and Research
ACRL 2000, adalah: menentukan batas informasi yang diperlukan, mengakses informasi yang diperlukan dengan efektif dan efisien, mengevaluasi informasi dan
sumber-sumbernya dengan kritis, menggabungkan sejumlah informasi terpilih untuk menjadi dasar pengetahuan seseorang, menggunakan informasi dengan
efektif untuk mencapai tujuan tertentu, mengakses dan menggunakan informasi secara etis dan legal. Standar kompetensi literasi informasi pada Sekolah Madania
yang menjadi benchmark dalam penelitian ini mengacu pada standar ACRL.
Berbagai model literasi informasi menggunakan terminologi yang beragam, namun pada dasarnya memiliki kesamaan dalam proses pelaksanaanya yang
mencakup langkah berikut: mendefinisikan kebutuhan informasi, menemukan sumber-sumber informasi, memilih informasi yang relevan atau sesuai, mengatur
dan memproses informasi yang ditentukan, menciptakan dan berbagi, mengevaluasi proses dan hasil.
2.5 Literasi Digital dan Standar Literasi Digital
Salah satu tantangan dalam kegiatan belajar mengajar di era teknologi pada abad 21 ini mencakup informasi, digital, dan keterampilan visual untuk
mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Gilster 1997 pertama kali mendefinisikan literasi digital sebagai
kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber melalui perangkat komputer.
Menurut Eisenberg 2004, ditengah keberagaman bentuk dan jenis informasi, maka kita dituntut tidak hanya dapat membaca dan menulis bahan
tertulis dalam bentuk buku atau tercetak saja, tetapi juga bentuk-bentuk format lain seiring dengan perkembangan teknologi. Masih menurut Eisenberg 2004,
selain memiliki keterampilan literasi informasi, seseorang dalam hal ini peserta didik juga harus dibekali dengan keterampilan literasi yang lain, salah satunya
keterampilan literasi digital. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan standar literasi digital untuk mengidentifikasi keterampilan peserta didik dalam
mendukung penerapan literasi berbasis teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran.
Saint Paul Community Literacy Consortium SPCLC adalah suatu lembaga standarisasi independen di Amerika Serikat yang mengeluarkan sertifikat
keterampilan dasar literasi digital Certificate of Basic Digital Literacy Skills, SPCLC terdiri dari beberapa perwakilan konsorsium, diantaranya: komunitas non