Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia

4.2 Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat

Menurut Bunte 2006, teori kesejahteraan welfare theory yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1 efisiensi profit dan 2 keadilan pemangku kepentingan. Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan. Secara garis besar rantai pasok ubi kayu dibahas pada penelitian ini terdiri dari: 1 petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, 2 pengumpul, 3 industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka seperti disajikan pada Gambar 4.5. Petani Ubi Kayu yang memiliki luas lahan 1-2 Ha Konsumen Distributor Industri Tepung Tapioka Pengumpul Petani Ubi Kayu yang memiliki luas lahan 10 Ha dana dana dana dana dana ubi kayu tepung tapioka ubi kayu ubi kayu tepung tapioka Gambar 4.5 Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka Gambar 4.5 tersebut memperlihatkan adanya 6 macam peran pada rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka. Namun pada penelitian ini hanya fokus 4 peran pada sisi hulu dalam agroindustri ubi kayu dan tepung tapioka yaitu : 1. Petani ubi kayu, dibagi menjadi 2 kelompok. Satu kelompok adalah petani yang memiliki luas lahan 1 hingga 2 ha, dan satu kelompok lagi adalah petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha. a Untuk petani yang memiliki luas lahan 1-2 ha, akan menjual ubi kayu kepada pengumpul, lalu pengumpul yang akan menjual kembali kepada pabrik. Sistem penjualanpun ada 2 jenis : 1 potong tebas di kebun lalu langsung dibeli pengumpul atau 2 petani menjual ubi kayu yang masih ada di dalam tanah dengan satuan Hektare, lalu pengumpul menebang sendiri ubi kayu tersebut. Sebagian harga masih ada yang ditetapkan oleh pengumpul. Namun saat ini dimana informasi berkembang sangat cepat, petani semakin pintar dalam menetapkan harga, sehingga tidak mudah lagi untuk dipermainkan. b Sedangkan petani yang memiliki luas lahan lebih besar atau minimal 10 ha, akan menjual ubi kayunya langsung kepada pabrik. Biasanya petani kelompok ini telah bermitra dengan pabrik. 2. Pengumpulpedagang, juga dibagi 2 kelompok. Satu kelompok pengumpul murni dan yang kelompok satu lagi adalah pengumpul sebagai agen dari pabrik. Pengumpul murni akan mengambil keuntungan berdasarkan selisih antara harga jual petani dengan harga beli pabrik. Sedangkan untuk pengumpul sebagai agen dari pabrik akan mengambil keuntungan berdasarkan fee yang diberikan oleh pabrik. Kalau pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan refraksi, timbangan atau sistem botongan di kebun dengan petani. Biasanya pengumpulagen menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton. 3. Pabrikindustri tapioka membeli ubi kayu dari pengumpulagen dengan harga berdasarkan perhitungan tersendiri sebagai berikut. Harga beli lokal dari Petani + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik. Contoh: Rp 770 – Rp 775 + Rp 80 + Rp 10 + refraksi x Rp 5 refraksi + Rp 10 fee Agen. Pada umumnya, petani yang memiliki luas lahan sebesar 10 Ha atau lebih memasarkan ubi kayu langsung kepada industri pengolahan ubi kayu, sedangkan petani yang memiliki luas lahan hanya 1-2 ha memasarkan ubi kayu kepada pedagang pengumpul. Hanya sebagian kecil hasil panen ubi kayu yang langsung dipasarkan ke konsumen. Dalam prakteknya, petani hanya sebagai price taker, sedangkan yang menentukan harga adalah industri pengolahannya ataupun pedagang pengumpul. Di samping itu, karena belum adanya pola pertanaman yang terkoordinasi dengan masing-masing sentra produksi, pada banyak kasus terjadi over supply terutama pada masa panen. Pada kondisi harga ubi kayu yang ekstrim, petani tidak memanen ubi kayunya karena harga yang ditawarkan sangat rendah sehingga penerimaan dari hasil panen biasanya hanya sebatas untuk menutupi biaya panen. Hingga saat ini, pengembangan agribisnis ubi kayu belum dilaksanakan secara terintegrasi mulai dari sub sistem budidaya on farm hingga ke sub sistem pasca panen, pengolahan, dan pemasaran off farm. Masing-masing sub sistem dikembangkan secara sendiri-sendiri, belum saling mengkait dalam suatu kawasan agroindustri yang dikelola secara efisien dan berorientasi pasar dalam suatu manajemen rantai pasok Supply Chain ManagementSCM. Dalam rangka mengoperasionalkan sistem SCM yang dapat mengaitkan aktivitas di masing-masing sub sistem, diperlukan adanya kelembagaan di masing-masing sub sistem tersebut. Kelembagaan di tingkat petani merupakan masalah mendasar yang harus ditangani agar kekuatan tawar petani dapat ditingkatkan. Diharapkan, dengan kuatnya kelembagaan petani, posisi tawar petani pada saat berhadapan dengan industri pengolahan juga meningkat. Dengan demikian, total keuntungan dapat didistribusikan secara adil dan proporsional ke seluruh rantai suplai ubi kayu sesuai dengan tingkat resiko dan modal usaha yang diberikan. 4. Distribusi ke Konsumen. Gambar 4.6 adalah jalur distribusi pabrik tepung terigu kepada konsumen di Jawa Tengah. Untuk Jalur distribusi tepung tapioka dapat diambil dari rujukan tersebut. Beberapa hal dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya antara lain dengan :  Mengurangi eselon jenjang distribusi dengan menyalurkan tapioka ke pengguna dari eselon yang lebih tinggi.  Mengurangi jarak tempuh tapioka melalui pemilihan rute yang lebih optimal.  Mengurangi waktu dalam perjalanan tapioka.