Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia

Peningkatan laju permintaan konsumsi beras selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, juga adanya peningkatan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia dari 116,5 kgkapita pada tahun 2000 menjadi 139,0 kg per kapita pada tahun 2009. Pada Tabel 2.7 disajikan data jumlah penduduk Indonesia dan tingkat konsumsi per kapita berbagai tanaman penghasil karbohidrat. Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009 Tahun Penduduk X 1000 jiwa tingkat konsumsi beras Kgkapita tingkat konsumsi Ubi kayu Kgkapita tingkat konsumsi Jagung Kgkapita tingkat konsumsi Ubi jalar Kgkapita 2000 205,132.0 116.5 13.40 3.40 3,0 2001 207,927.5 116.6 13.40 3.40 3,0 2002 210,736.3 115.5 12.80 3.40 2.8 2003 213,550.5 115.5 11.96 3.30 2.8 2004 216,381.6 107,0 12,00 3.20 3.3 2005 219,204.7 138.81 15,00 3.30 4,0 2006 222,051.3 135,0 13.83 3.44 3.4 2007 224,904.9 139.15 13.62 5.50 2.6 2008 227,779.1 139,0 14.19 3.60 2,9 2009 230,632.7 139,0 14.22 3.60 3,0 Sumber: Susenas 2000, 2003, 2006, BPS 2009, Deptan go.id 2010 Selama kurun waktu 2000 – 2009 berdasarkan data BPS 2010 seperti disajaikan pada Tabel 2.3 produksi ubi kayu juga mengalami peningkatan yaitu dari 16.089.020 ton pada Tahun 2000 menjadi 22.028.502 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi ternyata bukan disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu, tetapi karena meningkatnya produktivitas per ha. Selama kurun waktu 2000-2009 luas panen tanaman ubi kayu mengalami penurunan 8,5 atau terjadi rata-rata penurunan luas panen 0,9 per tahun. Padahal permintaan konsumsi ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8 ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3 atau terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1 per tahun. Peningkatan permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai 2009 hanya mengalami peningkatan 0,7 per tahun sedangkan laju peningkatan penduduk mencapai 1,4 per tahun. Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang cukup tinggi 82 yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9 per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1 per tahun yang meningkat dari 3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009. Produktivitas tanaman jagung juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu dari 2,77 tonha tahun 2000 menjadi 4,29 ton per ha pada tahun 2009. Secara rinci luas areal panen dan produksi jagung sejak tahun 2000 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009 Sumber: BPS 2010 Dibandingkan tanaman-tanaman sumber karbohidrat, tepung tapioka memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi. Berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kandungan karbohidrat yang terdapat beras, tepung terigu, dan tepung tapioka dalam setiap 100 gram berturut-turut adalah 78,9 gram, 77,3 gram dan 88,2 gram. Disamping itu tepung tapioka juga memiliki kandungan kalsium paling tinggi yaitu mencapai 84 miligram, sedangkan pada beras dan terigu beruturut-turut hanya 6 dan 16 miligram. Komposisi kimia beras giling, tepung terigu dan tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.9 Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram Komposisi Satuan Beras Giling Terigu Tapioka Energi Kal 360.0 365 363.0 Protein Gram 6,8 8,9 1.1 Lemak Gram 0,7 1,3 0.5 Karbohidrat Gram 78,9 77,3 88.2 Kalsium Miligram 6 16 84.0 Fosfor Miligram 140 106 125.0 Besi Miligram 0,8 1,2 1.0 Vitamin B1 Miligram 0,26 0,12 0.0 Vitamin C Miligram 0.12 0,12 0.0 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1979

2.6 Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu

Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: 1 petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, 2 pengumpul, 3 industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, 4 Distributor, 5 Konsumen.

2.6.1 Petani

Hingga kini rata-rata hasil ubi kayu nasional masih tergolong rendah, yaitu sekitar 17,6 ton per Hektare. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 tonha Subandi et al. 2005. Dari segi teknis produksi, penyebab penting atas rendahnya tingkat hasil ubi kayu di tingkat petani adalah terbatasnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan kurangnya penggunaan pupuk. Untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu petani harus dilakukan beberapa hal yaitu pemilihan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pengaturan jarak tanam yang sesuai, pemupukan yang efektif, sistem tanam yang produktif, serta pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat. Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pelletgaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas Kasetsart 50 dari Thailand. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 tonha, sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 tonha dan 36,9 tonha Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008

2.6.2 Pengumpul

Petani yang mempunyai luas lahan 1 – 2 ha biasanya menjual produksi ubi kayu tidak langsung kepada pabrik tapioka, tetapi melalui pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari pabrik pengolahan ubi kayu, sehingga memerlukan biaya tambahan transportasi. Para pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak pengumpul atau perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu. Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para pengumpul atau para perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan refraksinya yang tidak transparan. Perhitunganpatokan pengumpul atau agen yang berlaku adalah sebagai berikut : Harga beli lokal dari Petani + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik Contoh: Rp 770 – Rp 775 + Rp 80 + Rp 10 + refraksi x Rp 5 refraksi + Rp 10 fee Agen. Pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan refraksi, timbangan atau sistem Botongan di Kebun dengan Petani. Biasanya Agen Pengumpul menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton.

2.6.3 Industri Pengolahan Ubi Kayu

Pengolahan ubi kayu menjadi produk antara intermediate product merupakan salah satu cara pengawetan ubi kayu yang berkadar air tinggi. Selain itu, pengolahan ubi kayu menjadi produk antara berguna, yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses pengolahan ubi kayu menjadi produk antara yang dianjurkan karena produk antara yang dihasilkan lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dengan bahan lain, dapat diperkaya zat gizi difortifikasi, mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis Darwis et al. 2009. Pada strategi penyediaan karbohidrat dari ubi kayu ini, tanaman ubi kayu akan diolah menjadi tepung tapioka. Tapioka merupakan pati ubi kayu. Proses pengolahan tapioka terdiri dari penggilingan pada industri skala kecil perlu dilakukan pengupasan kulit ubi kayu, pengepresan, pemisahan ampas onggok, pengendapan pati, pengambilan dan pengeringan pati. Pada industri besar pengendapan pati dilakukan dengan proses sentrifugasi dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan oven sehingga dapat dihasilkan rendemen dan mutu tinggi. Pada prinsipnya pembuatan tepung tapioka adalah mengambil granula- granula pati dari dalam selnya dan selanjutnya dipisahkan dari komponen- komponen lain sehingga diperoleh pati dalam keadaan murni. Secara ringkas proses pembuatan tepung tapioka dalam skala industri dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses produksi tepung tapioka dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Singkong segar maksimal 2 hari setelah panen dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit. 2. Singkong yang telah dikupas dibersihkan dalam mesin pembersih untuk memisahkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan, dan lendir yang ada di lapisan permukaan umbi, dan mengurangi kandungan HCN 3. Singkong yang telah bersih diparut atau dihancurkan dengan mesin penghancur. 4. Hasil pemarutan dicampur dengan air dan diaduk dalam sebuah mesin pengaduk. 5. Hasil adukan diperas untuk memisahkan pati dengan ampasnya. 6. Pati yang bercampur air diendapkan untuk memisahkan cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah. 7. Cairan pati kental dan berat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki pati dan ditambahkan sulfur belerang agar hasil produksinya bersih dari kotoran. 8. Dari tangki pati cairan tersebut selanjutnya dikeringkan menjadi tepung. Hasil pengeringan ini masih berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian diayak untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi. 9. Pada tahap yang paling akhir, tepung tapioka dimasukkan ke dalam karung plastik dan diangkut dengan mesin khusus dan selanjutnya disimpan dalam gudang sebelum di jual. Dalam proses produksi tersebut dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu : 1. Kulit singkong, limbah ini tidak memiliki nilai ekonomi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk bahan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya. 2. Ampas singkong onggok, merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan pati. Ampas dapat digunakan untuk pakan ternak dan pabrik asam sitrat. 3. Air limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang karena mengandung sianida yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka Sriroth 1999 Di Indonesia, singkong telah dapat diolah lebih lanjut menjadi gaplek, sawut, tepung tapioka, tepung singkong dan yang terbaru adalah tepung mocaf. Pada saat penelitian dilakukan processing tapioka sudah mapan, sedangkan mocaf yang memerlukan luas lahan lebih kecil masih dalam taraf experiment. Namun strategi penyediaan karbohidrat dalam disertasi bisa dipakai untuk produk olahan lain.

2.7 Perkembangan Industri Tepung Terigu

Di Indonesia, selain industri tepung berbasis karbohidrat Indonesia juga terdapat industri tepung berbasis gandum atau tepung terigu yang gandum tersebut dipenuhi melalui impor. Indonesia sebelumnya langsung mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Industri tepung terigu di Indonesia dimulai dari pendirian perusahaan penggilingan terigu pertama, yaitu PT. Bogasari Flour Mills pada Tahun 1971. Pendirian perusahaan penggilingan ini disebabkan oleh sering terjadinya penurunan kualitas tepung terigu impor yang tiba di pelabuhan Indonesia, seperti berkutu dan bau apek sebagai akibat waktu perjalanan yang cukup lama. Selain itu, pendirian perusahaan penggilingan juga disebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan berbasis tepung terigu Visidata Riset Indonesia 2003. Sampai tahun 1995 PT. Bogasari Flour Mills hanya bertindak sebagai pelaksana penggilingan. Bahan baku gandum dan hasil penggilingan tepung terigu dimiliki Badan Urusan Logistik Bulog. PT. Bogasari Flour Mills hanya menerima fee untuk penggilingan gandum tersebut. Bulog melakukan pembelian bahan baku, pengapalan bahan baku ke Indonesia, dan pemasaran dan distribusi tepung terigu yang dihasilkan PT. Bogasari Flour Mills Visidata Riset Indonesia 2003. Pemerintah Indonesia kemudian secara bertahap melakukan deregulasi tata niaga gandum dan terigu. Pada tahun 1995 pemerintah mencabut larangan investasi terhadap tepung terigu. Monopoli Bulog atas impor gandum dan terigu dihapus pada tahun 1997. Deregulasi Juni 1998 menghentikan monopoli Bulog terhadap suplai tepung terigu, harga domestik, dan distribusi tepung terigu. Sejak itu setiap perusahaan dapat mengimpor gandum sendiri, melakukan pemasaran, dan menetapkan harga Visidata Riset Indonesia 2003. Pada tahun 2010 terdapat 14 penggilingan tepung terigu yang telah beroperasi pada total kapasitas produksi 7.894.000 tontahun. Di Indonesia tepung terigu digunakan untuk bahan baku industri mi, biskuit, dan roti. Selain digunakan sebagai bahan baku industri pangan, tepung terigu juga sebagai bahan baku industri plywood. Pada tahun 2002 Kelompok Usaha Kecil dan Menengah UKM tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu dalam negeri, yaitu sebesar 58,86. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah, biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37. Sedangkan untuk industri rumah tangga sebesar 3,54 dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23 Visidata Riset Indonesia 2003. Penggunaan tepung terigu untuk berbagai industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002 Industri Pemakai Jumlah Ton 1998 1999 2000 2001 2001 Industri Besar dan Modern Mi Instan 584.791 638.750 715.006 754.638 807.642 Mi Kering 64.560 74.723 85.398 93.741 104.389 Mi Basah 2.971 3.178 3.321 3.478 3.662 Biskuit dan Snack 99.096 107.901 118.762 131.901 144.109 Roti 21.258 23.513 27.122 32.585 37.690 Plywood 4.729 3.685 4.036 2.768 2.472 Sub Total 777.405 851.750 953.645 1.019.111 1.099.964 Usaha Kecil dan Menengah UKM Mi basah dan Kering 600.504 597.082 728.017 740.457 743.868 Biskuit dan Snack 286.535 323.419 356.425 318.361 354.355 Roti 637.084 634.399 811.436 729.726 785.520 Sub Total 1.524.123 1.554.900 1.895.878 1.788.544 1.883.743 Industri Rumah Tangga 78.411 88.924 122.512 102.031 113.220 Rumah Tangga 71.060 68.598 91.884 93.028 103.516 Sub Total 149.471 157.522 214.396 195.059 216.736 Total 2.450.999 2.564.172 3.063.919 3.002.714 3.200.443 Sumber: Visidata Riset Indonesia 2003 Tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1992 tingkat konsumsi tepung terigu hanya sebesar 9,9 kgkapita kemudian meningkat mencapai 15,4 kgkapita pada tahun 1997. Pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 20,8 dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 tingkat konsumsi tepung terigu mencapai 14,8 kgkapita atau mengalami peningkatan sebesar 8,8 dari tahun sebelumnya Aptindo 2003. Tingkat konsumsi tepung terigu dan pertumbuhannya tahun 1992-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.11. Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002 Tahun Tingkat Konsumsi KgKapita Pertumbuhan 1992 9,9 - 1993 10,2 3,0 1994 12,5 22,5 1995 14,6 16,8 1996 14,8 1,4 1997 15,4 4,1 1998 12,2 -20,8 1999 10,9 -10,7 2000 12,9 18,3 2001 13,6 5,4 2002 14,8 8,8 Sumber: Aptindo 2003 Berdasarkan pengamatan terhadap salah satu pabrik tepung terigu yang berlokasi di Semarang didapatkan rantai pasok tepung terigu dari mulai pabrik agroindustri sampai ke konsumen akhir. Pabrik tepung terigu ini mendistribusikan produknya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Tepung terigu sebagai produk dari pabrik didistribusikan ke industri besar dan