Penyeimbangan B Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu
Industri tepung tapioka : Membeli hasil panen para petani ubi kayu yang sesuai standar kualitas
seberapun jumlahnya Membantu petani dalam meningkatkan kualitas maupun produktifitas
tanaman baik secara langsung maupun melibatkan pihak - pihak lain. Memberikan pinjaman dana talangan yang memadai agar para petani tidak
jatuh ke dalam perangkap rentenir Melakukan monitoring akan kegiatan para petani
Membeli hasil panen petani dengan harga yang “ pantas “ dan
memberikan keuntungan yang “fair “.
Kemitraan dapat juga mencontoh bentuk kemitraan antara starbuck dengan pemasok biji kopinya : starbuck memilih petani kopi yang menghasilkan biji
kopi yang terbaik dari seluruh penjuru dunia. Untuk mencapai kondisi ini starbuck
menerapkan pola kemitraan yang eksklusif : Memberikan dana talangan operasional
Menyediakan asistensi dalam pemilihan lahan yang tepat dan penyuluhan-
penyuluhan Membeli dengan harga di atas harga pasar
Membeli semua hasil panen mitranya.
Mengambil contoh pola k emitraan “Unilever Indonesia“ yang merupakan
bagian dari Program CSR-nya Corporate Social Responsibility : • Unilever mampu melalui pola kerjasama dengan petani Black Soya Bean
di Indonesia mayoritas Ibu-ibu petani menghasilkan kualitas paling baik di dunia.
• Pola Kemitraan tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan Starbuck, memberikan motivasi, penyuluhan-penyuluahn serta dana talangan kepada
para petani. • Unilever Indonesia juga membeli seluruh hasil panen Black Soya Bean
tersebut dengan harga yang pantas, yang mampu meningkatkan kesejahteraan para petani.
Adapun beberapa kendala-kendala dalam kemitraan tersebut antara lain : Kondisi di Indonesia masih memerlukan suatu pola pengembangan
kemitraan yang mampu menghasilkan “win-win“. Para petani masih belum mampu duduk sejajar dengan mitranya, dalam
artian mampu untuk mengusahakan kesepakatan-kesepakatan yang memberi manfaat bagi dirinya serta untuk pengembangan usaha maupun
kemampuannya.
Peran “pengumpul“ masih cukup signifikan karena di satu pihak para petani kurang mampu berhubungan dengan industri, di lain pihak
industripun mas ih memakai “pengumpul” sebagai ujung tombak untuk
mendapatkan harga beli yang rendah dan kadangkala sebagai “koordinator lapangan “ untuk mengelola para petani di suatu tempat.
Di pihak para petani sendiripun masih sangat kurang mampu dalam bidang pemasaran, keuangan, teknologi, ketrampilan serta pengetahuan.
Pola hidup komsumtifpun telah melanda para petani sehingga menyebabkan “mis-management“ dalam mengelola kehidupan yang lebih
baik.
Di pihak industri, masih banyak hanya berorientasi “profit–taker” saja. Sehingga “pola bapak angkat“ atau “pola plasma“ tidak tepat sasaran .
Kendala-kendala diatas merupakan sebagian dari hambatan-hambatan keberhasilan kemitraan antara para petani dengan industri.
Ada beberapa alternatif solusi yang mungkin, yang perlu di pertajam, yang melibatkan beberapa pihak, yaitu :
1. Industri-industri harus sangat memahami bahwa mereka membutuhkan petani sebagai pemasok bahan baku, berhak atas bagian profit yang
“pantas” 2. Para petani harus mengupayakan peningkatan kesejahteraan mereka
melalui kemampuan penguasaan teknologi utk mendapatkan jumlah dan kualitas hasil yang sesuai tuntutan industri.
3. Perlu keterlibatan instansi pemerintah terkait meminimalkan kendala- kendala yang ada, serta adanya suatu regulasi yang memberikan
keseimbangan kekuatan tawar menawar baik bagi petani maupun industri. 4. Industri-industri penghasil tepung tapioka perlu mengadaptasi pola
“Starbuck” maupun “Unilever Indonesia“ dalam pola kerjasama kemitraannya dengan para petani ubi kayu. Dan menemukan pola yang
sesuai dengan kondisi masing-masing.
Sebagai langkah awal, pola kemitraan yang di pilih sebagai alternatif adalah “pola kemitraan langsung petani dengan industri“ yang cenderung
mengadaptasi pola
unilever indonesia.
Ada 4
faktor yang
perlu diimplementasikan, yaitu :
1. Jaminan Pembelian Ubi Kayu : industri tepung tapioka menjamin pembelian ubi kayu dari petani dengan harga yang di tetapkan di muka
sebelum penanaman, dengan kesepakatan akan jumlah dan kualitas . Harga seyogyanya diatas harga pasar.
2. Penyuluhan Lapangan : industri baik secara langsung atau bekerjasama dengan pihak lain memberikan penyuluhan kepada petani untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman ubi kayu. 3. Bantuan Keuangan : para petani mendapat kesempatan meminjam dana
talangan tanpa bunga, yang disalurkan melalui Paguyuban Petani atau Koperasi Petani.
4. Badan pemantau : kondisi di Indonesia memerlukan adanya suatu badan yang dibentuk berdasar undang-undang yang ada untuk memantau
kemitraan ini secara sosial, perlu di bentuknya dewan ubi kayu Indonesia yang bernaung dan di biayai secara operasional di bawah kementrian
pertanian, dengan tugas utama memajukan kesejahteraan petani ubi kayu dan mendorong ubi kayu sebagai salah satu bahan pangan utama di
Indonesia.
Pola kemitraan yang ada dilakukan sebenarnya dapat menjadi bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, namun yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana pelaksanaannya di lapangan sehingga penyimpangan yang dapat merugikan salah satu pihak terutama petani dapat diminimumkan. Bentuk kerja
sama dalam penyediaan bahan baku agroindustri tapioka disajikan pada Tabel 4.10.
Kondisi ideal akan terjadi jika petani bersatu, misalnya dalam koperasi, sehingga memiliki posisi tawar yang cukup kuat ketika berhadapan dengan pabrik
maupun pengumpul, namun hal ini sulit terjadi karena berbagai faktor sosial dan perilaku anggota maupun pengurus. Ada kalanya petani yang biasa memasok
pabrik tertentu tetapi tanpa ikatan pinjaman, menjual hasil panennya kepada pihak lain karena harga pihak lain tersebut lebih tinggi.
Untuk penyediaan bahan baku ubi kayu, pabrikpedagang mengumpulkan dari kebun-kebun ubi kayu milik petani yang tersebar di wilayah sekitar pabrik.
Namun karena kebun-kebun ubi kayu milik petani tidak berada dalam satu hamparan, maka dengan kebutuhan panen 8000 ha 80 km
2
per 10 bulan, pabrik mendapatkan pasokan bahan baku dari wilayah kerja yang luas. Dengan
pertimbangan biaya transportasi, pabrik membatasi wilayah kerja sampai radius 60 km luas wilayah kerja sekitar 11,000 km
2
. Di sisi lain, batasan ini juga mempertimbangkan adanya persaingan untuk mendapatkan bahan baku di wilayah
kerja yang sama dengan pabrik lain. Adapun tipikal pabrik yang dipergunakan adalah Triwiyono 2011 :
Kapasitas produksi : 200 ton tapiokahari Kebutuhan bahan baku 800 ton ubi kayuhari
Produktivitas ubi kayu: 25 tonha