halaman ini sengaja dikosongkan
Lampiran 1
Kesesuaian Lahan Ubi kayu Maniohot esculenta
Persyaratan penggunaan
karakteristik lahan Kelas kesesuaian lahan
S1 S2
S3 N
Temperatur tc
Temperatur rerata °C 22 - 28
28 - 30 18 - 20
30 - 35 18
35
Ketersediaan air wa
Curah hujan mm 1.000 -
2.000 600 -
1.000 2.000 -
3.000 500 - 600
3.000 - 5.000
500 5.000
Lama bulan kering bln
3,5 - 5 5 - 6
6 - 7 7
Ketersediaan oksigen oa
Drainase baik, agak
terhambat agak
cepat, sedang
terhambat sangat
terhambat, cepat
Media perakaran rc
Tekstur agak halus,
sedang halus,
agak kasar sangat halus
kasar Bahan kasar
15 15 - 35
35 - 55 55
Kedalaman tanah cm 100
75 - 100 50 - 75
50
Gambut:
Ketebalan cm 60
60 - 140 140 - 200
200 Ketebalan cm, jika
ada sisipan bahan mineral
pengkayaan 140
140 - 200 200 - 400
400
Kematangan saprik+
saprik, hemik+
hemik, fibrik+
fibrik
Retensi hara nr
KTK liat cmol 16
≤ 16 Kejenuhan basa
20 20
pH H2O 5,2 - 7,0
4,8 - 5,2 4,8
Persyaratan penggunaan
karakteristik lahan Kelas kesesuaian lahan
S1 S2
S3 N
7,0 - 7,6 7,6
C-organik 0,8
≤ 0,8
Toksisitas xc
Salinitas dSm 2
2 - 3 3 - 4
4
Sodisitas xn
AlkalinitasESP -
- -
-
Bahaya sulfidik xs
Kedalaman sulfidik cm
100 75 - 100
40 - 75 40
Bahaya erosi eh
Lereng 8
8 - 16 16 - 30
30 Bahaya erosi
sangat rendah
rendah - sedang
berat sangat berat
Bahaya banjir fh
Genangan F0
- F1
F1
Penyiapan lahan lp
Batuan di permukaan 5
5 - 15 15 - 40
40 Singkapan batuan
5 5 - 15
15 - 25 25
Sumber : bbsdlp.litbang.deptan.go.id
Lampiran 2
Hasil Peramalan Trend Impor Gandum
Kombinasi alfa
beta MSE
MAD MAPE
1 0.2
0.2 181.723.142.483
397004 8,34
2 0.4
158.409.981.707 374367
7,88 3
0.6 137.947.383.650
352604 7,43
4 0.8
120.056.591.606 331699
6,99 5
0.4 0.2
104.151.526.745 310709
6,55 6
0.4 79.487.467.256
274866 5,81
7 0.6
60.982.945.265 242066
5,13 8
0.8 47.323.780.941
212180 4,51
9 0.6
0.2 61.972.162.991
244862 5,19
10 0.4
42.582.380.389 203184
4,32 11
0.6 30.276.979.515
167332 3,58
12 0.8
22.651.402.380 136867
2,94 13
0.8 0.2
39.008.724.439 195958
4,17 14
0.4 25.159.880.158
153756 3,29
15 0.6
17.544.439.067 120093
2,59 16
0.8 13.339.340.791
93932 2,04
Lampiran 2
Hasil Peramalan Trend Impor Gandum lanjutan
Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia
Kombinasi alfa
beta MSE
MAD MAPE
1 0.2
0.2 348.171.330.902
466873 2,54
2 0.4
333.825.642.822 472507
2,57 3
0.6 323.865.971.071
479202 2,61
4 0.8
317.780.918.262 486900
2,65 5
0.4 0.2
362.117.754.144 515621
2,80 6
0.4 363.089.863.641
533545 2,90
7 0.6
374.182.501.302 554040
3,00 8
0.8 393.857.288.224
576626 3,12
9 0.6
0.2 413.271.593.340
561854 3,05
10 0.4
440.601.452.699 591114
3,20 11
0.6 483.149.712.906
622383 3,37
12 0.8
538.421.404.790 654041
3,54 13
0.8 0.2
478.614.623.959 592626
3,22 14
0.4 533.234.487.284
624655 3,39
15 0.6
604.548.169.062 653541
3,54 16
0.8 686.868.827.371
710376 3,84
Lampiran 3
Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia Lanjutan
ABSTRACT SJOUFJAN AWAL. Strategy for the Supply of Cassava-Based Carbohydrate.
Under the supervision of Irawadi Jamaran, Marimin, Amril Aman, and Yandra Arkeman.
Import dependency reduction, or elimination, can be achieved by increasing locally grown carbohydrate source. Local cassava maintains good environmental
adaptability characteristics and can be readily grown throughout Indonesia. Farmers are familiar with cassava, due to its relatively easy cultivation and allows for a high degree
of land productivity. Being the third most important carbohydrate source, after rice and maize, the use of cassava raw material for various industries continues to grow. Several
sub-
Saharan African countries’ experience has shown that cassava provides a greater income, to both poor and rich farmers, than any other commodity.
This research establishes a strategy and thought framework for cassava based carbohydrate supply, providing potential prosperity to cassava farmers and a fair profit
to stakeholders, as well as designs a cooperation scheme that ensures upstream and downstream
supply chain
sustainability, through
a mutually
beneficial agreementcontract. The cassava based carbohydrate supply is calculated by forecasting
future cassava demand, using the double exponential smoothing method with trend DEST. From the forecasting results, year 2015 cassava demand is estimated to reach
23.5 million tons, require 1.3 million ha cultivation land, involve 668,197 farmers, assuming per farmer holds a 2 ha land area, and require 392 tapioca plants of 200 tons
day capacity.
BC analysis is made to determine the supply chain parties’ benefit level. BC balancing has limitation, as each supply chain party maintains differing material
volume and production time. BC equalization only leads to greater income inequality amongst the supply chain parties. As the benefit aspect of this analysis emphasizes
price, thus the BC is substituted with B
h
C. Various efforts can be pursued for the improvement of cassava
farmers’ welfare, i.e. increased plantation area through increased land ownership, or grant farmers greater
access to land use that can be supported through existing laws and regulations pertaining to idle land utilization; improve intercropping benefits through increased
efficiency, or shift some process stages to the farmer’s level. Various partnership arrangements amongst farmers, suppliers and agro-
industries are suggested. Keywords: Strategy, agro industry, cassava, supply chain, benefit
– cost ratio, partnership
RINGKASAN SJOUFJAN AWAL. Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu.
Dibawah bimbingan : Irawadi Jamaran sebagai ketua, Marimin, Amril Aman, dan Yandra Arkeman masing-masing sebagai anggota.
Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan
kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga
mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada impor mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor
itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini
sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Di samping
itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai bahan pangan pun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau
oleh seluruh masyarakat.
Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan
suatu alternatif dari impor. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di
semua provinsi di Indonesia. Disamping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat
penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang. Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika
menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain.
Produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas,
meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas
potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton ha.
Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian
ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat
memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Disamping itu penelitian ini merancang pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok.
Strategi yang dihasilkan akan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu, dan mendapatkan
pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.
Dalam penelitian ini dilakukan analisa BC untuk melihat tingkat keuntungan bagi pelaku rantai pasok, dan yang terakhir merancang pola kemitraan dalam
penyediaan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka. Penyediaan karbohidrat dari ubi kayu dihitung dengan peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang,
dengan metode double exponential smoothing with trend DEST. Dari hasil peramalan
kemudian dihitung seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang terlibat dan dibuat usulan kemitraan pagi para pelaku rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka.
Kebutuhan karbohidrat penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber dari beras, ubi kayu dan
gandum. Dari hasil peramalan, pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 23,5 juta ton yang membutuhkan lahan budidaya sebesar 1,3 juta Ha. Dengan
asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 Ha per petani, maka jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani dan 392 unit pabrik tapioka dengan kapasitas 200
tonhari.
Penyeimbangan BC mempunyai keterbatasan. Karena setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. Penyetaraan
BC hanya akan menyebabkan ketimpangan pendapatan yang makin besar antar pelaku rantai pasok. BC petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi 3,5, sedangkan BC
pabrik tapioka cukup rendah 1,08. Namun demikian walaupun mempunyai BC yang tinggi pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera.
Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 jutahatahun rata-rata sekitar Rp. 1 jutabulanHa. Pada pabrik tapioka karena volume penjualan yang besar,
maka pabrik tepung tapioka mampu memperoleh penghasilan yang tinggi. Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau
harga pe satuan produk dikali jumlah produk, dan diberi notasi B
h
. Sehingga benefit ratio yang dipakai adalah B
h
C. Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak
beralih membudiyakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu antara
lain dengan peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu.
Peraturan Perundangan antara lain tentang tata cara penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dapat dijadikan landasan untuk
mendukung upaya tersebut. Di samping itu peningkatan kesejahteraan petani dapat juga diupayakan melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan,
menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar, dan petani ikut memiliki pabrik melalui
kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu.
Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik. Alternatif pertama pabrik memberikan pinjaman
permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan ditambah modal pedagang sendiri
atau dari sumber lain. Alternatif kedua adalah pola yang digunakan pada alternatif pertama yang diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada
pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. Alternatif ketiga adalah pola kemitraan
petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani. Kata kunci : strategi, agroindustri, ubi kayu, rantai pasok, benefit
– cost ratio, kemitraan.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan
ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada
negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada import mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri
dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor
diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus
memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Indonesia kaya dengan berbagai sumber karbohidrat di samping beras,
seperti jagung, sagu dan ubi kayu
Maniohot esculenta. S
esuai budaya dan kearifan lokal, bahan tersebut dikonsumsi sebagai makanan pokok. Setelah beras
diperkenalkan ke seluruh pelosok tanah air, antara lain melalui pembagian jatah beras bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan POLRI, maka bahan-bahan
karbohidrat yang lain beralih peran menjadi penganan INDEF 1995. Pada tahun 1993 dan 1996 tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mendekati 100, yaitu
masing-masing sebesar 98,6 dan 98,8 Ariani 1999. Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain
sebagai pengananpun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat INDEF 1995. Swa-
sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu
alternatif dari impor. Sebagai contoh untuk perhitungan, gandum dijadikan rujukan. Bagaimana
keadaannya jika karena satu dan lain hal gandum tidak diekspor ke Indonesia oleh
negara penghasil. Sehubungan hal itu perlu disiapkan skenario pengembangan sumber karbohidrat lokal. Dalam skenario tersebut seyogyanya sumber
karbohidrat yang ingin dikembangkan tidak mengganggu penyediaan karbohidrat oleh sumber lokal yang telah berlangsung. Gangguan tersebut antara lain dapat
berupa persaingan mendapatkan lahan. Sumber karbohidrat yang akan dikembangkan tidak akan berkompetisi untuk mendapatkan lahan dengan sumber
lokal antara lain padi dan jagung. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya
adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia Deptan 2009a. Di samping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah,
dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan
baku aneka industri yang terus berkembang Subandi et al. 2005. Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu
memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain Nweke 1996.
Jadi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu bukan karena ingin menyediakan karbohidrat yang sama dengan atau mendekati sifat-sifat terigu.
Tujuannya adalah menyediakan sumber karbohidrat dalam jumlah yang banyak yang kemudian dapat menarik ahli kuliner untuk menciptakan makanan enak
berbasis karbohidrat bersumber dari ubi kayu. Di Indonesia ubi kayu memainkan peranan penting bagi perekonomian
negara serta peranannya semakin strategis sebab selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, juga sebagai bahan baku
aneka industri yang terus berkembang Subandi et al. 2005. Berdasarkan data BPS 2010 jumlah produksi ubi kayu Indonesia mulai
tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak
mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal panen tanaman ubi kayu seluas 1.284.040 ha dengan produktivitas 12,5 tonha dan produksi sebanyak
16.089.020 ton. Pada tahun 2009 luas areal penen ubi kayu seluas 1.174.819 ha dengan produktivitas tanaman 18,75 tonha dan produksi sebanyak 22.028.502
ton. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30
– 40 tonHa. Menurut Subandi et al. 2005 terdapat beberapa permasalahan dalam
produksi ubi kayu di Indonesia diantaranya rata-rata produktivitas ubi kayu secara nasional masih rendah 15,5 tonha ubi segar, sebab umumnya adalah diusahakan
oleh petani kecil pada lahan kering yang tanahnya kurang subur, dengan sedikit menanam varietas unggul 10 dan sebahagian besar tidak memupuk. Padahal
hasil penelitian produktivitas tanaman ubi kayu dapat mencapai 30-40 tonha. Rendahnya produktivitas tanaman juga masih ditambah dengan rendahnya
harga jual produk dan nilai tambah hasil produksi. Berdasarkan hasil penelitian Limbongan et al. 1999 menyebutkan bahwa harga jual 100 kg ubi kayu basah
seharga Rp 25.000 Rp 250 per kg, sementara dalam bentuk chip dijual seharga Rp 120.000 dengan biaya produksi Rp 80.000, sehingga nilai tambah yang
diperoleh hanya Rp 15.000 untuk 100 kg ubi kayu basah atau rata-rata Rp 150 kg.
Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu.
Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang
berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Salah satu upaya untuk lebih meningkatkan pendapatan petani adalah
pengembangan agroindustri ubi kayu yang memiliki nilai tambah yang tinggi, dimana petani dapat ikut memiliki industri atau mempunyai aliansi strategis.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan strategi penyediaan
karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, melalui pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Pada tahap pertama
akan disediakan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka sebagai alternatif karbohidrat bersumber dari gandum.
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan gambaran umum dan permasalahan yang dihadapi para
stakeholder dalam rantai pasok ubi kayu. 2. Mendapatkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk
melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu. 3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok
ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.
1.3 Ruang Lingkup
Sumber karbohidrat yang diteliti adalah ubi kayu dan produk agroindustri adalah tepung tapioka. Petani adalah yang melakukan budidaya ubi kayu.
Industriawan adalah pelaku usaha agroindustri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pedagang adalah pengumpul ubi kayu petani dan menjualnya
kepada agroindustri
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Rantai Pasok
Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan
konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan, dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen Krajewski et al.
2010. Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang,
pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu
yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok
ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan Li 2007; Levi et al. 2000.
Sementara itu, menurut Vorst 2006, manajemen rantai pasok merupakan perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan
kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap
memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok tersebut.
Lazzarini 2000 menurut Vorst 2006 menggambarkan jaringan agroindustri secara vertikal Gambar 2.1 sehingga merupakan aliran produk
disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jaringan rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan
jaringan rantai pasok ini. Agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar.
Selain itu agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Gambar 2.1
Jaringan Rantai Pasok Vertikal Lazzarini 2000
Untuk produk pertanian, rantai pasok merujuk kepada kegiatan seluruh rantai pasok, yaitu mulai produksi di kebun, pengolahan, distribusi, hingga
kegiatan mengecer ke konsumen Chen 2004. Berbeda dengan sistem manufaktur, manajemen rantai pasok untuk produk pertanian memiliki
karakteristik sebagai berikut: 1 produk pertanian bersifat mudah rusak, 2 proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, 3
hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4 produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani Austin 1992;
Brown 1994 dalam Marimin et al. 2010. Pembentukkan rantai pasok produk pertanian didorong oleh keinginan
untuk meningkatkan daya saing. Menurut Chen 2004, terdapat tiga hal yang menjadi market drivers pembentukkan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1
keamanan pangan dan jaminan kualitas produk, dari mulai produksi sampai ke konsumen, 2 inovasi produk dan diferensiasi, 3 minimalisasi biaya untuk
mengurangi biaya logistik yang mencakup berbagai transaksi, pengiriman, penggudangan, dan biaya pengiriman.
Menurut Vorst 2006 yang mengadaptasi Lambert dan Cooper 2000 terdapat empat elemen yang dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis,
dan membentuk rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1 struktur jaringan yang membatasi jaringan rantai pasok dan menjelaskan pelaku utama rantai pasok,
P eman
g ku
Kepen ti
ng a
n Konsumen
Distributor
Agroindustri
PetaniPemasok
aturan dan penyusunan kelembagaan yang mengatur jaringan tersebut, 2 rantai proses bisnis, yang terukur dalam kegiatan bisnis yang terencana untuk
memproduksi output yang spesifik produk fisik, jasa, dan informasi bagi konsumen atau pasar tertentu, 3 manajemen jaringan dan rantai pasok yang
menunjukkan koordinasi dan struktur manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi pelaksanaan proses oleh para pelaku rantai pasok dan penggunaan
sumber daya rantai pasok, 4 sumber daya rantai pasok yang digunakan untuk memproduksi produk dan menyalurkannya ke konsumen. Frame work rantai
pasok produk pertanian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2
Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000
Setiap elemen dalam frame work rantai pasok produk pertanian secara langsung berkaitan dengan tujuan rantai pasok produk pertanian tersebut. Tiga
proposisi nilai yang menjadi tujuan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1 diferensiasi jaringan dan segmentasi pasar, dimana target diferensiasi rantai pasok
sesuai dengan permintaan spesifik dari konsumen, 2 kualitas yang terintegrasi,
dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah lingkungan, 3 optimasi jaringan, yang dilakukan
untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi yang rasional Vorst 2006.
Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst 2006 kinerja
rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan
indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai.
Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan pada Tabel 2.1.
Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar
oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga
konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya Bunte 2006. Oleh karena itu diperlukan teori kesejahteraan welfare theory yang dapat
digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1 efisiensi profit dan 2
keadilan pemangku kepentingan. Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua
pemangku kepentingan Bunte 2006.
Tabel 2.1
Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian
Level Indikator Kinerja
Penjelasan
Jaringan Rantai Pasok Ketersedian produk
Tersedianya produk dalam jaringan rantai pasok
Kualitas produk Produk yang masih terjaga
kualitasnya Responsiveness
Siklus waktu order rantai pasok
Realibility pengiriman
Sesuai dengan waktu pengiriman yang terjamin
Total biaya rantai pasok Jumlah seluruh biaya
organisasi dalam rantai pasok
Organisasi Level persediaan
Jumlah produk yang tersedia
Waktu proses Waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan rantai proses bisnis
Responsiveness Fleksibilitas organisasi
Realibility pengiriman
Persen order yang dikirim tepat waktu dan jumlah
Total biaya organisasi Jumlah seluruh biaya
proses dalam organisasi yang spesifik
Proses Responsiveness
Fleksibilitas proses Waktu proses
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses
Hasil proses Hasil dari proses
Biaya proses Biaya untuk melakukan
proses Sumber: Vorst 2006
2.2 Studi Sistem
Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah
persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan
dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap
dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem.
Menurut Eriyatno 2003 metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi
kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah
diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa rekayasa yang meliputi ; 1
analisis kebutuhan, 2 identifikasi sistem, 3 formulasi masalah, 4 pembentukan alternatif sistem, 5 determinasi dari realisasi fisik, sosial dan
politik, 6 penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke- 6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem.
Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta
keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi Schoderbek 1985. Manetch and Park 1985 mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari
elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada
pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan
yang terdapat pada obyek tersebut. Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus
menunjukkan posisi sistem yang terdiri dari komponen-komponen dengan lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di
luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno 2003 membagi komponen
input menjadi input endogen input yang terkendali dan input eksogen input yang tidak terkendali serta mengklasifikasikan output ke dalam output yang
dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan
sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga
mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemenpengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik.
Gambar 2.3 Organisasi, sumber daya dan lingkungannya Schoderbek 1985
2.3 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan dengan memperhatikan interaksi antara obyek-obyek yang
menggabungkan obyek-obyek tersebut sehingga membentuk keseluruhan
Schoderbek 1985. Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah 1 Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, 2 Bagian dari sistem
yang dipelajari harus dapat diduga, 3 Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, 4 Adanya
pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, 5 Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat
dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, 6 Komponen sistem saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh
komponen dan 7 Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem.
Menurut Schoderbeck 1985 terdapat tiga fase utama dalam melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase
kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya 1
metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2 Kerja tim multidisiplin, 3 pengorganisasian, 4 disiplin untuk bidang yang non
– kuantitatif, 5 teknik model matematik, 6 teknik simulasi, 7 teknik optimasi dan aplikasi komputer
Eriyatno 2003.
2.4 Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia
Sumber karbohidrat yang penting di Indonesia adalah padi, jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar. Padi dan jagung sudah sangat penting sehingga telah
banyak mendapat perhatian dan penanganan pemerintah dan masyarakat. Walau belum tersebar luas, sagu sudah mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkalis,
Propinsi Riau Daratan. Sedangkan singkong, walau penting belum mendapat perhatian dan penanganan yang cukup, telah dibudidayakan dengan siklus 1
tahun dan melibatkan petani. Ubi kayu bisa ditanam kapan dan di mana saja, tidak memerlukan tanah yang “baik”, dan tidak se-sensitif padi.
Tanaman ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae, dengan spesies Manihot esculenta
dan Manihot utilisima. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 0
– 1000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1000 –
1500 mmtahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29
o
C, pada suhu yang lebih tinggi dari 29
o
C produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10
o
C pertumbuhan akan terhenti Kay 1973. Tanaman ubi kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat
tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian 2011,
produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, tekstur tanah agak halussedang, rata-rata temperatur
sekitar 24 – 29
o
C, dengan curah hujan 1000 – 2000 mmtahun, dan lama bulan
kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada
kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena akarumbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu
memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa
tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah. Mengingat nilai produksi dan kemudahan di dalam budidayanya,
pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditanam bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang
tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena
bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak
memerlukan persyaratan tanah tertentu. Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen,
dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.