ekstrim, petani tidak memanen ubi kayunya karena harga yang ditawarkan sangat rendah sehingga penerimaan dari hasil panen biasanya hanya sebatas untuk
menutupi biaya panen. Hingga saat ini, pengembangan agribisnis ubi kayu belum dilaksanakan
secara terintegrasi mulai dari sub sistem budidaya on farm hingga ke sub sistem pasca panen, pengolahan, dan pemasaran off farm. Masing-masing sub sistem
dikembangkan secara sendiri-sendiri, belum saling mengkait dalam suatu kawasan agroindustri yang dikelola secara efisien dan berorientasi pasar dalam suatu
manajemen rantai pasok Supply Chain ManagementSCM. Dalam rangka mengoperasionalkan sistem SCM yang dapat mengaitkan
aktivitas di masing-masing sub sistem, diperlukan adanya kelembagaan di masing-masing sub sistem tersebut. Kelembagaan di tingkat petani merupakan
masalah mendasar yang harus ditangani agar kekuatan tawar petani dapat ditingkatkan. Diharapkan, dengan kuatnya kelembagaan petani, posisi tawar
petani pada saat berhadapan dengan industri pengolahan juga meningkat. Dengan demikian, total keuntungan dapat didistribusikan secara adil dan proporsional ke
seluruh rantai suplai ubi kayu sesuai dengan tingkat resiko dan modal usaha yang diberikan.
4. Distribusi ke Konsumen. Gambar 4.6 adalah jalur distribusi pabrik tepung terigu kepada konsumen di Jawa Tengah. Untuk Jalur distribusi tepung
tapioka dapat diambil dari rujukan tersebut. Beberapa hal dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya antara lain dengan :
Mengurangi eselon jenjang distribusi dengan menyalurkan tapioka ke pengguna dari eselon yang lebih tinggi.
Mengurangi jarak tempuh tapioka melalui pemilihan rute yang lebih optimal.
Mengurangi waktu dalam perjalanan tapioka.
Gambar 4.6
Jalur Distribusi Tepung Tapioka ke Konsumen
4.3 Penyeimbangan B
h
C
Harga-harga di setiap interaksi petani – pengumpul, pengumpul –
industri, dan seterusnya disimulasikan untuk mencari bagaimana sebaiknya dihitung harga dari tingkat petani sehingga bisa membangun suatu bisnis yang
profesional dan rantai pasok yang berkesinambungan. Salah satu syarat untuk kesinambungan tersebut adalah harga wajar yang diterima setiap pelaku.
Salah satu cara menetapkan harga yang wajar tersebut adalah dengan menetapkan persentase pendapatan terhadap biaya yang sama bagi semua pelaku.
Indikator yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah benefit-cost ratio Tarigan 2008, Maulana 2005. Agar benefit-cost ratio ini benar-benar memberikan laba
yang wajar, perlu dikoreksi oleh faktor waktu. Pabrik dan pengumpul memerlukan
Pabrik Tepung
Industri Besar Distributor
Wholesaler Industri
Menengah Sub
Retailer Industri Kecil
Industri Rumah
Konsumen Akhir
waktu yang relatif singkat dalam memproses bahan sejak pembelian barang menjadi produk yang dapat dijual.
Lain halnya dengan petani yang memerlukan waktu 10 – 11 bulan untuk
dapat menjual ubi kayu yang dihasilkannya. Jalan keluarnya adalah dengan mendapatkan “ adjusted B
h
C “ petani yang memasukkan komponen waktu
investasi petani. Sebagai ilustrasi untuk menghitung B
h
C dipakai angka-angka berikut: masa tanam singkong 10 bulan, bunga 8 per tahun atau 0.67 per bulan.
Perhitungan Analisa Benefit – Cost Ratio kondisi awal disajikan pada Tabel 4.6,
sedangkan Analisa Benefit – Cost Ratio disetarakan dengan B
h
C petani disajikan pada Tabel 4.7.
Nilai B
h
C petani ubi kayu sudah cukup tinggi 3,5. Tingginya B
h
C pada tingkat petani terjadi karena rendahnya biaya yang harus dikeluarkan petani untuk
aktivitas budidaya hingga pemanenan ubi kayu relative terhadap jumlah produksi ubi kayu dikalikan dengan harga jual ubi kayu di tingkat petani. Meskipun harga
jual ubi kayu hanya Rp. 800kg, namun karena produksi ubi kayu per ha yang cukup tinggi sekitar 20 tonha maka nilai manfaat benefit yang diperoleh petani
cukup besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Bahkan dengan total
pendapatan sekitar Rp. 17.5 jutaha per tahun dikurangi biaya produksi ubi kayu sebesar Rp. 5 jutaha, maka penghasilan petani ubi kayu adalah sebesar Rp. 12.5
jutatahun rata-rata sekitar Rp. 1 jutabulan. Jumlah ini bahkan lebih rendah daripada UMR beberapa daerah di Indonesia.
Di sisi lain, rendahnya B
h
C di tingkat pabrik tapioka terjadi karena rendahnya margin keuntungan yang diperoleh pabrik dari harga tepung tapioka
dibandingkan dengan harga bahan baku yang merupakan komponen biaya produksi terbesar dibandingkan dengan berbagai komponen biaya produksi
lainnya. Hal yang sama terjadi pada pedagang yang tidak melakukan proses nilai tambah terhadap ubi kayu sehingga manfaat yang diperoleh pedagang hanyalah
berupa marjin keuntungan yang dibatasi oleh harga beli ubi kayu oleh pabrik serta harga penjualan ubi kayu dari petani.