Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu

(1)

STRATEGI PENYEDIAAN

KARBOHIDRAT BERSUMBER DARI UBI KAYU

SJOUFJAN AWAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu” merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Sjoufjan Awal NRP. F36103101


(4)

(5)

ABSTRACT

SJOUFJAN AWAL. Strategy for the Supply of Cassava-Based Carbohydrate. Under the supervision of Irawadi Jamaran, Marimin, Amril Aman, and Yandra Arkeman.

Import dependency reduction, or elimination, can be achieved by increasing locally grown carbohydrate source. Local cassava maintains good environmental adaptability characteristics and can be readily grown throughout Indonesia. Farmers are familiar with cassava, due to its relatively easy cultivation and allows for a high degree of land productivity. Being the third most important carbohydrate source, after rice and maize, the use of cassava raw material for various industries continues to grow. Several sub-Saharan African countries’ experience has shown that cassava provides a greater income, to both poor and rich farmers, than any other commodity.

This research establishes a strategy and thought framework for cassava based carbohydrate supply, providing potential prosperity to cassava farmers and a fair profit to stakeholders, as well as designs a cooperation scheme that ensures upstream and downstream supply chain sustainability, through a mutually beneficial agreement/contract. The cassava based carbohydrate supply is calculated by forecasting future cassava demand, using the double exponential smoothing method with trend (DEST). From the forecasting results, year 2015 cassava demand is estimated to reach 23.5 million tons, require 1.3 million ha cultivation land, involve 668,197 farmers, assuming per farmer holds a 2 ha land area, and require 392 tapioca plants of 200 tons / day capacity. B/C analysis is made to determine the supply chain parties’ benefit level. B/C balancing has limitation, as each supply chain party maintains differing material volume and production time. B/C equalization only leads to greater income inequality amongst the supply chain parties. As the benefit aspect of this analysis emphasizes price, thus the B/C is substituted with Bh/C.

Various efforts can be pursued for the improvement of cassava farmers’ welfare, i.e. increased plantation area through increased land ownership, or grant farmers greater access to land use that can be supported through existing laws and regulations pertaining to idle land utilization; improve intercropping benefits through increased efficiency, or shift some process stages to the farmer’s level.

Various partnership arrangements amongst farmers, suppliers and agro-industries are suggested.

Keywords: Strategy, agro industry, cassava, supply chain, benefit – cost ratio, partnership


(6)

(7)

RINGKASAN

SJOUFJAN AWAL. Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu. Dibawah bimbingan : Irawadi Jamaran sebagai ketua, Marimin, Amril Aman, dan Yandra Arkeman masing-masing sebagai anggota.

Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada impor mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai bahan pangan pun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat.

Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor. Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia. Disamping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang. Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain.

Produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ ha.

Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Disamping itu penelitian ini merancang pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Strategi yang dihasilkan akan dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu, dan mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.

Dalam penelitian ini dilakukan analisa B/C untuk melihat tingkat keuntungan bagi pelaku rantai pasok, dan yang terakhir merancang pola kemitraan dalam penyediaan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka. Penyediaan karbohidrat dari ubi kayu dihitung dengan peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang, dengan metode double exponential smoothing with trend (DEST). Dari hasil peramalan


(8)

kemudian dihitung seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang terlibat dan dibuat usulan kemitraan pagi para pelaku rantai pasok ubi kayu dan tepung tapioka.

Kebutuhan karbohidrat penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber dari beras, ubi kayu dan gandum. Dari hasil peramalan, pada tahun 2015 diperkirakan kebutuhan ubi kayu mencapai 23,5 juta ton yang membutuhkan lahan budidaya sebesar 1,3 juta Ha. Dengan asumsi penguasaan lahan oleh petani seluas 2 Ha per petani, maka jumlah petani yang akan terlibat mencapai 668.197 petani dan 392 unit pabrik tapioka dengan kapasitas 200 ton/hari.

Penyeimbangan B/C mempunyai keterbatasan. Karena setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. Penyetaraan B/C hanya akan menyebabkan ketimpangan pendapatan yang makin besar antar pelaku rantai pasok. B/C petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi (3,5), sedangkan B/C pabrik tapioka cukup rendah (1,08). Namun demikian walaupun mempunyai B/C yang tinggi pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 juta/ha/tahun (rata-rata sekitar Rp. 1 juta/bulan/Ha). Pada pabrik tapioka karena volume penjualan yang besar, maka pabrik tepung tapioka mampu memperoleh penghasilan yang tinggi. Dalam analisis ini benefit ditekankan kepada price atau harga. Nilai benefit adalah price atau harga pe satuan produk dikali jumlah produk, dan diberi notasi Bh. Sehingga benefit

ratio yang dipakai adalah Bh/C.

Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak beralih membudiyakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu antara lain dengan peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu. Peraturan Perundangan antara lain tentang tata cara penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dapat dijadikan landasan untuk mendukung upaya tersebut. Di samping itu peningkatan kesejahteraan petani dapat juga diupayakan melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan, menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar, dan petani ikut memiliki pabrik melalui kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu.

Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik. Alternatif pertama pabrik memberikan pinjaman permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan ditambah modal pedagang sendiri atau dari sumber lain. Alternatif kedua adalah pola yang digunakan pada alternatif pertama yang diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. Alternatif ketiga adalah pola kemitraan petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani.

Kata kunci : strategi, agroindustri, ubi kayu, rantai pasok, benefit – cost ratio, kemitraan.


(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan kepada khalayak dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

(12)

STRATEGI PENYEDIAAN

KARBOHIDRAT BERSUMBER DARI UBI KAYU

SJOUFJAN AWAL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(13)

Ujian Tetutup

Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. 2. Dr. Ir. Sukardi, MM.

Ujian Terbuka

Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Darwis, MSc. 2. Prof. Dr. Ir. Nadirman Haska, Msi.


(14)

(15)

Judul Disertasi : Strategi Penyediaan Karbohidrat Bersumber Dari Ubi Kayu

Nama : Sjoufjan Awal

NRP : F361030101

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Ketua

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. Dr. Ir. Amril Aman, MSc.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng.

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


(16)

(17)

(18)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena hanya dengan pertolongan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak telah membantu sampai selesainya Disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan, dukungan serta dorongan sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc; Bapak Dr. Ir. Amril Aman, MSc; dan Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan masukan hingga terselesaikannya Disertasi ini.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM selaku Penguji Luar Komisi, dan Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku pimpinan sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua, Ibu Dr. Titi Candra Sunastri, STP, MSi dan Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi masing-masing selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

5. Bapak Dr. Ir. Sulistyo Sidik Purnomo, MSi, Bapak Dr. Ir. Iding Chaidir, MS, Bapak Dr. Ir. Alexie Herryandie Bronto Adi, MS, Bapak Ir. Syarif Hidayat, M.Eng.Sc., MM, Bapak Ir. Bambang Triwiyono, MSi, Bapak. Ir. Nurul Rusdi dan Bapak Suyono atas masukan dan bantuannya.

6. Bapak Ir. Arfie Thahar, MM, Bapak Ir. Haekal Luthfi, MT, Ibu Suminar dan Bapak Ir. Ghozin Ghazali atas bantuannya.


(19)

7. Seluruh staf Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dalam pengurusan administrasi.

8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, utamanya rekan-rekan kelompok konsultasi hari Sabtu di Halulas, surau kami, atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaik-baiknya.

Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS penulis menyampaikan terima kasih yang dalam dan penghargaan yang setinggi-setingginya atas dorongan, dukungan dan utamanya memberi semangat agar penulis terus berjuang sampai studi penulis selesai.

Penulis selalu mendoakan agar Allah SWT memelihara, mengasihi dan mengampuni Mami Hj. Fathimah Zahara (Almarhumah) dan Ayah Awaluddin (Almarhum), sebagaimana beliauu memelihara penulis semasa kecil. Dalam keadaan ekonomi rumah tangga yang jatuh bangun dan turun naik, beliau selalu memberi berkecukupan kepada penulis sehingga tidak pernah berkekurangan. Penulis selalu merasa tidak cukup memberikan yang terbaik kepada beliau. Jika ada nilai-nilai (values) yang baik pada diri penulis hanyalah semata-mata dengan ijin Allah dan penanaman yang dilakukan oleh Mami dan Ayah.

Pada saat-saat yang sangat indah dan berarti ini penulis selalu mengenang Almarhum Letjen H. Bustanil Arifin, SH, seorang yang berbudi mulia selalu ingin melihat orang lain bahagia dan berkecukupan dan selalu siap untuk membantu mereka mencapai kebahagiaan dan berkecukupan tersebut. Beliau dengan ijin Allah telah merubah serta menuntun jalan hidup penulis ke arah yang lebih baik dan bermanfaat. Dengan segala kerendahan hati, disertasi ini penulis dedikasikan kepada Almarhum Letjen (Purnawirawan) H. Bustanil Arifin, SH. Beliau adalah seorang mantan atasan, kemudian sahabat abadi yang sangat akrab. Begitu juga isteri beliau Hj. Suhardani Arifin beserta keluarga besarnya juga mempunyai hati yang mulia dan terus melanjutkan silaturahmi dan persaudaraan dengan penulis dan keluarga.

Isteri penulis Hj. Sofie Sutan Durdahlan telah mendampingi penulis sejak lebih dari 48 tahun lalu dalam kehidupan yang penuh dengan kemudahan dan kesusahan yang dihadapi dengan tabah. Anak-anak penulis beserta menantu Leksin dan Sulastri, Wabas,


(20)

H. Andrew dan Hj. Maya Yusufina telah memberikan suasana “persahabatan” yang telah memberikan kebahagiaan luar biasa kepada keluarga kami. Hubungan kami lebih bersifat antara sahabat ketimbang antara anak dan orang tua. Isteri penulis beserta anak dan menantu selalu mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian disertasi ini. Untuk semua itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas dukungan, bantuan dan doa mereka.

Semoga anak-anak dan menantu terpanggil untuk melanjutkan studinya ke tingkatan yang lebih tinggi. Amin.

Jakarta, 24 Februari 2012


(21)

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada 23 Juni 1939, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Awaluddin (Alm.) dan Ibu Hj. Fathimah Zahara (Almh.). Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di Medan dan selesai tahun 1957. Penulis menyelesaikan Program Sarjana (S1) Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1962, Program Master of Science in Electrical Engineering, Illinois Institute of Technology (IIT), Chicago, Amerika Serikat tahun 1965. Penulis adalah lulusan Kursus Reguler Lembaga Pertahanan Nasional, Angkatan XX (9 bulan) pada tahun 1987. Selanjutnya penulis menyelesaikan Program Pascasarjana (S2) Magister Manajemen di Universitas Indonesia (UI) tahun 1994. Penulis mengikuti Program Studi Teknologi Industri Pertanian (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai tahun 2003.

Tahun 1968 penulis bekerja sebagai Principal Engineer, Commonwealth Edison Company (Electric Utility Company), Chicago, Amerika Serikat. Kemudian pada tahun1975 penulis mendapat Professional Engineer (PE) licence. Di samping itu penulis juga mengajar di Illinois Institute of Technology, Department of Electrical Engineering, Chicago. Tahun 1980 penulis menjabat Kepala Unit Pembangunan dan Pengembangan Proyek Listrik Pedesaan, Departemen Perdagangan dan Koperasi. Di samping itu penulis juga menjadi Direktur Akademi Akuntansi Dr. Muchtar Thalib. Tahun 1983 penulis menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Koperasi, Bidang Teknologi Koperasi, dan kemudian Bidang Hubungan Luar Negeri. Pada tahun 1991 penulis menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), sekolah pascasarjana bisnis. Tahun 1996 menjabat sebagai Tenaga Ahli Utusan Indonesia, Bidang Pengusaha Kecil dan Menengah, APEC Business Advisory Council (ABAC). Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Pengawas Yayasan Pengembangan Manajemen Indonesia (YPMI) dan Komisaris PT. Sriboga Raturaya.


(23)

(24)

(25)

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT………... v

RINGKASAN……...………. vii

DAFTAR ISI………. xxi

DAFTAR TABEL……… xxiii

DAFTAR GAMBAR……… xxv

DAFTAR LAMPIRAN………. xxvi

1. PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 3 1.3. Ruang Lingkup ………... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA………... 5

2.1. Manajemen Rantai Pasok... 5 2.2. Studi Sistem... 10 2.3. Pendekatan Sistem ... 11 2.4. Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia ……….… 12 2.5. Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat…………..… 22 2.6. Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu... ………. 26 2.6.1. Petani ……… 26 2.6.2. Pengumpul ………... 27 2.6.3. Industri Pengolahan Ubi Kayu... 28 2.7. Perkembangan Industri Tepung Terigu... 31

3. METODE PENELITIAN... 35 3.1. Kerangka Pemikiran... 35 3.2. Tahapan Penelitian... 36 3.3. Analisa Peramalan dengan menggunakan Double Exponential

Smoothing with Trend………...……… 39 3.4. Analisa Benefit Cost Ratio... 40


(26)

xxii

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43 4.1. Tren Penyediaan Karbohidrat dari Ubi Kayu... 43 4.1.1. Volume Impor Gandum... 44 4.1.2. Volume Konversi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu... 45 4.1.3. Volume Produksi Ubi Kayu Indonesia... 46 4.1.4 Perencanaan Total Produksi Ubi Kayu untuk Tepung

Tapioka... 48 4.1.5 Luas lahan yang Dibutuhkan... 50 4.1.6 Jumlah Petani dan Industri yang Akan Terlibat... 55 4.2. Rantai Pasok Ubi Kayu Dalam Rangka Penyediaan Karbohidrat... 57 4.3. Penyeimbangan Bh/C... 60

4.4.Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik Bahan Pangan Ubi Kayu, Beras,

dan Terigu……… 63 4.5. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani ………...…… 65

4.5.1. Permasalahan-permasalahan dalam Penyediaan Bahan

Baku Industri Sumber Karbohidrat Berbasis Ubi Kayu... 65 4.5.2. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan

Peningkatan Luas Lahan……….. 68 4.6. Pola Kemitraan ……….... 69

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 83 5.1. Kesimpulan... 83 5.2. Saran... 85


(27)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk

Pertanian... 9 Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram... 14 Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi

Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009... 15 Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun

2010……….... 16

Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram... 20 Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di

Indonesia tahun 2000 – 2009... 22 Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan

makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 –

2009………... 23

Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman Jagung

di Indonesia tahun 2000 – 2009... 25 Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100

gram... 26 Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun

1998-2002... 32 Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun

1992-2002... 33 Tabel 4.1. Volume Impor Gandum Tahun 2003-2008 dan Peramalannya

Tahun 2009-2015... 44 Tabel 4.2. Substitusi Karbohidrat Gandum ke Ubi Kayu Tahun

2009-2015... 46 Tabel 4.3. Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi Ubi Kayu Hanya

untuk Tepung Tapioka Tahun 2000-2009 dan Peramalannya


(28)

xxiv Tabel 4.4. Perencanaan Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk

Tapioka Tahun 2010-2015……….. 49 Tabel 4.5. Forecast Luas Lahan Ubi Kayu yang Dibutuhkan Tahun

2010-2015………..………. 50 Tabel 4.6. Analisis Bh/CKondisi Awal………... 62

Tabel 4.7. Analisis Bh/Cdisetarakan dengan Bh/C Petani……….. 62

Tabel 4.8. Perbandingan Bh/C Pabrik-Pabrik pada Beras, dan Tepung

Terigu……….. 64

Tabel 4.9. Contoh Perhitungan Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan

Peningkatan Luas Lahan Budidaya……… 69

Tabel 4.10. Bentuk kerja sama dalam penyediaan bahan baku Agroindustri


(29)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertical……… 6 Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk

pertanian... 7 Gambar 2.3 Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya... 11 Gambar 2.4 Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010……. 18 Gambar 2.5. Produk nilai tambah dari ubi kayu... 21 Gambar 2.6. Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka……… 30 Gambar 2.7. Jalur Distribusi Tepung Terigu... 34 Gambar 3.1. Tahapan Penelitian ………...……… 38 Gambar 4.1. Metode perhitungan kebutuhan ubi kayu, jumlah petani

dan pabrik tapioka yang diperlukan ………. 43 Gambar 4.2. Grafik Forecasting Volume Impor Gandum Tahun

2009-2015... 45 Gambar 4.3. Grafik Forecasting Volume Produksi Ubi Kayu dan Produksi

Ubi Kayu untuk Tepung Tapioka Tahun 2010-2015... 48 Gambar 4.4. Total Volume Ubi Kayu yang Dibutuhkan untuk Tepung

Tapioka Tahun 2010-2015……….. 49 Gambar 4.5. Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka... 57 Gambar 4.6. Rantai Pasok Tepung Tapioka ke Konsumen... 60 Gambar 4.7. Kategorisasi Bh/C untuk Para Pelaku dalam Rantai Pasok

Agroindustri... 63 Gambar 4.8. Pola Kemitraan antara Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu... 76 Gambar 4.9. Evaluasi Kemitraan Koperasi………... 78 Gambar 4.10. Sumber dan Alokasi Keuntungan Koperasi………… 79 Gambar 4.11. Sumber Pendapatan Petani……… 79 Gambar 4.12. Rantai Pasok Ubi Kayu dan Tepung Tapioka Berdasarkan


(30)

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kesesuaian Lahan Ubi kayu (Maniohot esculenta)………. 95 Lampiran 2 Hasil Peramalan Trend Impor Gandum... 97 Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia... 99


(31)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan karbohidrat yang bersumber dari bahan yang tumbuh di negeri sendiri perlu ditingkatkan untuk mengurangi atau menghilangkan ketergantungan kepada impor. Ketergantungan kepada impor mengurangi dan dapat mengancam ketahanan pangan, membuat suatu negara tegantung kepada negara lain sehingga mengurangi kedaulatannya. Ketergantungan kepada import mengandung resiko di mana ketersediaan bahan pangan ditentukan di luar negeri dan bukan oleh negara pengimpor itu sendiri. Impor tersebut setiap saat mungkin saja terhenti karena situasi politik yang tidak kondusif. Ketidakpastian impor diperparah lagi oleh perubahan iklim yang kini sedang berlangsung sehingga mungkin saja tidak ada negara yang mau menjual bahan pangannya karena harus memenuhi kebutuhannya sendiri terlebih dahulu.

Indonesia kaya dengan berbagai sumber karbohidrat di samping beras, seperti jagung, sagu dan ubi kayu (Maniohot esculenta). Sesuai budaya dan kearifan lokal, bahan tersebut dikonsumsi sebagai makanan pokok. Setelah beras diperkenalkan ke seluruh pelosok tanah air, antara lain melalui pembagian jatah beras bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan POLRI, maka bahan-bahan karbohidrat yang lain beralih peran menjadi penganan (INDEF 1995). Pada tahun 1993 dan 1996 tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mendekati 100%, yaitu masing-masing sebesar 98,6% dan 98,8% (Ariani 1999).

Di samping itu, kecuali beras, peran bahan-bahan karbohidrat yang lain sebagai pengananpun pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat (INDEF 1995). Swa-sembada pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan melalui pengurangan ketergantungan kepada impor. Ketersediaan karbohidrat lokal merupakan suatu alternatif dari impor.

Sebagai contoh untuk perhitungan, gandum dijadikan rujukan. Bagaimana keadaannya jika karena satu dan lain hal gandum tidak diekspor ke Indonesia oleh


(32)

2

negara penghasil. Sehubungan hal itu perlu disiapkan skenario pengembangan sumber karbohidrat lokal. Dalam skenario tersebut seyogyanya sumber karbohidrat yang ingin dikembangkan tidak mengganggu penyediaan karbohidrat oleh sumber lokal yang telah berlangsung. Gangguan tersebut antara lain dapat berupa persaingan mendapatkan lahan. Sumber karbohidrat yang akan dikembangkan tidak akan berkompetisi untuk mendapatkan lahan dengan sumber lokal antara lain padi dan jagung.

Sumber karbohidrat yang dipilih adalah ubi kayu, karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang baik, sehingga ubi kayu dapat tumbuh di semua provinsi di Indonesia (Deptan 2009a). Di samping itu, pembudidayaan ubi kayu mudah, dikenal baik oleh petani, produktivitas lahan yang tinggi. Selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, ubi kayu juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005). Pengalaman dibeberapa negara di sub-sahara Afrika menunjukkan bahwa ubi kayu memberikan penghasilan kepada petani miskin dan kaya melebihi dari komoditas lain (Nweke 1996).

Jadi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu bukan karena ingin menyediakan karbohidrat yang sama dengan atau mendekati sifat-sifat terigu. Tujuannya adalah menyediakan sumber karbohidrat dalam jumlah yang banyak yang kemudian dapat menarik ahli kuliner untuk menciptakan makanan enak berbasis karbohidrat bersumber dari ubi kayu.

Di Indonesia ubi kayu memainkan peranan penting bagi perekonomian negara serta peranannya semakin strategis sebab selain menjadi sumber karbohidrat penting ke tiga setelah padi dan jagung, juga sebagai bahan baku aneka industri yang terus berkembang (Subandi et al. 2005).

Berdasarkan data BPS (2010) jumlah produksi ubi kayu Indonesia mulai tahun 2000 sampai 2009 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya produktivitas, meskipun luas areal panennya tidak mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal panen tanaman ubi kayu seluas 1.284.040 ha dengan produktivitas 12,5 ton/ha dan produksi sebanyak 16.089.020 ton. Pada tahun 2009 luas areal penen ubi kayu seluas 1.174.819 ha dengan produktivitas tanaman 18,75 ton/ha dan produksi sebanyak 22.028.502


(33)

3

ton. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/Ha.

Menurut Subandi et al. (2005) terdapat beberapa permasalahan dalam produksi ubi kayu di Indonesia diantaranya rata-rata produktivitas ubi kayu secara nasional masih rendah (15,5 ton/ha ubi segar), sebab umumnya adalah diusahakan oleh petani kecil pada lahan kering yang tanahnya kurang subur, dengan sedikit menanam varietas unggul (10%) dan sebahagian besar tidak memupuk. Padahal hasil penelitian produktivitas tanaman ubi kayu dapat mencapai 30-40 ton/ha.

Rendahnya produktivitas tanaman juga masih ditambah dengan rendahnya harga jual produk dan nilai tambah hasil produksi. Berdasarkan hasil penelitian Limbongan et al. (1999) menyebutkan bahwa harga jual 100 kg ubi kayu basah seharga Rp 25.000 (Rp 250 per kg), sementara dalam bentuk chip dijual seharga Rp 120.000 dengan biaya produksi Rp 80.000, sehingga nilai tambah yang diperoleh hanya Rp 15.000 untuk 100 kg ubi kayu basah atau rata-rata Rp 150 / kg.

Luas kepemilikan lahan petani yang sempit, serta harga produk dan nilai tambah yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan petani ubi kayu. Melalui penelitian ini akan dibuat strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, dengan rantai pasok yang berkelanjutan, serta dapat memberikan semua pemangku kepentingan keuntungan yang adil. Salah satu upaya untuk lebih meningkatkan pendapatan petani adalah pengembangan agroindustri ubi kayu yang memiliki nilai tambah yang tinggi, dimana petani dapat ikut memiliki industri atau mempunyai aliansi strategis.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang dapat mensejahterakan petani, melalui pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok. Pada tahap pertama akan disediakan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka sebagai alternatif karbohidrat bersumber dari gandum.


(34)

4

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan gambaran umum dan permasalahan yang dihadapi para stakeholder dalam rantai pasok ubi kayu.

2. Mendapatkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pikir untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu.

3. Mendapatkan pola kerjasama yang menjamin keberlangsungan rantai pasok ubi kayu dari hulu sampai hilir dengan terjadinya kesepakatan atau kontrak yang saling menguntungkan.

1.3 Ruang Lingkup

Sumber karbohidrat yang diteliti adalah ubi kayu dan produk agroindustri adalah tepung tapioka. Petani adalah yang melakukan budidaya ubi kayu. Industriawan adalah pelaku usaha agroindustri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pedagang adalah pengumpul ubi kayu petani dan menjualnya kepada agroindustri


(35)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Rantai Pasok

Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan, dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen (Krajewski et al. 2010). Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang, pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Li 2007; Levi etal. 2000).

Sementara itu, menurut Vorst (2006), manajemen rantai pasok merupakan perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok tersebut.

Lazzarini (2000) menurut Vorst (2006) menggambarkan jaringan agroindustri secara vertikal (Gambar 2.1) sehingga merupakan aliran produk disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jaringan rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan jaringan rantai pasok ini. Agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar. Selain itu agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.


(36)

6

Gambar 2.1 Jaringan Rantai Pasok Vertikal (Lazzarini 2000)

Untuk produk pertanian, rantai pasok merujuk kepada kegiatan seluruh rantai pasok, yaitu mulai produksi di kebun, pengolahan, distribusi, hingga kegiatan mengecer ke konsumen (Chen 2004). Berbeda dengan sistem manufaktur, manajemen rantai pasok untuk produk pertanian memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) produk pertanian bersifat mudah rusak, 2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, 3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, 4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994 dalam Marimin etal. 2010).

Pembentukkan rantai pasok produk pertanian didorong oleh keinginan untuk meningkatkan daya saing. Menurut Chen (2004), terdapat tiga hal yang menjadi market drivers pembentukkan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) keamanan pangan dan jaminan kualitas produk, dari mulai produksi sampai ke konsumen, 2) inovasi produk dan diferensiasi, 3) minimalisasi biaya untuk mengurangi biaya logistik yang mencakup berbagai transaksi, pengiriman, penggudangan, dan biaya pengiriman.

Menurut Vorst (2006) yang mengadaptasi Lambert dan Cooper (2000) terdapat empat elemen yang dapat digunakan untuk menjelaskan, menganalisis, dan membentuk rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) struktur jaringan yang membatasi jaringan rantai pasok dan menjelaskan pelaku utama rantai pasok,

P eman g ku Kepen ti ng a n Konsumen Distributor Agroindustri Petani/Pemasok


(37)

7

aturan dan penyusunan kelembagaan yang mengatur jaringan tersebut, 2) rantai proses bisnis, yang terukur dalam kegiatan bisnis yang terencana untuk memproduksi output yang spesifik (produk fisik, jasa, dan informasi) bagi konsumen atau pasar tertentu, 3) manajemen jaringan dan rantai pasok yang menunjukkan koordinasi dan struktur manajemen dalam jaringan yang memfasilitasi pelaksanaan proses oleh para pelaku rantai pasok dan penggunaan sumber daya rantai pasok, 4) sumber daya rantai pasok yang digunakan untuk memproduksi produk dan menyalurkannya ke konsumen. Frame work rantai pasok produk pertanian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian (Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000)

Setiap elemen dalam frame work rantai pasok produk pertanian secara langsung berkaitan dengan tujuan rantai pasok produk pertanian tersebut. Tiga proposisi nilai yang menjadi tujuan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1) diferensiasi jaringan dan segmentasi pasar, dimana target diferensiasi rantai pasok sesuai dengan permintaan spesifik dari konsumen, 2) kualitas yang terintegrasi,


(38)

8

dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah lingkungan, 3) optimasi jaringan, yang dilakukan untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi yang rasional (Vorst 2006).

Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst (2006) kinerja rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai. Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan pada Tabel 2.1.

Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya (Bunte 2006).

Oleh karena itu diperlukan teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan 2) keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan (Bunte 2006).


(39)

9

Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian

Level Indikator Kinerja Penjelasan

Jaringan Rantai Pasok Ketersedian produk Tersedianya produk dalam jaringan rantai pasok Kualitas produk Produk yang masih terjaga

kualitasnya

Responsiveness Siklus waktu order rantai pasok

Realibility pengiriman Sesuai dengan waktu pengiriman yang terjamin Total biaya rantai pasok Jumlah seluruh biaya

organisasi dalam rantai pasok

Organisasi Level persediaan Jumlah produk yang tersedia

Waktu proses Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rantai proses bisnis

Responsiveness Fleksibilitas organisasi

Realibility pengiriman Persen order yang dikirim tepat waktu dan jumlah Total biaya organisasi Jumlah seluruh biaya

proses dalam organisasi yang spesifik

Proses Responsiveness Fleksibilitas proses Waktu proses Waktu yang dibutuhkan

untuk melakukan proses Hasil proses Hasil dari proses

Biaya proses Biaya untuk melakukan proses


(40)

10

2.2 Studi Sistem

Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem.

Menurut Eriyatno (2003) metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah 1 sampai ke-6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem.

Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek 1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut.

Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus menunjukkan posisi sistem yang terdiri dari komponen-komponen dengan lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(41)

11

Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output ke dalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik.

Gambar 2.3 Organisasi, sumber daya dan lingkungannya (Schoderbek 1985)

2.3Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan dengan memperhatikan interaksi antara obyek-obyek yang menggabungkan obyek-obyek tersebut sehingga membentuk keseluruhan


(42)

12

(Schoderbek 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem.

Menurut Schoderbeck (1985) terdapat tiga fase utama dalam melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno 2003).

2.4 Sumber Karbohidrat Ubi Kayu di Indonesia

Sumber karbohidrat yang penting di Indonesia adalah padi, jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar. Padi dan jagung sudah sangat penting sehingga telah banyak mendapat perhatian dan penanganan pemerintah dan masyarakat. Walau belum tersebar luas, sagu sudah mulai dibudidayakan di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau Daratan. Sedangkan singkong, walau penting belum mendapat perhatian dan penanganan yang cukup, telah dibudidayakan (dengan siklus 1 tahun) dan melibatkan petani. Ubi kayu bisa ditanam kapan dan di mana saja, tidak memerlukan tanah yang “baik”, dan tidak se-sensitif padi.

Tanaman ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae, dengan spesies

Manihot esculenta dan Manihot utilisima. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 0 – 1000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 1000 –


(43)

13

1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29oC, pada suhu yang lebih tinggi dari 29oC produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang lebih rendah dari 10oC pertumbuhan akan terhenti (Kay 1973). Tanaman ubi kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering

Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2011), produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar matahari yang cukup, tekstur tanah agak halus/sedang, rata-rata temperatur sekitar 24 – 29oC, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun, dan lama bulan kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah.

Mengingat nilai produksi dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi jika ditanam bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena bibitnya mudah didapat dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah tertentu.

Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen, dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.


(44)

14

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Ubi Kayu Setiap 100 gram

Komposisi Nilai Satuan

Energi 146,0 Kkal

Protein 1,2 Gram

Lemak 0,3 Gram

Karbohidrat 34,7 Gram Kalsium 33 Miligram Fosfor 40 Miligram

Besi 0,7 Miligram

Vitamin B1 0,06 Miligram Vitamin A 0,0 SI Vitamin C 30 Miligram

Air 62,8 Gram

Sumber : Kementerian Pertanian (2011)

Indonesia pada kurun waktu 1961-2005 merupakan net eksportir ubi kayu dan produk olahannya, namun mengimpor pula pati ubi kayu mulai tahun 1989 karena lambatnya laju produksi dalam negeri. Pada Tahun 2008 Volume ekspor ubi kayu sebanyak 166.685 ton dan volume impor 158.100 ton. Nilai ekspor pada Tahun 2008 senilai US$ 35.871.000 sementara nilai impornya lebih tinggi yaitu US$ 57.948.000 (Pusdatin Deptan 2010).

Komoditi ubi kayu, walau diekspor dan secara makro memberikan kontribusi pendapatan devisa dan mendukung industri domestik sebagai bahan baku, relatif tidak memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Harga ubi kayu di tingkat petani hanya meningkat dari Rp. 161 /kg pada periode 1990-1999 menjadi Rp. 514 /kg pada periode 2000-2005. Keadaan tersebut dapat juga dilihat dari index pendapatan per unit biaya produksi (R/C) yang menurun sebesar -2.4 % pada periode 1980-1999 (Darwanto 2007).

Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu dan beberapa produk olahannya seperti gaplek, tepung tapioka dan tepung cassava (FAO 2006). Hal ini dimungkinkan karena iklim yang sesuai dan teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu sulit, sehingga tingkat produksi ubi kayu dapat ditingkatkan. Produksi ubi


(45)

15

kayu atau singkong di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 22.028.502 ton dengan luas tanam 1.174.819 Hektare, meningkat sebesar 1,25 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana pada tahun 2008 produksi singkong tercatat 21.756.991 ton dengan luas tanam 1.204.933 Hektare. Jumlah produksi dan luas tanam ubi kayu Indonesia Tahun 2000 - 2009 disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2000 – 2009

Tahun Luas Panen (Ha)

Produktivitas (Ton/Ha)

Produksi (Ton)

2000 1.284.040 12,5 16.089.020

2001 1.317.912 12,9 17.054.648

2002 1.276.533 13,2 16.913.104

2003 1.244.543 14,9 18.523.810

2004 1.255.805 15,5 19.424.707

2005 1.213.460 15,9 19.321.183

2006 1.227.459 16,3 19.986.640

2007 1.201.481 16,64 19.988.058

2008 1.204.933 18,06 21.756.991

2009 1.174.819 18,75 22.028.502

Sumber: BPS 2010 dan Deptan.go.id 2010

Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23 juta ton. Provinsi Lampung memberikan kontribusi terbesar dengan produksi mencapai 8,3 juta ton, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dengan produksi mencapai 3,9 juta ton, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 2,9 juta ton. Produksi ubi kayu menurut provinsi di Indonesia Tahun 2010 disajikan pada Tabel 2.4. Peta persebaran produksi ubi kayu menurut provinsi pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 2.4.


(46)

16

Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010

Provinsi Produksi (Ton)

NAD 45.580

Sumatera Utara 1.004.111

Sumatera Barat 181.145

Riau 75.002

Jambi 40.343

Sumatera Selatan 161.613

Bengkulu 46.311

Lampung 8.294.070

Bangka Belitung 22.860

Kepulauan Riau 8.668

DKI Jakarta 267

Jawa Barat 2.117.976

Jawa Tengah 3.936.525

DI Yogyakarta 1.037.610

Jawa Timur 2.957.884

Banten 115.464

Bali 161.459

NTB 76.420

NTT 1.101.104

Kalimantan Barat 193.662

Kalimantan Tengah 80.175

Kalimantan Selatan 102.697

Kalimantan Timur 113.824

Sulawesi Utara 88.425

Sulawesi Tengah 76.737

Sulawesi Selatan 487.165

Sulawesi Tenggara 224.610

Gorontalo 6.288

Sulawesi Barat 50.560

Maluku 130.958

Papua 35.178

Maluku Utara 107.884

Papua Barat 10.947

Total 23.093.522

Sumber : Kementerian Pertanian (2011)

Dalam beberapa hari setelah dipanen, ubi kayu akan rusak atau busuk sehingga perlu diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah dalam pemasaran maupun penggunaan dan pemanfaatan ubi kayu, serta menghasilkan susut yang relatif besar (Barret dan Damardjati


(47)

17

1984). Kerusakan yang biasa terdapat pada ubi kayu adalah timbulnya warna hitam yang disebabkan oleh aktifitas enzim polifenolase (Syarief dan Irawati 1988).


(48)

18


(49)

19

Ubi kayu diambil umbinya dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Sebagai bahan pangan ubi kayu atau singkong dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis makanan seperti ubi kayu rebus, goreng, keripik dan sebagainya. Sebagai bahan baku industri ubi kayu biasanya diolah sebagai produk antara (intermediate product) dalam bentuk tepung gaplek, tapioka dan tepung ubi kayu. Pohon Industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Tepung ubi kayu atau singkong dibuat dengan mengeringkan singkong baik sesudah perajangan maupun dengan pemarutan, dan kemudian ditepungkan. Tepung ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tepung tapioka, glukosa, fruktosa, sorbitol, dekstrin, alkohol dan sebagainya. Sorbitol dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel yang digunakan antara lain pada industri permen/kembang gula dan minuman instan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis pasta gigi, kosmetik dan cat minyak (Hafsah 2003). Dekstrin antara lain digunakan pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan industri kimia. Selain itu tepung ubi kayu atau tepung kasava sudah sejak puluhan tahun lalu telah dimanfaatkan di kabupaten Boyolali sebagai bahan baku pembuatan mie-kuning untuk memasok kebutuhan penjual bakso di daerah tersebut (Darwanto 2007).

Tepung tapioka mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.5. Kandungan terbesar tepung tapioka adalah karbohidrat sebesar 88,2 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein relatif kecil yaitu 0,5 dan 1,1 persen. Tepung tapioka juga mengandung kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu masing-masing 84,0 dan 125,0 mg/100 gram bahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain sebagai sumber karbohidrat, tepung tapioka juga dapat memberikan asupan kedua jenis mineral tersebut (Direktorat Gizi, Depkes 1979).


(50)

20

Tabel 2.5 Komposisi kimia tepung tapioka setiap 100 gram

Komposisi Nilai Satuan

Energi 363.0 Kkal Protein 1.1 Gram

Lemak 0.5 Gram

Karbohidrat 88.2 Gram Kalsium 84.0 Miligram

Fosfor 125.0 Miligram Besi 1.0 Miligram Vitamin B1 0.0 Miligram

Vitamin A 0.0 SI Vitamin C 0.0 Miligram

Niacin 9.1 Gram


(51)

21

Gambar 2.5 Pohon Industri Ubi Kayu.

(Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2007) UBI


(52)

22

2.5 Status dan Variasi Penyediaan Sumber Karbohidrat

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Indonesia memiliki aneka ragam sumber karbohidrat dan yang utama adalah beras, jagung dan ubi kayu. Produksi padi pada Tahun 2009 sebanyak 64.329.329 ton atau 37.954.304 ton setara beras. Produksi padi tahun 2009 mengalami peningkatan 6,64% dibanding Tahun 2008 sebanyak 60.325.925 ton (setara beras 35.592.296 ton). Peningkatan produksi padi disebabkan oleh adanya peningkatan luas lahan dan peningkatan produktivitas tanaman. Secara lebih rinci data luas panen dan produksi padi sejak tahun 2000 sampai tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia tahun 2000 – 2009

Sumber BPS 2010

Berdasarkan data di atas, selama kurun waktu Tahun 2000 sampai Tahun 2009 terjadi kenaikan peningkatan luas panen tanaman padi sebesar 9% atau rata-rata 1% per tahun. Pada kurun waktu yang sama permintaan (konsumsi ) beras juga meningkat dari 23.897.878 ton pada tahun 2000 menjadi 32.057.945,3 ton pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 24% atau rata-rata 2,7% per tahun.


(53)

23

Peningkatan laju permintaan (konsumsi) beras selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, juga adanya peningkatan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia dari 116,5 kg/kapita pada tahun 2000 menjadi 139,0 kg per kapita pada tahun 2009. Pada Tabel 2.7 disajikan data jumlah penduduk Indonesia dan tingkat konsumsi per kapita berbagai tanaman penghasil karbohidrat.

Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009

Tahun Penduduk (X 1000 jiwa)* tingkat konsumsi beras (Kg/kapita) tingkat konsumsi Ubi kayu (Kg/kapita) tingkat konsumsi Jagung (Kg/kapita) tingkat konsumsi Ubi jalar (Kg/kapita)

2000 205,132.0 116.5 13.40 3.40 3,0

2001 207,927.5 116.6 13.40 3.40 3,0

2002 210,736.3 115.5 12.80 3.40 2.8

2003 213,550.5 115.5 11.96 3.30 2.8

2004 216,381.6 107,0 12,00 3.20 3.3

2005 219,204.7 138.81 15,00 3.30 4,0

2006 222,051.3 135,0 13.83 3.44 3.4

2007 224,904.9 139.15 13.62 5.50 2.6

2008 227,779.1 139,0 14.19 3.60 2,9

2009 230,632.7 139,0 14.22 3.60 3,0

Sumber: Susenas 2000, 2003, 2006, BPS 2009, Deptan go.id (2010)

Selama kurun waktu 2000 – 2009 berdasarkan data BPS (2010) seperti disajaikan pada Tabel 2.3 produksi ubi kayu juga mengalami peningkatan yaitu dari 16.089.020 ton pada Tahun 2000 menjadi 22.028.502 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi ternyata bukan disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu, tetapi karena meningkatnya produktivitas per ha. Selama kurun waktu 2000-2009 luas panen tanaman ubi kayu mengalami penurunan 8,5% atau terjadi


(54)

24

rata-rata penurunan luas panen 0,9% per tahun. Padahal permintaan (konsumsi) ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8 ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3% atau terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1% per tahun. Peningkatan permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai 2009 hanya mengalami peningkatan 0,7% per tahun sedangkan laju peningkatan penduduk mencapai 1,4% per tahun.

Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang cukup tinggi (82%) yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1% per tahun yang meningkat dari 3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009.

Produktivitas tanaman jagung juga mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu dari 2,77 ton/ha tahun 2000 menjadi 4,29 ton per ha pada tahun 2009. Secara rinci luas areal panen dan produksi jagung sejak tahun 2000 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.8.


(55)

25

Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di Indonesia tahun 2000 – 2009

Sumber: BPS 2010

Dibandingkan tanaman-tanaman sumber karbohidrat, tepung tapioka memiliki kandungan karbohidrat paling tinggi. Berdasarkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kandungan karbohidrat yang terdapat beras, tepung terigu, dan tepung tapioka dalam setiap 100 gram berturut-turut adalah 78,9 gram, 77,3 gram dan 88,2 gram. Disamping itu tepung tapioka juga memiliki kandungan kalsium paling tinggi yaitu mencapai 84 miligram, sedangkan pada beras dan terigu beruturut-turut hanya 6 dan 16 miligram. Komposisi kimia beras giling, tepung terigu dan tepung tapioka disajikan pada Tabel 2.9


(56)

26

Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram

Komposisi Satuan Beras Giling Terigu Tapioka

Energi Kal 360.0 365 363.0

Protein Gram 6,8 8,9 1.1

Lemak Gram 0,7 1,3 0.5

Karbohidrat Gram 78,9 77,3 88.2

Kalsium Miligram 6 16 84.0

Fosfor Miligram 140 106 125.0

Besi Miligram 0,8 1,2 1.0

Vitamin B1 Miligram 0,26 0,12 0.0 Vitamin C Miligram 0.12 0,12 0.0 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)

2.6 Pelaku Rantai Pasok Ubi Kayu

Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: (1) petani yang membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, (4) Distributor, (5) Konsumen.

2.6.1 Petani

Hingga kini rata-rata hasil ubi kayu nasional masih tergolong rendah, yaitu sekitar 17,6 ton per Hektare. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai antar 30 – 40 ton/ha (Subandi et al. 2005). Dari segi teknis produksi, penyebab penting atas rendahnya tingkat hasil ubi kayu di tingkat petani adalah terbatasnya penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan kurangnya penggunaan pupuk. Untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu petani harus dilakukan beberapa hal yaitu pemilihan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pengaturan jarak tanam yang sesuai, pemupukan yang efektif, sistem tanam yang produktif, serta pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat.


(57)

27

Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan pellet/gaplek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas Kasetsart 50 dari Thailand. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha, sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9 ton/ha (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008)

2.6.2 Pengumpul

Petani yang mempunyai luas lahan 1 – 2 ha biasanya menjual produksi ubi kayu tidak langsung kepada pabrik tapioka, tetapi melalui pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari pabrik pengolahan ubi kayu, sehingga memerlukan biaya tambahan transportasi. Para pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan dapat merugikan petani. Sementara pihak pengumpul atau perantara itu sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu.

Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta uang terlebih dahulu sebelum panen dari para pengumpul atau para perantara ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga dengan penentuan refraksinya yang tidak transparan. Perhitungan/patokan pengumpul atau agen yang berlaku adalah sebagai berikut :

Harga beli lokal (dari Petani) + Transport + Ongkos Muat dan Bongkar + % refraksi + fee agen atau keuntungan pengumpul = Harga Pabrik

Contoh: (Rp 770 – Rp 775) + Rp 80 + Rp 10 + (% refraksi x Rp 5 / % refraksi) + Rp 10 (fee Agen).


(58)

28

Pengumpul akan mencari keuntungan setinggi mungkin. Sering memainkan % refraksi, timbangan atau sistem Botongan di Kebun dengan Petani. Biasanya Agen / Pengumpul menjaring petani-petani yang menjual volume yang tanggung 500 kg – 5 ton.

2.6.3 Industri Pengolahan Ubi Kayu

Pengolahan ubi kayu menjadi produk antara (intermediate product) merupakan salah satu cara pengawetan ubi kayu yang berkadar air tinggi. Selain itu, pengolahan ubi kayu menjadi produk antara berguna, yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses pengolahan ubi kayu menjadi produk antara yang dianjurkan karena produk antara yang dihasilkan lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dengan bahan lain, dapat diperkaya zat gizi (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Darwis etal. 2009).

Pada strategi penyediaan karbohidrat dari ubi kayu ini, tanaman ubi kayu akan diolah menjadi tepung tapioka. Tapioka merupakan pati ubi kayu. Proses pengolahan tapioka terdiri dari penggilingan (pada industri skala kecil perlu dilakukan pengupasan kulit ubi kayu), pengepresan, pemisahan ampas (onggok), pengendapan pati, pengambilan dan pengeringan pati. Pada industri besar pengendapan pati dilakukan dengan proses sentrifugasi dan pengeringannya dilakukan dengan menggunakan oven sehingga dapat dihasilkan rendemen dan mutu tinggi.

Pada prinsipnya pembuatan tepung tapioka adalah mengambil granula-granula pati dari dalam selnya dan selanjutnya dipisahkan dari komponen-komponen lain sehingga diperoleh pati dalam keadaan murni. Secara ringkas proses pembuatan tepung tapioka dalam skala industri dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses produksi tepung tapioka dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :


(59)

29

1. Singkong segar (maksimal 2 hari setelah panen) dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit.

2. Singkong yang telah dikupas dibersihkan dalam mesin pembersih untuk memisahkan dari kotoran-kotoran yang melekat. Tujuan pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan, dan lendir yang ada di lapisan permukaan umbi, dan mengurangi kandungan HCN 3. Singkong yang telah bersih diparut atau dihancurkan dengan mesin

penghancur.

4. Hasil pemarutan dicampur dengan air dan diaduk dalam sebuah mesin pengaduk.

5. Hasil adukan diperas untuk memisahkan pati dengan ampasnya.

6. Pati yang bercampur air diendapkan untuk memisahkan cairan pati yang kental dan berat dengan cairan yang ringan atau air limbah.

7. Cairan pati kental dan berat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki pati dan ditambahkan sulfur (belerang) agar hasil produksinya bersih dari kotoran.

8. Dari tangki pati cairan tersebut selanjutnya dikeringkan menjadi tepung. Hasil pengeringan ini masih berupa gumpalan tepung kasar, yang kemudian diayak untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus sebagai produk jadi.

9. Pada tahap yang paling akhir, tepung tapioka dimasukkan ke dalam karung plastik dan diangkut dengan mesin khusus dan selanjutnya disimpan dalam gudang sebelum di jual.

Dalam proses produksi tersebut dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu :

1. Kulit singkong, limbah ini tidak memiliki nilai ekonomi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk bahan kompos oleh penduduk yang ada di sekitarnya. 2. Ampas singkong (onggok), merupakan ampas basah hasil pemisahan dengan

pati. Ampas dapat digunakan untuk pakan ternak dan pabrik asam sitrat. 3. Air limbah cair, yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang karena


(60)

30

Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka (Sriroth 1999)

Di Indonesia, singkong telah dapat diolah lebih lanjut menjadi gaplek, sawut, tepung tapioka, tepung singkong dan yang terbaru adalah tepung mocaf. Pada saat penelitian dilakukan processing tapioka sudah mapan, sedangkan mocaf yang memerlukan luas lahan lebih kecil masih dalam taraf experiment. Namun strategi penyediaan karbohidrat dalam disertasi bisa dipakai untuk produk olahan lain.


(61)

31

2.7 Perkembangan Industri Tepung Terigu

Di Indonesia, selain industri tepung berbasis karbohidrat Indonesia juga terdapat industri tepung berbasis gandum atau tepung terigu yang gandum tersebut dipenuhi melalui impor. Indonesia sebelumnya langsung mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Industri tepung terigu di Indonesia dimulai dari pendirian perusahaan penggilingan terigu pertama, yaitu PT. Bogasari Flour Mills pada Tahun 1971. Pendirian perusahaan penggilingan ini disebabkan oleh sering terjadinya penurunan kualitas tepung terigu impor yang tiba di pelabuhan Indonesia, seperti berkutu dan bau apek sebagai akibat waktu perjalanan yang cukup lama. Selain itu, pendirian perusahaan penggilingan juga disebabkan semakin meningkatnya konsumsi pangan berbasis tepung terigu (Visidata Riset Indonesia 2003).

Sampai tahun 1995 PT. Bogasari Flour Mills hanya bertindak sebagai pelaksana penggilingan. Bahan baku gandum dan hasil penggilingan tepung terigu dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog). PT. Bogasari Flour Mills hanya menerima fee untuk penggilingan gandum tersebut. Bulog melakukan pembelian bahan baku, pengapalan bahan baku ke Indonesia, dan pemasaran dan distribusi tepung terigu yang dihasilkan PT. Bogasari Flour Mills (Visidata Riset Indonesia 2003).

Pemerintah Indonesia kemudian secara bertahap melakukan deregulasi tata niaga gandum dan terigu. Pada tahun 1995 pemerintah mencabut larangan investasi terhadap tepung terigu. Monopoli Bulog atas impor gandum dan terigu dihapus pada tahun 1997. Deregulasi Juni 1998 menghentikan monopoli Bulog terhadap suplai tepung terigu, harga domestik, dan distribusi tepung terigu. Sejak itu setiap perusahaan dapat mengimpor gandum sendiri, melakukan pemasaran, dan menetapkan harga (Visidata Riset Indonesia 2003).

Pada tahun 2010 terdapat 14 penggilingan tepung terigu yang telah beroperasi pada total kapasitas produksi 7.894.000 ton/tahun. Di Indonesia tepung terigu digunakan untuk bahan baku industri mi, biskuit, dan roti. Selain digunakan sebagai bahan baku industri pangan, tepung terigu juga sebagai bahan baku industri plywood. Pada tahun 2002 Kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM)


(62)

32

tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu dalam negeri, yaitu sebesar 58,86%. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah, biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37%. Sedangkan untuk industri rumah tangga sebesar 3,54% dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23% (Visidata Riset Indonesia 2003). Penggunaan tepung terigu untuk berbagai industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002

Industri Pemakai Jumlah (Ton)

1998 1999 2000 2001 2001

Industri Besar dan Modern

Mi Instan 584.791 638.750 715.006 754.638 807.642

Mi Kering 64.560 74.723 85.398 93.741 104.389

Mi Basah 2.971 3.178 3.321 3.478 3.662

Biskuit dan Snack

99.096 107.901 118.762 131.901 144.109

Roti 21.258 23.513 27.122 32.585 37.690

Plywood 4.729 3.685 4.036 2.768 2.472

Sub Total 777.405 851.750 953.645 1.019.111 1.099.964 Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Mi basah dan Kering

600.504 597.082 728.017 740.457 743.868

Biskuit dan Snack 286.535 323.419 356.425 318.361 354.355

Roti 637.084 634.399 811.436 729.726 785.520

Sub Total 1.524.123 1.554.900 1.895.878 1.788.544 1.883.743 Industri Rumah

Tangga

78.411 88.924 122.512 102.031 113.220

Rumah Tangga 71.060 68.598 91.884 93.028 103.516

Sub Total 149.471 157.522 214.396 195.059 216.736 Total 2.450.999 2.564.172 3.063.919 3.002.714 3.200.443


(63)

33

Tingkat konsumsi tepung terigu di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1992 tingkat konsumsi tepung terigu hanya sebesar 9,9 kg/kapita kemudian meningkat mencapai 15,4 kg/kapita pada tahun 1997. Pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 20,8% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2002 tingkat konsumsi tepung terigu mencapai 14,8 kg/kapita atau mengalami peningkatan sebesar 8,8% dari tahun sebelumnya (Aptindo 2003). Tingkat konsumsi tepung terigu dan pertumbuhannya tahun 1992-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Tingkat Konsumsi Tepung Terigu dan Pertumbuhannya Tahun 1992-2002

Tahun Tingkat Konsumsi (Kg/Kapita)

Pertumbuhan (%)

1992 9,9 -

1993 10,2 3,0

1994 12,5 22,5

1995 14,6 16,8

1996 14,8 1,4

1997 15,4 4,1

1998 12,2 -20,8

1999 10,9 -10,7

2000 12,9 18,3

2001 13,6 5,4

2002 14,8 8,8

Sumber: Aptindo 2003

Berdasarkan pengamatan terhadap salah satu pabrik tepung terigu yang berlokasi di Semarang didapatkan rantai pasok tepung terigu dari mulai pabrik (agroindustri) sampai ke konsumen akhir. Pabrik tepung terigu ini mendistribusikan produknya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Tepung terigu sebagai produk dari pabrik didistribusikan ke industri besar dan


(64)

34

distributor. Selanjutnya, distributor memasok tepung terigu ke sub distributor, industri menengah, dan wholesaler. Wholesaler kemudian memasok tepung terigu ke industri kecil dan retailer. Industri rumah tangga dan konsumen akhir mendapat pasokan tepung terigu dari retailer. Rantai pasok tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Jalur Distribusi Tepung Terigu Pabrik Tepung

Terigu

Industri Besar Distributor

Wholesaler Industri

Menengah Sub

Retailer Industri Kecil

Industri Rumah

Konsumen Akhir


(65)

35

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Ubi kayu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki produktivitas paling tinggi per satuan luas lahan bila dibandingkan dengan tanaman padi, jagung dan ubi jalar. Meskipun demikian peranan ubi kayu sebagai penyedia karbohidrat masih lebih rendah dibanding dengan padi, dan jagung. Peran ubi kayu juga semakin pudar setelah hadirnya terigu impor yang tersedia secara meluas yang dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Panganan dari bahan terigu semakin tersebar dan beragam, sementara panganan dari bahan ubi kayu relatif tidak berkembang. Seiring dengan itu pula pendapatan petani ubi kayu hampir tidak mengalami peningkatan, bahkan ikut menurun. Untuk meningkatkan kembali pamor ubi kayu sebagai alternatif sumber karbohidtrat perlu dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat di Indonesia bersumber dari ubi kayu.

Penelitian ini fokus kepada peningkatan pendapatan petani, distribusi pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan, penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu yang berkualitas, harga terjangkau dan delivery tepat waktu, harga ubi kayu yang stabil di tingkat petani.

Penelitian ini fokus kepada peningkatan pendapatan petani dengan merancang pola kemitraan dan distribusi pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan dalam penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu.

Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu memberikan alternatif pasokan karbohidrat yang selama ini dipenuhi dari bahan impor gandum. Jumlah karbohidrat yang diperoleh melalui impor gandum pada masa mendatang diharapkan dapat disuplai dari ubi kayu. Selanjutnya dihitung jumlah bahan baku ubi kayu yang perlu disediakan. Setelah itu dilakukan analisa B/C untuk melihat tingkat keuntungan bagi pelaku rantai pasok. Dan yang terakhir merancang pola kemitraan dalam penyediaan bahan baku ubi kayu untuk industri tapioka. Tahapan Penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.


(66)

36

3.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Namun secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Studi pustaka dan survei awal

Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam penelitian adalah studi pustaka. Peneliti melakukan penelusuran studi pustaka terhadap literatur yang ada guna menggali pemahaman teori-teori yang telah berkembang dengan bidang ilmu pengetahuan yang berkepentingan. Peneliti juga melakukan studi pustaka untuk mencari metode yang digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan data dan juga analisa data, sehingga memperoleh orientasi yang lebih luas dalam menyelesaikan permasalahan yang telah ditentukan.

2. Pengumpulan data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data di provinsi lampung. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara yang mendalam dengan praktisi dan ahli pakar. Kriteria pemilihan pakar dilakukan berdasarkan kriteria menurut Marimin (2002), yaitu 1) keberadaan pakar atau responden dan kesediaannya untuk dilakukan wawancara, 2) memiliki reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai ahli atau pakar pada substansi yang diteliti, dan 3) telah memiliki pengalaman dalam bidangnya.

Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran artikel-artikel, buku, dan media elektronik, seperti Biro Pusat Statistik (BPS), data perkembangan penyediaan karbohidrat di indonesia dari departemen pertanian dan departemen perdagangan republik indonesia , maupun dari sumber lain.

3. Peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang (dengan pola kebutuhan saat ini)

Selanjutnya dalam penelitian ini akan melakukan peramalan kebutuhan ubi kayu pada masa yang akan datang. Peramalan ini dilakukan


(67)

37

berdasarkan data kebutuhan ubi kayu pada saat ini. Peramalan di lakukan dengan metode double exponential smoothing with trend (DEST). Metode ini dipilih karena lebih tepat untuk meramalkan data yang mengalami trend kenaikan.

4. Peramalan kebutuhan gandum pada masa yang akan datang dan konversi kebutuhan gandum ke ubi kayu pada masa yang akan datang

Peramalan kebutuhan gandum dilakukan guna untuk melihat seberapa besar kebutuhannya pada masa yang akan datang. Sehingga bisa diketahui seberapa besar kebutuhan ubi kayu guna untuk mengkonversi kebutuhan karbohidrat gandum. Peramalan menggunakan metode double exponential smoothing with trend yang memiliki dua komponen utama yaitu level dan

trend. Dimana pada setiap periode dilakukan koreksi terhadap level dan trend

tersebut. Dengan metode ini dilakukan peramalan impor gandum Indonesia selama 5 tahun ke depan. Smoothing constant alpha dan beta dipilih yang terbaik, antara 0 hingga 1.

5. Perencanaan kebutuhan total produksi ubi kayu, kebutuhan luasan, dan kebutuhan jumlah petani mitra

Dengan didapatkannya kebutuhan ubi kayu dan kebutuhan konversi gandum menjadi ubi kayu pada masa yang akan datang, maka didapat pula total produksi ubi kayu pada masa yang akan datang, sehingga bisa lihat seberapa besar luasan lahan dan jumlah petani yang dibutuhkan. Dengan data total luasan lahan maka diketahui persentase (%) distribusi luas lahan petani yang dibutuhkan sebagai bahan perencanaan.

6. Evaluasi kemitraan dan pola kemitraan usulan

Setelah diketahui jumlah kebutuhan total produksi ubi kayu, kebutuhan luasan, dan kebutuhan jumlah petani, selanjutnya dilakukan analisa kesejahteraan dengan menganalisa B/C dan kesetaraan B/C guna untuk menganalisa penyebaran benefit yang setara pada setiap pelaku rantai pasok. Pada tahap akhir lalu mengevaluasi kemitraan petani.


(68)

38


(1)

Lampiran 1 Kesesuaian Lahan Ubi kayu (Maniohot esculenta) Persyaratan

penggunaan/ karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N

Temperatur (tc)

Temperatur rerata (°C) 22 - 28 28 - 30 18 - 20 30 - 35

< 18 > 35

Ketersediaan air (wa)

Curah hujan (mm) 1.000 - 2.000

600 - 1.000 2.000 -

3.000

500 - 600 3.000

-5.000

< 500 > 5.000

Lama bulan kering (bln)

3,5 - 5 5 - 6 6 - 7 > 7

Ketersediaan oksigen (oa)

Drainase baik, agak terhambat

agak cepat, sedang

terhambat sangat terhambat,

cepat

Media perakaran (rc)

Tekstur agak halus,

sedang

halus, agak kasar

sangat halus kasar

Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55 Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 < 50

Gambut:

Ketebalan (cm) < 60 60 - 140 140 - 200 > 200 Ketebalan (cm), jika

ada

sisipan bahan mineral/ pengkayaan

< 140 140 - 200 200 - 400 > 400

Kematangan saprik+ saprik, hemik+

hemik, fibrik+

fibrik

Retensi hara (nr)

KTK liat (cmol) > 16 ≤ 16

Kejenuhan basa (%) 20 < 20


(2)

Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N

7,0 - 7,6 > 7,6

C-organik (%) > 0,8 ≤ 0,8

Toksisitas (xc)

Salinitas (dS/m) < 2 2 - 3 3 - 4 > 4

Sodisitas (xn)

Alkalinitas/ESP (%) - - - -

Bahaya sulfidik (xs)

Kedalaman sulfidik (cm)

> 100 75 - 100 40 - 75 < 40

Bahaya erosi (eh)

Lereng (%) < 8 8 - 16 16 - 30 > 30 Bahaya erosi sangat

rendah

rendah - sedang

berat sangat berat

Bahaya banjir (fh)

Genangan F0 - F1 > F1

Penyiapan lahan (lp)

Batuan di permukaan (%)

< 5 5 - 15 15 - 40 > 40

Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 - 25 > 25 Sumber : bbsdlp.litbang.deptan.go.id


(3)

Lampiran 2 Hasil Peramalan Trend Impor Gandum

Kombinasi alfa beta MSE MAD MAPE

1 0.2 0.2 181.723.142.483 397004 8,34%

2 0.4 158.409.981.707 374367 7,88%

3 0.6 137.947.383.650 352604 7,43%

4 0.8 120.056.591.606 331699 6,99%

5 0.4 0.2 104.151.526.745 310709 6,55%

6 0.4 79.487.467.256 274866 5,81%

7 0.6 60.982.945.265 242066 5,13%

8 0.8 47.323.780.941 212180 4,51%

9 0.6 0.2 61.972.162.991 244862 5,19%

10 0.4 42.582.380.389 203184 4,32%

11 0.6 30.276.979.515 167332 3,58%

12 0.8 22.651.402.380 136867 2,94%

13 0.8 0.2 39.008.724.439 195958 4,17%

14 0.4 25.159.880.158 153756 3,29%

15 0.6 17.544.439.067 120093 2,59%


(4)

(5)

Lampiran 3 Hasil Peramalan Trend Volume Ubi Kayu Indonesia

Kombinasi alfa beta MSE MAD MAPE

1 0.2 0.2 348.171.330.902 466873 2,54%

2 0.4 333.825.642.822 472507 2,57%

3 0.6 323.865.971.071 479202 2,61%

4 0.8 317.780.918.262 486900 2,65%

5 0.4 0.2 362.117.754.144 515621 2,80%

6 0.4 363.089.863.641 533545 2,90%

7 0.6 374.182.501.302 554040 3,00%

8 0.8 393.857.288.224 576626 3,12%

9 0.6 0.2 413.271.593.340 561854 3,05%

10 0.4 440.601.452.699 591114 3,20%

11 0.6 483.149.712.906 622383 3,37%

12 0.8 538.421.404.790 654041 3,54%

13 0.8 0.2 478.614.623.959 592626 3,22%

14 0.4 533.234.487.284 624655 3,39%

15 0.6 604.548.169.062 653541 3,54%


(6)