Pola kemitraan Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu

permasalahan pendanaan untuk petani. Kondisi ini dapat terjadi karena dana dapat disalurkan dari berbagai sumber kepada masyarakat petani. Berdasar pola kemitraan petani-koperasi-pengumpul-industri tapioka ini dapat dibuat suatu strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu, seperti yang terlihat pada Gambar 4.12. Dalam strategi ini, unsur-unsur petani, pengumpul, agroindustri, pedagang dan konsumen saling terkait dan mempengaruhi. Petani Petani Petani Koperasi Pengumpul Petani Konsumen Konsumen Konsumen Pedagang Pedagang Konsumen Petani Petani Petani Koperasi Pengumpul Petani Konsumen Konsumen Konsumen Pedagang Pedagang Konsumen Agroindustri Tepung Tapioka Wilayah Kerja 1 Wilayah Kerja 2 Daerah Pemasaran 2 Daerah Pemasaran 1 Gambar 4.12 Strategi Penyediaan Karbohidrat bersumber dari Ubi Kayu Petani dapat bermitra dengan pengumpul dan agroindustri baik secara langsung maupun melalui koperasi. Melalui kemitraan akan dapat diperoleh dana dan kerjasama untuk peningkatan kualitas dan kuantitas produksi ubi kayu, kesinambungan produksi dan jaminan pasar yang dapat memberikan harga yang lebih wajar kepada petani. Pengumpul dapat menerima dana dari pabrik dan menambahkan dana sendiri atau dana lembaga keuangan. Dana yang lebih besar ini dapat dipinjamkan kepada lebih banyak petani untuk meningkatkan kualitas budidaya ubi kayu. Agroindustri dapat memberikan lapangan kerja kepada petani untuk memanfaatkan waktu “idle” petani dan menyerahkan proses awal agroindustri kepada petani. Agroindustri dapat juga memberi kesempatan kepada petani untuk ikut memiliki pabrik melalui pemilikan saham. Saham tersebut dapat dibayar melalui potongan penjualan ubi kayu petani atau melalui pembayaran dividend Dalam strategi ini petani dibagi menjadi beberapa wilayah kerja untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tapioka. Bila industri tapioka kapasitas 200 ton per hari membutuhkan 800 ton ubi kayu per hari. Dengan hari kerja satu tahun 300 hari maka, dalam waktu satu tahun diperlukan 240.000 ton ubi kayu. Kebutuhan bahan baku ubi kayu ini harus dipenuhi minimal dari 9600 Ha lahan dengan produktivitas 25 tonha. Jika setiap petani mempunyai lahan 2 ha per orang, maka jumlah petani yang terlibat adalah sebanyak 4800 orang petani. Jumlah yang cukup besar ini perlu dikelola dalam beberapa wilayah kerja, dimana disetiap wilayah kerja terdapat koperasi dan pedagang pengumpul yang mengelola petani-petani yang menjadi anggotanya. Petani menghasilkan ubi kayu, dan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat melakukan beberapa hal seperti menambah luas lahan dan melakukan kemitraan. Penambahan luas lahan dapat berupa pemilikan lahan tambahan atau pemberian akses lahan kepada petani. Pemberian akses ini akan melibatkan banyak pihak seperti masyarakat adapt setempat, pemerintah pusat dan daerah agar tidak menimbulkan potensi keresahan atau bentrok vertikal maupun horizontal. Dalam perluasan lahan ini tentu ada persaingan diantara komoditas pertanian seperti antara lain padi, jagung, tebu dan kelapa sawit . Dalam persaingan lahan ini ubi kayu mempunyai kelebihan yaitu dapat tumbuh di lahan yang marginal dengan daya adaptasi lingkungan iklim, ketersediaan air. Oleh sebab itu besar kemungkinan ubi kayu akan mendapatkan lahan yang tidak diperebutkan oleh komoditas-komoditas lain. halaman ini sengaja dikosongkan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Strategi penyediaan karbohidrat bersumber dari ubi kayu melibatkan unsur petani, pengumpul, pabrik, pengecer dan konsumen. Penelitian ini berupaya meningkatkan kesejahteraan petani. Pengumpul agar lebih efektif dan menurunkan biaya yang selama ini dibebankan kepada petani. Pabrik agar mendukung petani dengan membeli ubi kayu mereka dengan harga setinggi mungkin dalam batas bisnis yang sehat. Harga yang tinggi tersebut akan membuat petani tetap bergairah menanam ubi kayu. Pengecer agar berupaya bekerja se-efektif dan se-efisien mungkin agar dapat menyampaikan produk kepada konsumen secara teratur dengan harga yang kompetitif dan terjangkau. Konsumen juga mengharapkan kualitas produk yang baik, tersedia dan mudah didapatkan. 2. Kebutuhan karbohidrat penduduk Indonesia pada saat ini terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat ini bersumber antara lain dari beras, ubi kayu dan gandum. Pada tahun 2015 dengan kebutuhan karbohidrat ubi kayu yang diperkirakan mencapai 23,5 juta ton akan membutuhkan lahan budidaya seluas 1,3 juta ha. Sehubungan hal tersebut akan terlibat 668.197 petani dan 392 pabrik tapioka dengan kapasitas 200 ton tapiokahari. 3. Kebutuhan lahan yang cukup besar untuk komoditas ubi kayu tersebut dimungkinkan dapat dipenuhi dari lahan terlantar yang mencapai sekitar 7,8 juta ha dan dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian sekitar 2,8 juta ha. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui reformasi agraria meliputi : 1 penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, 2 land reform , yaitu menata ulang lahan dengan mempertimbangkan adanya distribusi dan redistribusi atas aset tanah pada masyarakat yang berhak sesuai dengan Peraturan Perundangan yang ada. 4. Benefit berdasar harga Cost Ratio B h C mempunyai keterbatasan jika dipakai sebagai penyeimbang karena dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan yang besar antar pelaku rantai pasok. Setiap pelaku dalam rantai pasok memiliki volume material dan waktu produksi yang berbeda. 5. B h C petani ubi kayu saat ini sudah cukup tinggi 3,5, namun demikian pendapatan petani belum cukup besar untuk dapat mencapai tingkat sejahtera. Laba yang diterima petani ubi kayu hanya sebesar Rp. 12.5 jutahatahun rata- rata sekitar Rp. 1 jutabulan. 6. Peningkatan kesejahteraan petani ubi kayu perlu diupayakan, agar petani tidak beralih membudidayakan tanaman yang lebih menjamin kesejahteraannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu adalah sebagai berikut : a. Peningkatan luas lahan kebun ubi kayu, dengan cara penambahan kepemilikan lahan atau pemberian akses penggunaan lahan pada petani ubi kayu b. Upaya peningkatan manfaat melalui tanaman tumpang sari dan peningkatan efisiensi penggunaan lahan c. Menggeser sebagian tahapan proses ke tingkat petani, misalnya pengupasan, pembersihan hingga produksi tapioka kasar. d. Petani ikut memiliki pabrik melalui kepemilikan saham, dengan pembayaran langsung atau melalui pembagian keuntungan yang diterima petani ubi kayu. 7. Beberapa alternatif diberikan untuk menunjang hubungan kemitraan antara petani, pemasok dan pabrik, diantaranya sebagai berikut : a. Pabrik memberikan pinjaman permodalan kepada pedagang dalam jumlah tertentu, kemudian pedagang bermitra dengan petani berdasarkan modal yang dipinjamkan pabrik ditambah modal pedagang sendiri atau dari sumber lain. b. Pola yang digunakan pada alternatif a dapat diterapkan pada koperasi yang permodalannya dapat diajukan kepada pemerintah dan lembaga keuangan lainnya yang memang telah miliki berbagai skim pendanaan bagi koperasi dan usaha kecil. c. Pola kemitraan petani-pabrik, dimana pabrik memberikan pinjaman kepada petani.

5.2 Saran

1. Untuk meningkatkan pendapatan petani ubi kayu perlu penambahan penguasaan lahan sebesar 2 ha hingga 3 ha, yang terhimpun dalam sebuah koperasi dan menjalin kerjasama dengan industri pengolahan yang terdekat dalam satu pola kemitraan yang saling menguntungkan. 2. Penambahan luas lahan dapat berupa pemilikan lahan tambahan atau pemberian akses lahan kepada petani. Pemberian akses ini memerlukan kebijakan yang melibatkan banyak pihak seperti masyarakat adat setempat, pemerintah pusat dan daerah agar tidak menimbulkan potensi keresahan atau bentrok vertikal maupun horizontal. Peraturan Perundangan telah ada yang kiranya dapat dipergunakan untuk mendukung kebijakan tersebut. 3. Memberi kesempatan kepada petani untuk mendapatkan pekerjaan untuk mengisi waktu “idle” nya dengan membekali mereka dengan pelatihan dan bimbingan antara lain dalam pengolahan limbah ubi kayu, industri rumah tangga berbasis ubi kayu dan meningkatkan manfaat lahan melalui tanaman tumpang sari. 4. Perlu perhatian pemerintah terhadap komoditas ubi kayu antara lain berupa kemudahan memperoleh pendanaan untuk petani, pengumpul dan agroindustri, melakukan regulasi yang mendukung efektifitas implementasi rantai pasok ubi kayu, dan melakukan pembatasan impor ubi kayu dan turunannya terutama pada saat panen raya. halaman ini sengaja dikosongkan DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia Aptindo. 2003. Jakarta. Laporan Berkala. Ariani, M. 1999. Laporan Hasil Penelitian; Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama Di Indonesia . Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Barret, D. M. dan D. S. Damardjati. 1984. Peningkatan Mutu Hasil Ubi Kayu di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Vol. III 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Ubi Kayu. ISBN 978-979-1452-24D. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia [BPN]. 2010. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 Tanggal 1 Pebruari 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. http:bpn.go.idBESjenis_peraturanperaturan-Kepala-BPN-RITATA- CARA-PENERTIBAN-TANAH-TERLANTAR. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. _____.2011.Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. http:www.kpa.or.idwp-contentuploads201111policy-paper- pendayagunaan-Tanah-Terlantar-bhn-FGD.pdf. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. 2011. Kriteria Kesesuaian Lahan Ubi Kayu. http:www. bbsdlp.litbang.deptan.go.id. Akses Tanggal 12 Desember 2011 Badan Pusat Statistik BPS. 2010. Produksi Tanaman Pangan. Jakarta. Bunte, F. 2006. Pricing and Performance in Agri-Food Supply Chains. Quantifying The Agri-Food Supply Chain. Springer Netherlands. Chapter 4: 37-45. Chen, K.Z. 2004. Agri-Food Supply Chain Management: Opportunities, Issues, and Guidelines . University of Alberta, Australia. Darwanto, D. H. 2007. Aspek Sosial Ekonomi Pengembangan dan Pemasaran Produk Olahan Cassava Indonesia Makalah Seminar . Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Produk Pangan Lokal Menuju Kemandirian Pangan Bangsa Indonesia : Optimalisasi Potensi Tepung Cassava” 10 Desember 2007. Universitas Diponegoro, Semarang. Departemen Pertanian. 2008. Rencana Teknis Pengembangan Gandum. ____. 2009a. Bahan Sosialisasi Peningkatan Produksi Dan Produktivitas Ubi Kayu . ____. 2010. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Pusdatin Depatemen Pertanian. http:www. Deptan.go.idpusdatin, akses tanggal 18 juni 2010. Departemen Kesehatan. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta : Bhatara Karya Aksara. Departemen Perindustrian Republik Indonesia 2007. Pohon Industri Ubi Kayu. http:www.depperin.go.id. [15 September 2011]. Fischer, S., R. Dornbusch dan R. Schmalensee. 1988. Economics. Second Edtion. McGraw-Hill Book Co. Singapore. Gittinger, J. P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. Second Edition. Completely Revised and Expanded. The Johns Hopkins University Press Baltimore, Maryland. Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Indonesia. Institute for Development of Economics and Finance INDEF. 1995. Ekonomi Politik Industri Tepung Terigu . Makalah 10 Agustus 1995. Kay, D.E. 1973. Roots Crops. The Tropical Product Institute. England. Kementerian Negara Koperasi dan UKM. 2007. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Melalui Pengembangan UKM Industri Pangan Berbasis Tepung Cassava. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Produk Pangan Lokal Menuju Kemandirian Pangan Bangsa Indonesia. Semarang. Kementerian Pertanian. 2011. Vedemikum Ubi Kayu. http:www.deptan.go.id. Akses Tanggal 15 Desember 2011 Krajewski, L. J., L. P. Ritzman, M.K. Malhotra. 2010. Operations Management, Processes and Supply Chains . Ninth Edition. Pearson Education, Inc. Lambert, D. M. dan M. C. Cooper. 2000. Issues in Supply Chain Management. Industrial Marketing Management 29: 6583. Levi, D., P. Kaminsky, dan S. Levi. 2000. Designing and Managing The Supply Chain . McGraw-Hill, International Edition. Li, L. 2007. Supply Chain Management: Concepts, Techniques and Practices. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Limbongan, J., M. Slamet, M. Hasni, H. Sudana. 1999. Proceedings of The National Seminar on The Results of Agricultural Technology Assessment and Research Towards Governance Autonomous Era. Eds. Bogor Indonesia: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi PSE Pertanian. 1999.- ISBN 979-95318-5-3 Economic Analysis of Cassava Utilization in Agroindustry. http:agris.fao.org download tgl 19 june 2010. Maulana, A. 2005. Model Pengembangan Agroindustri Nenas Di Kabupaten Subang Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan [disertasi]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mentzer, J. T., W. DeWitt, J.S. Keebler, S. Min, N. W. Nix, C. D. Smith, dan Z. G. Zacharia. 2001. Defining Supply Chain Management. Journal Of Business Logistics, Vol. 22, No.2. Nweke, F. I. 1996. Cassava : A Cash Crop in Afrika. COSCA working paper no.14, Collaborative Study of Cassava in Africa, International Institute of Tropical Agriculture, Ibadan, Nigeria. Peraturan Pemerintah PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tanggal 22 Januari 2010. http:www.depdagri.go.idproduk-hukum20100222peraturan- pemerintah-no11-tahun-2010. diakses tanggal 12 Pebruari 20 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi PSE Pertanian. 2004. Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Puspita, S. R. 2011. Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Agroindustri Chip Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Pembuatan MOCAF Modified Cassava Flour di Kabupaten Trenggalek . Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Rachman, H. P. S. 2004. Permintaan Komoditas Pangan; Analisis Perkembangan Konsumsi Untuk Rumah Tangga dan Bahan Baku Industri . ICASERD Working Paper No. 37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Rukmana, R. H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rusdi, N. 2011. Kepala Bidang Teknologi Sumberdaya Pati, Balai Besar Teknologi Pati B2TP , BPPT . Wawancara, tidak dipublikasikan Syarief, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Siregar, M. dan M. Suryadi. 2004. Changes In Food Crop Diversification In Indonesia . Indonesian Center For Agricultural Socio Economic Research and Development. Bogor. Subandi, Y. Widodo, N. Saleh, dan L. J. Santoso. 2005. Inovasi Teknologi Produksi Ubi Kayu Untuk Agroindustri Dan Ketahanan Pangan . Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian, Semarang. Suyono, H. S. 2011. Mitra Balai Besar Teknologi Pati B2TP , BPPT dalam Penerapan Teknologi Budidaya Ubi Kayu. Wawancara, tidak dipublikasikan. Sriroth, K. 1999. Cassava industry in Thailand: The status of technology and utilization . Paper presented at International Symposium on Cassava, Starch, and Starch Derivatives, held in Nanning, Guangxi, China. Nov 11 –15,1996. Tarigan, D. 2008. Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Triwiyono, B. 2011. Kepala Balai Besar Teknologi Pati B2TP, BPPT . Wawancara, tidak dipublikasikan. Undang-undang Republik Indonesia UU RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. http:www.pom.go.idpublichukum perundangan pdfACT of FOOD. pdf. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. Undang-undang Republik Indonesia UU RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Diundangkan tanggal 14 Oktober 2009. TLNRI Nomor 5068. http:www.pla.deptan.go.idpdfUNDANG_ UNDANG_PLPPB.pdf. diakses tanggal 12 Pebruari 2012. Visidata Riset Indonesia. 2003. Perkembangan Industri Tepung Terigu dan Sektor Pemakainya di Indonesia Paska Deregulasi Tahun 1998 . Visidata Riset Indonesia, Jakarta. Vorst, V. D. 2006. Performance Measurement In Agri-Food Supply-Chain Network: An Overview . Quantifying The Agri-Food Supply Chain. Springer Science Business Media. Chapter 2: 13-24. Widowati, S. dan K. Hartojo. 2000. Production And Use Of Cassava Flour: A New Product Of Future Potential In Indonesia . Bogor Research Institute For Biotechnology, Bogor. LAMPIRAN halaman ini sengaja dikosongkan