mendorong gerobak kayu berisi tumpukan kayu. Keduanya terlihat susah, cipratan keringat mereka digambar tepat di atas kepala kuli
kedua. 8
Seorang preman, pria yang membawa parang dengan wajah garang menghentikan perjalanan kuli Denmas. Muka kuli pertama ketakutan,
semakin banyakkeringat yang keluar dari tubuhnya. Sedang Denmas bersembunyi juga karena takut dibalik tumpukan kayu.
9 Siluet Koming dan Pailul hadir kembali menyanyikan “Mau untung
malah buntung.” 10
Koming dan Pailul menutup cerita dengan lagu “Dengan berbudaya..,” terdapat kata ‘Dang Ketuplak Dang Dut’ di atas kepala Pailul.
Signifikasi Tahap Kedua Tataran Konotatif
1. Hermeneutika:
Koming: “Kita terus berdendang” Pailul: “Dan berkendang”
Koming: “Untuk pencerahan jiwa” Pailul: “Berbudaya mencerdaskan kehidupan”
Koming dan Pailul saling bersahutan menyanyikan lagu yang mereka ciptakan sendiri dengan tujuan mencerahkan jiwa dan mencerdaskan
kehidupan. Lalu Denmas ditampilkan di bingkai berikutnya, ia dengan
sigap melancarkan rencana liciknya, “Ingsun punya jalan pintas berebut kuasa.” Ternyata ia berencana merebut kursi dari seorang abdi yang lebih
tua darinya. Ia lanjut berkata, “Musuh jadi teman. Teman jadi musuh,” saat berebut kursi dengan abdi lainnya. Siluet Koming dan Pailul pun lanjut
menyanyi dengan kalimat ‘politik acakadut’. Dan dilanjut dengan nyanyian “Kita terus berdendang,” “Dan berkendang.”
Setelah gagal merebut kursi, Denmas Ariakendor berusaha menjadi pedagang kayu gelondong, “Gagal berebut kursi masih bisa
berdagang. Semua bisa diperjual-belikan.” Ia memimpin kuli-kulinya yang membawa segerobak kayu. Sayangnya, di tengah jalan mereka dihentikan
oleh seorang preman yang memberi pilihan; nyawa mereka atau kayu yang akan dijual, “Berhenti Serahkan kayu-kayu itu atau nyawamu.”
Walaupun berbadan besar, kuli tersebut tetap takut dengan pria yang membawa golok. Denmas malah bersembunyi dibalik barang
dagangannya. Lalu siluet Koming dan Pailul bernyanyi ‘mau untung malah buntung’, dan nyanyian terakhirnya diibaratkan ‘obat’ untuk
kesembuhan negeri ini. “Dengan berbudaya kita akan mencari jalan keluar menghadapi krisis peradaban,” lalu ditutup dengan kata ‘dang ketuplak
dang dut’ di atas kepala Pailul.
2. Proairetik :
Nyanyian sesuka hati Koming dan Pailul menjadi pembuka cerita ini. Mereka menganggap jiwa masyarakat tengah mendung dan
kehidupan masyaraka sedang berada di titik kebodohan. Nyanyian dan alat musik yang dimainkan Koming dan Pailul merupakan media mereka untuk
mengingatkan para pemimpin mengenai krisis peradaban yang sedang terjadi. Persoalan dan nyanyian mereka ditampilkan secara bergantian.
Denmas Ariakendor telah menyiapkan rencana licik untuk melengserkan pemimpin dengan merebut kursi kekuasaan lama, namun tidak berhasil.
Pemimpin sebelumnya yang merupakan temannya, malah menjadi musuh. Sedang musuhnya dahulu berubah menjadi teman, demi memuaskan
kebutuhannya. Kemudian ia menjual kayu gelondongan secara ilegal yang
ditegaskan oleh kalimat “..Semua bisa diperjual-belikan.” Sifat licik Ariakendor terlihat jelas dari senyumnya dan perutnya yang buncit. Ini
menandakan sifatnya yang tidak pernah puas gagal menjadi pemimpin, lalu mencoba usaha lain. Kuli yang ia gunakan tampak kesusahan
mengangkut kayu yang banyak dan berat. Sayangnya, penjualan kayu secara ilegal pun mengalami
kerugian sebab masih ada praktik premanisme, “Serahkan kayu-kayu itu atau nyawamu” seperti kata preman yang digambarkan secara garang
dengan membawa parang dan berkumis tebal. Kuli-kuli Ariakendor yang
berbadan besar ketakutan, sedang Ariakendor bersembunyi di balik kayu dagangannya. Akhirnya, Koming dan Pailul memberikan solusi dalam
menghadapi krisis peradaban melalui nyanyian. Nyanyian mereka menggunakan musik dangdut khas Indonesia sesuai kata yang dicetak di
atas Pailul.
3. Simbolik :