berbadan besar ketakutan, sedang Ariakendor bersembunyi di balik kayu dagangannya. Akhirnya, Koming dan Pailul memberikan solusi dalam
menghadapi krisis peradaban melalui nyanyian. Nyanyian mereka menggunakan musik dangdut khas Indonesia sesuai kata yang dicetak di
atas Pailul.
3. Simbolik :
• Kendang, rebana dan nyanyian merupakan produk budaya yang dapat digunakan menyampaikan kritik ataupun ide untuk kemajuan masyarakat
atau negara. • Kedua alat musik tradisional tersebut identik dengan masyarakat kecil
sehingga dimainkan oleh Koming dan Pailul yang notabene rakyat yang berada di kelas ekonomi bawah. Selain itu, musik yang bisa diterima
segala lapisan dinyanyikan oleh rakyat kecil untuk pemimpin ialah musik dangdut ditampilkan melalui kata: ‘dang ketuplak dang dut’.
• Seperti pada comic strip sebelumnya, orang yang digambarkan dengan tubuh tambun menjadi stereotip sifat rakus, tamak, dan di cerita ini;
pengecut lihat bingkai 8. Sedang preman ialah orang yang senang marah dan membawa senjata tajam bingkai 7.
Orang berbadan besar dan tidak memakai baju identik dengan kuli, seperti Pailul yang merupakan seorang kuli pembawa rumput untuk kuda kerajaan
walau badannya ceking.
4. Kultural :
Musik tradisional dan lagu dangdut dekat dengan keseharian masyarakat, terkhusus bagi rakyat kecil. Melalui lagu dan musik,
masyarakat dapat menyampaikan apa-apa yang tidak bisa disampaikan secara langsung kepada orang lain dalam hal ini, para pemimpin. Selain
itu, para tetua dianggap tidak mampu mengurus sebuah negara, sehingga perlu diganti dengan orang yang lebih muda lihat bingkai 4. Tampaknya,
cara licik pun sudah biasa digunakan dalam lini kehidupan. Inginkan jabatan? Gunakan cara licik. Ingin banyak untung? Jual kayu ilegal. Hal-
hal seperti itu telah dianggap biasa oleh pemangku jabatan “Gagal berebut kursi masih bisa berdagang.”
Tidak hanya itu, orang-orang yang tidak memiliki jabatan namun ingin memiliki uang banyak, kini hanya bermodal senjata tajam
dan mengancam usaha orang lain.
5. Semik :
Ada-ada saja cara Koming dan Pailul dalam menyampaikan aspirasinya. Pada edisi ini, mereka menghimbau para pemangku jabatan
agar menjadi masyarakat yang berbudaya mempunyai akal dan pikiran yang sudah maju. Sindiran-sindiran terhadap perilaku politik para abdi
pun disampaikan dalam satu lagu yang berkesinambungan. Politik acakadut atau sembarangan yang dimaksudkan Koming
dan Pailul ialah cara pergantian kursi kepemimpinan yang tidak wajar dilakukan dengan serabutan. Kursi kepemimpinan digambarkan melalui
kursi yang lain dari biasa, memiliki tombak-tombak di atas sandarannya yang identik dengan mahkota kerajaan pada umumnya. Pemimpin yang
tua dianggap tidak kompeten lagi dalam memimpin namun tidak mau melepas singgasananya. Sedangkan calon pempimpin baru malah
menggunakan cara-cara curang untuk meraih keinginannya. Selain itu, tujuan memimpin bukanlah untuk mengadakan perubahan ke arah yang
lebih baik, tapi demi keuntungan pribadi. Oleh sebab itu, sangat mudah bagi Denmas untuk banting setir
menjadi pedagang setelah gagal menempati tampuk kepemimpinan. Keinginan untuk memperkaya diri pun ditampilkan dengan usahanya
menjual kayu gelondongan di mana sudah menjadi rahasia umum bahwa penjualan kayu ini bersifat ilegal. Selain itu, bisnis kayu terhitung rawan
sebab praktik premanisme menjamur. Secara tersirat, Dwi Koen menyentil para calon pemimpin yang memiliki usaha haram untuk menyokong
keinginannya menjadi calon pemimpin negeri. Menurut Koming dan Pailul, para pemangku jabatan tidak
berbudaya sebab sedang mengalami krisis peradaban mengalami
kemunduran dalam sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan. Padahal, dengan berbudaya, masyarakat akan menjadi cerdas dan jiwanya
tercerahkan. Budaya yang dimaksud ialah mengimitasi nilai-nilai luhur yang ada, salah satunya melalui seni musik.
IV.2.7 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 26 Mei 2013 Tabel 7