belakang mereka, seorang pria berjalan ke arah kanan sambil berteriak kesakitan.
5 Pailul yang terluka di dahi dan bahu kiri mungkin sebab perkelahian
sebelumnya, berjalan tergesa bersama Koming yang menggendong pria tua. Wajah Koming dan pria tua itu sama-sama nelangsa. Jika
diperhatikan, celana Pailul koyak di bagian bawah. 6
Adipati mengenalkan burung baru di dalam sangkar. Di belakangnya, dua ekor tikus mengenakan baju manusia, keduanya berjalan seperti
manusia; yang pria memakai topi, baju lengan panjang, hiasan leher, celana dan sepatu, yang perempuan berambut panjang, mengenakan
baju, rok dan hiasan leher. Tikus pria seakan membisikkan sesuatu dengan telapak tangan yang berusaha menutupi mulut. Sedangkan tikus
perempuan seperti malu-malu mengikuti mereka dengan efek garis di bawah mata dan tangan yang dikatupkan di depan perut.
Signifikasi Tahap Kedua Kode Pembacaan
1. Hermeneutika:
Di bingkai ini, digambarkan bencana yang tengah menimpa kerajaan. Bencana alam yang terjadi menyebabkan penduduk harus
menyelamatkan sedikit barang miliknya seperti bawaan yang dipanggul Koming dan Pailul. Koming, Bujel dan Trinil menangis, sedang Pailul
tampak bingung sambil mengatakan, “Sang Adipati..” dan ditanggapi dengan “Ruwet”.
Bingkai kedua menggambarkan penduduk yang meninggal dalam kesusahan. Koming dan Mbah mendoakan, dengan cara yang
berbeda. Sedang Pailul kembali memanggil, “Sang Adipati..” namun ditanggapi suara tidak berwujud yang sama, “Ruwet”
Bingkai selanjutnya, para penduduk berkumpul. Tua, muda, pria, perempuan, anak-anak menjadi satu di sebuah tempat. Ada yang
menengadahkan tangan, menggendong anaknya, atau sekadar duduk saja. Percakapan yang sama juga terjadi seperti di bingkai-bingkai sebelumnya.
Lalu para hulubalang keraton malah terlibat baku hantam dengan preman,
mereka saling mengacungkan senjata yang mereka miliki, ada pentungan dan parang. Ada yang menangis, kesakitan dan marah. Setiap kali
penduduk melapor kepada Adipati, hanya ditanggapi “Ruwet” bingkai 1- 4.
Pailul yang terluka di bahu dan jidatnya bersama Koming yang menggendong Mbah meminta pertanggungjawaban Adipati. Ujung celana
Pailul tampak robek, benang sabuk wolonya pun nampak keluar, sambil berjalan ia berkata “Duh, Sang Adipati.. Mohon bertindaklah untuk kami,
rahayat yang menjadi tanggung jawab andhika.” Rupanya, Adipati tengah memperkenalkan burung peliharaan
barunya yang disimpan dalam sangkar, “Apapun yang ingin kalian sampaikan, sampaikan saja pada burung twitter ingsun ini . Dia yang akan
menjawabnya.” Di belakang Adipati, dua orang abdinya, pria dan perempuan yang berwajah dan berbadan seperti tikus mengikuti. Tikus
pria membisikkan Adipati dan tikus perempuan nampak malu-malu.
2. Proairetik :
Cara pengambilan long shot digunakan untuk menampilkan seluruh kejadian dan atau pemandangan. Air setinggi pinggang orang
dewasa, ombak, bangunan dan tumbuhan yang rusak bukan hanya sebagai petanda banjir biasa. Bencana alam yang terjadi bisa berupa banjir
bandang, angin puting beliung atau tsunami. Datangnya bencana yang hebat ini membuat para penduduk hanya membawa benda yang dimiliki
seperlunya saja, seperti kantung yang dipanggul Koming dan Pailul. Ketiganya menangis sebab ketakutan dan kaget atas apa yang terjadi,
ketika Pailul meminta pertolongan kepada pemimpin negerinya, hanya dijawab dengan kata ruwet yang berarti kalut,sulit, rumit dan dimaknai
Adipati sedang sibuk sendiri. Pada bingkai selanjutnya, terjadi wabah penyakit yang
memakan korban jiwa, kedua korban tersebut ialah penduduk pria yang miskin dan lanjut usia. Kemiskinan yang melanda mereka ditunjukkan
melalui kain rombeng yang menutupi mayat mereka. Kain itu pun tidak
cukup untuk menutupi seluruh tubuh mereka, wajahnya tampak tersiksa dan janggutnya pun belum dibersihkan. Mbah yang dianggap orang pintar
di negerinya mendoakan mereka dengan khidmat. Cara Mbah berdoa identik dengan cara muslim, sedang Koming menirukan cara berdoa
penganut Hindu. Pailul yang tidak berdoa, kembali memangil Adipati, namun masih tidak diacuhkan.
Rakyat miskin yang kelaparan hanya mampu menunggu dan berkumpul. Ada yang berusaha untuk meminta, tapi tidak ada gunanya.
Ada sedang menggendong anaknya yang sudah tidak sadar lagi. Anak- anak busung lapar, tampak dari badannya yang kurus, tapi buncit. Pakaian
mereka tidak jauh berbeda dari Koming dan Pailul, sama-sama tidak mengenakan alas kaki. Namun badannya kurus tidak terurus, rambut
berantakan, pipi kempot. Adipati lagi-lagi dipanggil untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, tapi hanya bisa berteriak dari kejauhan.
Para prajurit berkelahi dengan preman. Cara membedakan mereka ialah dari pakaiannya. Para prajurit mengenakan setelan bolero dan
celana ditambahkan ikat kepala, kalung dan selop. Boleronya pun berhias warna putih di sudutnya. Sedang preman tidak menggunakan alas kaki,
kalung dan ikat kepalanya hanya dari kain biasa. Salah satu prajurit tengah berteriak kesakitan, mulutnya menganga dan matanya tertutup. Prajurit
yang menjambak rambut preman 1 sedang akan memukulnya dengan pentungan, preman 2 mengacungkan parang dan tinjunya pada prajurit
dengan marah, matanya membelalak, mulutnya terbuka lebar. Saat Adipati dipanggil untuk meredakan amarah mereka, Adipati masih menjawab
dengan ‘ruwet’. Pailul, Koming dan Mbah menjadi korban perkelahian di
bingkai sebelumnnya, badan Pailul luka dan Mbah yang sudah tua sampai digendong oleh Koming. Pailul pun meminta tanggung jawab Adipati
sebagai pemimpin, kata ‘andhika’ bermakna tuanku. Para penduduk mengharapkan solusi dari Adipati atas masalah-
masalah yang terjadi di negeri. Mulai dari bencana alam, wabah penyakit, kelaparan, pertikaian, dan lain-lain. Namun ‘panggilan langsung’ dari
rakyat tidak langsung ditanggapi oleh Adipati. Keinginan Adipati ialah agar rakyat mengadu pada burung peliharannya atau kepada bawahannya
yang mengikuti dari belakang. Kedua pengikutnya adalah orang-orang yang ‘mengatur’ Adipati sebab penggunaan wajah tikus bermakna licik,
tamak, dan mau menang sendiri. Pose berbisik yang dilakukan salah satu abdi tersebut berarti ia menyampaikan apa yang harus disampaikan oleh
Adipati.
3. Simbolik :