yang menjadi latar belakang menegaskan sudut pandang dari bawah yang memberi efek kegagahan atau kepahlawanan pada tokoh. Sedang pada
bingkai keempat, gaya berdeham dengan mata dipejam menggambarkan Adipati yang sedang berpikir sekaligus kekecewaan, “Tapi ingsun
frustasi.” Kedua tebing yang ditempati Koming, dkk. dan Adipati
bersama abdinya bermakna mereka berada di tempat yang sangat jauh dan dipisah sebuah jurang di antaranya. Walau berada di tempat tinggi adanya
awan di tengah gambar, Koming tetap harus menggunakan tangga untuk melihat siap yang sedang berbicara. Pailul pun tidak dapat mendengar
suara Adipati meski tangannya ditempelkan dekat telinga yang berarti ia berusaha untuk fokus terhadap suara yang datang. Perempuan-perempuan
di belakangnya menjadi wakil beragamnya jenis masyarakat; muda, tua, pria dan perempuan.
Kata “Bla Bla” yang semakin mengecil dari arah kiri ke kanan merupakan pidato yang disampaikan Adipati pada kolom sebelumnya,
yang tidak bermakna apa-apa. Blabla sering diidentikkan dengan omong kosong, kata yang tidak perlu didengar atau diketahui.
3. Simbolik :
• Mahkota yang digunakan Adipati menandakan tingkat sosialnya yang tinggi. Sehingga patut diperhatikan atau dikagumi.
• Jurang yang memisahkan tebing antara Adipati dan Koming bermakna kehidupan antara pemimpin dan yang dipimpin rakyat berbeda jauh,
pakaian yang digunakan pun tampak jelas berbeda. • Kumpulan awan menunjukkan suatu tempat yang sangat tinggi, atau
berada di ketinggian. • Kata ‘Bla Bla’ yang dituliskan dengan berbeda ukuran. Dari paling
besar sampai mengecil menandakan suara yang semakin lama semakin kecil atau tidak terdengar. Kata ‘blabla’ itu sendiri bermakna omongan
atau cerita yang tidak penting.
4. Kultural :
Kebiasaan SBY ‘curhat’ pada masyarakat, digambarkan sangat apik oleh Dwi Koen. Curahan hati yang berbentuk harapan dan keluhan
yang terlalu sering disampaikan oleh pemimpin malah menjadi suatu budaya tersendiri di Indonesia, khususnya. Sayangnya, curhat yang
tersurat dalam pidato-pidato tersebut tidak dapat didengar dan dilihat dengan baik oleh masyarakat sebab para pemimpin seringnya membuat
jurang antara dirinya dengan masyarakat. Baik dari cara hidup, penyelesaian masalah serta berbagai problem sosial-ekonomi-politik
lainnya. Tidak diterimanya suatu pidato mungkin disebabkan oleh gaya
bicara dan bahasa yang berbelit-belit. Kebiasaan berbicara berbelit-belit, tidak langsung ke tujuan menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Masyarakat
Jawa menganggap berbicara to the point merupakan hal yang tidak sopan sehingga selalu berbasa-basi untuk menyampikan keinginannya.
5. Semik :
Pada cerita ini, Koming dkk. mengkritik kebiasaan Presiden Indonesia, SBY yang sering berpidato untuk menumpahkan uneg-unegnya
dalam pidato kenegaraan. Sosoknya yang seharusnya dihormati dan dibanggakan lihat efek yang digunakan dalam bingkai 1-3 malah tidak
diperhatikan sama sekali sebab isi pembicaraannya dianggap tidak penting oleh rakyat ucapan Adipati dari jauh hanya terdengar ‘Blabla’ saja.
Belum lagi presiden yang dinilai ‘jauh’ dari masyarakat yang digambarkan berada di ujung tebing di seberang tebing di mana rakyat
berdiri. Keduanya dipisahkan jurang yang dalam sebab ada awan di antaranya. Jarak itu berupa gaya hidup, kemampuan dalam bidang
ekonomi, pendidikan dan lainnya. Secara jelas, Dwi Koen menggambarkan perempuan lusuh dan kurus sakit atau miskin, tidak
mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari serta Koming dan Pailul yang berpakaian seadanya. Tampilan Adipati dan abdinya terlihat menggunakan
hiasan kepala walau digambarkan hanya siluetnya saja. Payung yang
menutupi kepala Adipati pun bertujuan membedakan posisinya dengan masyarakat biasa.
SBY dikenal dengan kemampuannya berbahasa Inggris, dan sering menyelipkan istilah-istilah sulit dalam Bahasa Inggris di pidato
kenegaraannya. Buruknya, SBY pernah berpidato di hadapan anak-anak Sekolah Dasar untuk menyambut Hari Anak Nasional namun
menggunakan istilah dalam Bahasa Inggris yang sudah pasti tak dapat dimengerti oleh mereka. Hal serupa terjadi pada pidatonya kali ini, yang
berisi harapan-harapannya untuk Indonesia.
IV.2.5 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 5 Mei 2013 Tabel 5