rakyat tidak langsung ditanggapi oleh Adipati. Keinginan Adipati ialah agar rakyat mengadu pada burung peliharannya atau kepada bawahannya
yang mengikuti dari belakang. Kedua pengikutnya adalah orang-orang yang ‘mengatur’ Adipati sebab penggunaan wajah tikus bermakna licik,
tamak, dan mau menang sendiri. Pose berbisik yang dilakukan salah satu abdi tersebut berarti ia menyampaikan apa yang harus disampaikan oleh
Adipati.
3. Simbolik :
• Segala permasalahan yang terjadi di suatu negara akan berimbas pada rakyat kecil. Seluruh masalah yang digambarkan bingkai 1-
5 memakan korban rakyat miskin, dilihat dari pakaian dan rupa para manusia yang digambarkan. Seakan nasib buruk lekat pada
masarakat kecil. Bahkan perkelahian yang terjadi pun, dialami oleh abdi rendahan dan preman. Ciri-cirinya terlihat pada hiasan yang
ada di tubuhnya tidak sebanyak dengan abdi yang dekat dengan Adipati bingkai 6. Alas kakinya pun hanya sendal, berbeda
dengan abdi pada bingkai 6 yang memakai sepatu. • Rakyat yang memiliki kedekatan personal dengan pemimpin
seringnya memiliki sifat yang tidak baik bak tikus. Rakus, penjilat dan memikirkan kepentingan pribadi. Tikus juga menjadi simbol
dari sikap pengecut sebab kebiasaannya mencuri makanan di malam hari, sambil mengendap-endap.
4. Kultural :
Tenggang rasa dan tolong-menolong menjadi budaya masyarakat Jawa yang diwujudkan sebagai berikut; bantuan Pailul untuk
menggendong ponakan Koming saat bencana melanda, kehadiran Koming dan Pailul saat kematian anggota masyarakat, panggilan-panggilan mereka
saat ada masalah lain bingkai 3 dan 4 juga bantuan mereka kepada Mbah yang lanjut usia di bingkai 5. Sisi spiritual masyarakat Jawa ditampilkan
melalui kehadiran Mbah di bingkai 2 yang mendoakan kedua mayat, selain
itu pengaruh Hindu dan Islam juga digambarkan dengan baik melalui cara berdoa Mbah dan Koming. Budaya tersebut sangat melekat pada rakyat
kecil dan berbanding terbalik dengan sikap pejabat di bingkai 6 yang terlihat bersembunyi di balik Adipati demi meraup keuntungan pribadi.
Salah satu fasafah hidup orang Jawa demi mencapai kehidupan yang harmonis ialah dengan memelihara burung kukilo. Burung yang
biasa dipelihara oleh masyarakat Jawa ialah Perkutut. Mereka memercayai bahwa Perkutut merupakan alat pencipta kepuasan atau kenikmatan
pribadi. Suaranya dapat memberikan suasana tenang, teduh, santai, bahagia dan seolah-olah manusia dapat berhubungan dengan alam semesta
secara langsung. Budaya ini nampaknya bergeser menjadi kebiasaan
‘memelihara’ burung di media sosial Twitter. Kicauan yang dulu biasa dilakukan oleh seekor burung, kini lebih sering dilakukan manusia melalui
akun media sosialnya. ‘Kicauan’ ini dapat berupa tanggapan, keluhan, ungkapan rasa dan lain sebagainya.
5. Semik :