Bujel dan Trinil diibaratkan masyarakat kecil yang hampir diinjak dirugikan, dilukai oleh pejabat Denmas Rakryan sebab ulah
pejabat itu sendiri, “Awas, kita bisa tertabrak kekacauannya,” ungkap Bujel. Setelah hampir diinjak, rakyat kecil pun dituduh penyebab semua
masalah. Entitas ini dihadirkan di bingkai 4, di mana kambing hitam mengejar Bujel dan Trinil.
Pada bingkai kelima Mbah nampak bersemangat memberi nasihat, namun Pailul masih serius memperhatikan undur-undur hingga
badannya setengah berdiri-setengah tunduk, kedua ponakan Koming pun memperhatikannya. Nasihat Mbah ditujukan kepada para pejabat yang
membuat peraturan prematur tanpa memikirkan esensi dari peraturannya, “..serba tergesa-gesa mempersiapkan anak bangsa. Tanpa jiwa” Pailul
menganggap kelakuan pejabat mengalami kemunduran sehingga seperti undur-undur dan bertabrakan kacau.
Di bingkai selanjutnya, nasihat Mbah ditujukan kepada Pailul yang juga dapat berarti nasihat kepada seluruh masyarakat. Maknanya,
masyarakat pun tidak boleh sibuk dengan urusan masing-masing saja. Tiap orang harus berani mengakui kesalahan dan membuka pikirannya untuk
berbagai masukan dari orang lain. Akhirnya Pailul bangkit, walau masih berjongkok sebab ia melihat
undur-undur yang mengenakan mahkota. Wajah Mbah kaget karena perkataan Pailul, “Mbaah Undur-undurnya pakai mahkota” disebabkan
perkataan Pailul yang tidak masuk akal. Di sini, Pailul menyindir Adipati pemimpin kerajaan dan satu-satunya orang yang menggunakan mahkota
di kerajaan berjalan mundur, atau pemerintahannya mengalami kemunduran.
3. Simbolik :
• Tungku yang berasap biasa digunakan dukun atau ‘orang pintar’ untuk meramal. Juga sebagai simbol bahwa pemiliknya mengetahui banyak
hal.
• Pada bingkai ketiga dan keempat, Bujel dan Trinil diibaratkan sebagai rakyat kecil yang terombang-ambing keputusan oleh pemerintah.
Sekali-kali bisa tergilas oleh peraturan, bahkan bisa dijadikan ‘kambing hitam’ oleh orang yang lebih berkuasa.
• Bujel dan Trinil yang membawa buku pun juga diibaratkan sebagai siswa yang ujiannya diatur oleh Menteri Pendidikan yang
menghasilkan peraturan yang merugikan siswa itu sendiri. • Undur-undur adalah larva yang berjalan mundur. Pada cerita ini,
undur-undur menjadi wujud refleksi kepemimpinan kerajaan yang semakin buruk. Bukannya menyongsong masa depan yang lebih baik,
tapi bergerak mundur. • Pailul yang asik bermain undur-undur menjadi cerminan orang-orang
pandai di kerajaan, hanya mampu memperhatikan jalannya pemerintahan. Tidak bisa ikut campur, tapi dapet menertawakan
kesalahan-kesalahn yang dibuat.
4. Kultural :
Konsep religius namun mistis yang menjadi hakikat hidup masyarakat Jawa tergambar jelas pada Mbah. Pakaian, rupa dan benda
pendukung seperti tungku berasap menjadi penanda. Tungku yang berada di depan Mbah menjadi tanda mistis dari masyarakat Jawa yang masih
memercayai ramalan. Mbah yang sudah tua mampu memberi nasihat yang sesuai dengan keadaan negeri serta solusi dari itu semua menunjukkan
kemampuan Mbah dalam meramal hal-hal. Konsep tersebut masih hidup hingga sekarang, dapat dilihat
menjamurnya praktik perdukunan di Jawa. Agama dan budaya yang mengusung nilai mistis sering tampak di media massa. Sebagai contoh, Ki
Joko Bodo, seorang peramal yang beragama Islam. Rumahnya dibangun dengan tambahan ornamen-ornamen cerita Hindu seperti patung Rajawali.
Ada pula Ki Kusumo, peramal lain yang yang terpengaruh ramalan Cina sehingga mengecat rumahnya dengan warna merah dan emas. Ditambah
ornamen naga yang melilit tiang rumahnya.
Selain itu, analogi undur-undur dan kambing hitam merupakan suatu bentuk kosmologi orang Jawa, di mana mereka harus menyelaraskan
kehidupan manusia, alam dan Tuhan. Hewan tidak hanya dianggap sebagai makhluk biasa, tapi sebagai pembawa pesan dari Tuhan untuk diambil
hikmahnya. Penggunaan unsur alam dan hewan menjadi ciri khas Panji Koming dan masarakat Jawa. Konsep itu dipertegas dengan nasihat Mbah
di bingkai 6, “mengakui kesalahan, buka hati, dengarkan kebijakan alam
sekitar.”
5. Semik :