6 Full shot. Koming dan Pailul lalu bergerak ke arah kanan, tangan Pailul
saling digenggamkan di belakang badan sambil melihat Koming, kaki kanannya diangkat dan satunya lagi memijak tanah.Kedua tangan
Koming diangkat sejajar, tumit kanan dan jari-jari kaki kirinya menyentuh tanah, lainnya terangkat. Badan talang air digambarkan
sejajar dengan lutut mereka. 7
Full shot. Denmas Ariakendor melintasi mereka, berjalan tegak sambil membawa ember, wajahnya datar. Koming dan Pailul
memperhatikannya hingga kepala mereka berbalik ke arah berlawanan. Tangan kiri Koming terangkat hingga melewati talang air.
8 Medium shot. Adipati tertunduk. Adipati tersebut digambarkan
setengah badan dengan bolero dan hiasan leher yang menyerupai abdi- abdi sebelumnya. Hanya saja, di kepalanya terpasang mahkota dengan
ukuran lebih besar dan berukir lebih rumit. Wajahnya mirip seperti SBY.
Adipati berada di dalam lubang, tumpukan tanah yang baru digali tertumpuk di sebelah kiri badannya. Latar belakangnya merupakan
tanah tandus, kering dan pecah, ditandai oleh garis-garis. Kepala Koming dan Pailul digambarkan di paling bawah bingkai dengan wajah
datar memperhatikan Adipati. Signifikasi Tahap Kedua Kode Pembacaan
1. Hermeneutika:
Koming dan Pailul tengah berjalan untuk mengambil air di talang sebab sedang musim kemarau. “Menjelang musim kemarau, kita
tandon air bersih, yuk. Kita lihat hasil air di talang kita,” ucap Koming pada Pailul. Ember kayu yang dibawa Koming dan Pailul digunakan untuk
mengambil air. Di tengah perjalanan, Bayangkara Praja salah satu hulubalang
keraton menarik bususr panahnya sebab mereka telah memasuki tanah milik Bayangkara tersebut, “Hai monyet Pergi kau dari tanahku”
Pailul terkejut, ditandai dengan badan yang tiba-tiba menunduk dipertegas dengan garis gerak di atas punggung oleh panah yang tiba-tiba menusuk
pantatnya, “Hwarakadah Bayangkara Praja kok memanah aku.” Panah yang tertancap di pantat Pailul dicabut oleh Koming
sambil mengeluh “Yang kuat bisa berbuat apa saja,” Pailul menjawabnya dengan, “Hukum rimba sudah diberlakukan di negeri ini. Masak aku
dipanggil monyet.” Tidak lama kemudian, Bayangkara meminta maaf kepada
mereka, “Pailul, Koming, ingsun mengaku salah.” Kepalanya tunduk, dan badannya membungkuk. Garis-garis bayangan memenuhi hampir seluruh
wajahnya, juga sebagian tangannya. Panahnya pun sisa satu. Koming dan Pailul yang sudah sampai di talang air, menempatkan ember
di bawah mulut talang, tetesan air turun namun tidak jatuh ke dalam ember. Koming dan Pailul memerhatikan dengan seksama sambil
berjongkok, “Kok cuma ‘netes’ ya?” tanya Koming. Koming dan Pailul berjalan ke arah yang berlawanan dari
mulut talang sambil berdiskusi. Telapak kaki yang tidak memijak tanah menjadi tanda bahwa keduanya sedang melangkah, wajah yang saling
berhadapan serta bentuk tangan menandakan mereka sedang berbicara serius. “Pasti ada yang membocorkan,” tutur Pailul yang dijawab Koming,
“Kita cari siapa yang membocorkan talang ini.” Lalu, Denmas Ariakendor lewat dan mengatakan kalau dialah
penyebabnya, “Ingsun yang membocorkan.” Ariakendor berjalan sambil membusungkan dada, wajahnya datar namun dagunya diangkat. Ia
membawa sebuah ember yang sama seperti milik Koming dan Pailul. Mendengar pengakuan Denmas, Koming terkejut, sedang Pailul tertawa
kecil, “Hehe, ngaku dia.” Bingkai terakhir, Adipati masuk ke dalam lubang galian,
sambil tunduk, ia menyesali perbuatannya, “Mereka yang mengaku itu kesatria.” Sedang Pailul mengucapkan “Sang Adipati berendam di
kubangan masalahnya sendiri.”
2. Proairetik :