Bingkai ketiga menampilkan abdi dengan gigi ‘mancung’ tersenyum konyol dan melambai kepada masyarakat. Badannya yang lebih besar dari
kakinya berarti ia seorang yang tamak. Bingkai selanjutnya dihiasi tiga orang abdi yang saling
berlomba. Posturnya bermacam-macam, tetapi sama rakusnya, “Yaah, mereka sih calon yang rakus. Belum-belum sudah saling mendahului.”
Untuk berjalan di atas panggung saja, mereka berusaha saling mengalahkan, apalagi ketika memimpin nanti?
Berikutnya, abdi tambun lainnya yang menurut Mbah lari di tempat, salah satu kakinya terangkat dan tidak menjejak tanah. Lari di
tempat berarti jalannya pemerintahan di bawah kepemimpinannya akan mandek, tidak mengalami perubahan apa-apa. Dilanjut oleh abdi yang
seperti preman, membawa benda tajam dan tampak sangat emosional. Kakinya yang diangkat serta tangan erkepal berarti ia sangat marah dan
ingin menghajar sesesorang, amarah pun nampak dari wajahnya. Matanya melotot, giginya ditampakkan.
Abdi terakhir ialah perempuan cantik dan suka berdandan, ditunjukkan dari wajahnya yang dipoles, dan hiasan yang digunakan.
Perempuan ini dikhawatirkan menyeleweng ketika menjabat karena kecantikannya, “..,menyeleweng meninggalkan keluarganya”
Pada bingkai terakhir, Mbah menyimpulkan kriteria pemimpin yang baik menurutnya, yang masih susah dicari di negerinya. Hal tersebut
yang membuat Koming tersentak. Sementara Pailul keliahatan biasa saja.
3. Simbolik :
• Pemilik badan gemuk atau buncit diibaratkan sebagai orang yang rakus dan tamak. Begitu juga dengan seseorang yang salah satu bagian
tubuhnya digambar berlebihan; gigi yang besar, mata melotot atau dagu yang kelewat panjang. Orang yang membawa benda tajam dan
atau berwajang sangar sudah pasti seorang preman. • Perempuan dibingkai sebagai makhluk yang tidak mampu memikul
tanggung jawab, “Dia dikuatirkan, setelah duduk di kursinya,
menyeleweng meninggalkan keluarganya.” Perempuan juga dianggap hanya tahu bersolek sebab perempuan yang ditampilkan di edisi ini
digambarkan secara berlebihan; alis yang dibentuk, bahasa tubuh yang manja.
• Panggung tempat para calon berjalan menandakan tingkat sosial mereka yang berbeda dengan masyarakat biasa Koming dan Pailul
yang berdiri melihat dari bawah. Di depan Koming dan Pailul, digambar garis setinggi dada mereka sebagai jalur para calon.
• Koming dan Pailul yang memperhatikan dari bawah panggung bermakna; masyarakat sebenarnya tahu dan mengerti kebusukan para
calon pemimpin negeri. Hanya saja masyarakat tidak mau atau tidak bisa untuk memperbaiki, yang mereka lakukan hanyalah menertawai,
malu atau saling berbisik atas apa yang dilihatnya.
4. Kultural :
Pria masih dianggap lebih kompeten dalam bidang kepemimpinan sehingga para calon pemimpin mayoritas pria. Seperti yang
terjadi di Indonesia, posisi-posisi strategis dalam pemerintahan masih ‘dikuasai’ oleh pria, walau kaum hawa juga sudah mulai mengisi di sana-
sini. Meski begitu, para pria yang mencalonkan diri belum memenuhi kriteria yang baik, dan hanya ditampilkan sifat buruknya. Bukan tidak ada
calon atau pemimpin di Indonesia yang bersifat sama dengan para calon di negeri Koming.
Kembali pada masalah gender, kaum perempuan yang diwakili satu orang saja dalam cerita pun, malah dianggap tidak mumpuni dan
tersirat makna bahwa perempuan baiknya mengurus keluarga saja, “Dia
dikuatirkan, setelah duduk di kursinya, menyeleweng meninggalkan keluarganya
.” Antonim dari kalimat tersebut ialah; karena dikuatirkan menyeleweng, baiknya perempuan tetap bersama keluarganya saja.
Bersama dengan keluarga berarti mengerjakan urusan rumah tangga yang identik dengan sistem kolot zaman dulu.
5. Semik :