C. Tipologi Orator dalam Retorika Politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo
Dalam Public Relations Politik dibutuhkan kesadaran diri bahwa seorang Public Relations akan membawa nama lembaga yang diwakilinya atau
menunjukkan citra kandidat yang didukungnya. Oleh karena itu, harus senantiasa menyadari tipologi orator yang sedang diperankannya. Tipologi orator dalam
Public Relations politik yaitu,Noble Selves, orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dari yang lain dan sulit menerima kritik.
Rhetorically Reflector, orang yang tidak punya pendirian yang teguh, hanya menjadi cerminan orang lain. Rhetorically Sensitive: orang yang adaptif, dan
cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
21
Analisis tipologi orator Joko Widodo adalah rhetorically sensitive. Sosok Jokowi mampu mengambil hati publik Jakarta dengan karakter Jokowi yang
kontras dengan figur petahana. Seperti halnya Jokowi terjun langung ke pemukiman padat di Jakarta, dan Jokowi mengedepankan proses partisipasi
melalui interaksi dan dialog lewat makan siang maupun makan malam di sejumlah warung pinggiran Ibukota, dan berinteraksi langsung dengan masyarakat
Jakarta. Jokowi yang berlatar belakang orang Solo, tetapi dapat menyesuaikan diri dengan warga Jakarta. Salah satu contoh menggambatkan bahwa Jokowi adalah
orator rhetorically sensitive, adalah pada acara debat, Jokowi terlihat tidak terbawa emosi pada saat mengatasi serangan-serangan dari Foke. Dan pada saat
menjelaskan kampung susun yang akan dibuat Jokowi, Suryopratomo sebagai pemandu acara, bertanya mengenai jumlah dana yang akan diperlukan untuk
kampung susun dengan angka yang fantastis, pulihan triliunan. Tetapi, Jokowi
21
Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 119.
menjawab “Angka dari mana itu pak, saya tidak mempunyai kalkulator untuk
menghitung angka sebanyak itu.” Kemudian pada saat debat, Jokowi merendahkan diri dengan kata
“saya iniorangbodoh.”
22
Analisis tipologi orator Fauzi Bowo adalah noble selves, yaitu orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim lebih hebat dari yang lain dan sulit
menerima kritik. Fauzi Bowo membangun karakter pada Putaran Pertama dan Putaran Kedua adalah kandidat Cagub yang emosional, dan elitis. Bisa dilihat
pada Putaran Pertama dan Kedua lebih memilih merangkul sejumlah partai elit politik dibandingkan memahami emosi warga. Kemudian Calon Gubernur DKI
Jakarta 2012 ini, yakni Fauzi Bowo tidak bisa dikritik, terlihat pada acara debat kandidat Cagub Putaran Kedua bahwa Foke adalah noble selves. Salah satu
contoh menggambarkan Foke adalah orator noble selves adalah pada saat acara debat kandidat, Foke mendapatkan intrupsi oleh pembawa acara agar memberikan
waktu kepada Jokowi untuk memberikan jawaban, tetapi Foke disini marah dan tidak ingin pembicaraannya dipotong,
“This is our show,anda tidak berhak mengintervensi.” Kemudian pada saat Jokowi mengkritik tentang permasalahan
transportasi, busway misalnya, perencanaan Foke mengenai busway yang harus diselesaikan 15 koridor, dan yang diselesaikan hanya 11 koridor. Tetapi, 10
diantaranya dikerjakan pada saat Sutiyoso. Namun Foke menjawab, “Karena
yang berbicara bukan ahli transportasi begini nih jadinya. ”
23
22
Joko Widodo, “Debat Cagub DKI Jakarta 2012 - Jakarta Memilih The Final Round,” video diakses pada 5 Januari 2013 dari: http:www.youtube.comwatch?v=D-4N9mOywqY.
23
Fauzi Bowo , “Debat Cagub DKI Jakarta 2012 - Jakarta Memilih The Final Round,” video
diakses pada 5 Januari 2013 dari: http:www.youtube.comwatch?v=D-4N9mOywqY.
101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Analisis retorika politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo yakni:
a. Joko Widodo adalah kandidat Cagub DKI Jakarta yang berhasil
mengangkat pesan di benak publik adalah kandidat unggulan dan menjadi kandidat yang berbeda dengan yang lain. Dan Jokowi juga berhasil
menanamkan pesan kepada publik adalah kandidat yang mungkin benar- benar bekerja, yang mempunyai integritas untuk perbaikan Jakarta, dan
menanamkan pesan bahwa Jokowi adalah tim rakyat atau prorakyat. Karena gaya komunikasi Jokowi sangat baik, dan beretorika sesuai dengan
karakternya. Jokowi merepresentasikan bahasa politik yang sesuai dengan bahasa masyarakat bawah, menggunakan bahasa keseharian, tidak tinggi
dan mudah dipahami oleh semua kalangan, kata-kata yang merakyat, yang bahasanya tidak tinggi dan cenderung lebih to the point. Kemudian
kekuatan Jokowi selain bahasanya yang mudah dipahami juga adalah cara bertutur seperti orang kebanyakan, dan sangat bertabrakan dengan Foke
yang berbicara “blak-blakan”. Kata-kata yang digunakan halus dan sopan,
sehingga bagi pendengar merasa terhanyut dengan rayuan politik Jokowi. Pada saat berpidato, Jokowi tidak pernah menggunakan naskah, berbicara
spontan, tetapi terarah dan mempersuasikan kepada masyarakat Jakarta sangat baik. Kemudian gaya Jokowi tidak terlihat seperti pejabat-pejabat
elitis.